BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci yang sempurna yang mengandung semua hal dalam
kehidupan manusia, baik kehidupan dunia yang berupa tuntunan ibadah, pergaulan
dalam keluarga dan masyarakat, cerita-cerita umat terdahulu, maupun kehidupah
akhirat berupa hari kiamat, surga, neraka dan lainnya. Dalam al-Qur’an banyak
terdapat ayat-ayat yang menceritakan hal-hal yang samar dan abstrak. Manusia
tidak mampu mencernanya jika hanya mengandalkan akalnya saja. Sehingga sering
kali ayat-ayat tersebut diperumpamakan dengan hal-hal yang konkret agar manusia
mampu memahaminya.
Untuk memahami itu semua maka ulama’ tafsir menganggap perlu adanya ilmu
yang menjelaskan tentang perumpamaan dalam al-Qur’an agar manusia mampu
mengambil pelajaran dengan perumpamaan-perumpamaan tersebut. Karena itulah
penulis mencoba menjelaskan tentang ilmu tersebut, yaitu Ilmu Amtsal
al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Amtsal
al-Qur’an?
2. Apa saja
macam-macam Amtsal al-Qur’an?
3. Apa faedah dan tujuan
mempelajari Amtsal al-Qur’an?
4. Bagaimanakah Amtsal
al-Qur’an mampu menjadikan manusia mudah dalam mengambil
pelajaran-pelajaran yang terkandung dalam al-Qur’an?
C. Metode Penulisan
Kami menggunakan metode kepustakaan dan membuka
blog di internet yang berkaitan dengan bahan makalah yang kami buat.
D.
Tujuan Penulisan
Sesuai dengan apa yang perintah dosen tentu kami
membuat makalah ini atas dasar untuk memnuhi mata kuliah Ulumul Qur’an B dan
sekaligus untuk lebih membuka wawasan kita terhadap masalah “Amtsal
Al-Qur’an”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Amtsal
al-Qur’an
Kata amtsal merupakan bentuk jamak dari mufrod mitslu. Kata mitslu dalam segi arti maupun bentuk lafazhnya
itu sama dengan lafazh syibhu yaitu matsalu,
mitslu dan matsiil yang sama dengan lafazh syabahu, syibhu dan syabiih. Kata mitslu secara etimologi
mempunyai 3 arti,[1]
yaitu:
1. Kata mitslu yang artinya sama
dengan kata syibhu yaitu penyerupaan.
2. Sebagian ulama’ mengatakan bahwa lafazh mitslu adalah
keadaan atau cerita yang menakjubkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang
arab yaitu:
وَيُطْلَقُ الْمِثْلُ عَلَى اْلحَالِ وَالْقِصَّةِ الْعَجِيْبَةِ الْشَأْنِ
Arti ini banyak digunakan dalam penerapan lafazh mitslu pada
al-Qur’an. Sebagaimana dalam surat Muhammad ayat 15:
مَثَلُ الْجَنَّةِ
الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ ءَاسِنٍ
وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ
لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ
كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ
وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ
Artinya: “(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan
kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air
yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada
berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi
peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di
dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan
orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih
sehingga memotong-motong ususnya.”
3. Ada juga sebagian ulama’ yang mengatakan
bahwa mitslu adalah:
وَقَدْ أ اسْتُعِيْرَ
الْمِثْلُ لِلْحَالِ أَوْ الْصِّفَةِ أَوْ الْقِصَّةِ إِذَا كَانَ لَهَا شَأْنٌ
وَفِيْهَا غَرَابَةٌ
Yaitu keadaan, sifat atau cerita yang asing dan aneh.
Sedangkan pengertian amtsal secara terminologi ada
beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama’,[2] yaitu:
1. Pengertian mitslu menurut
ulama’ ahli ilmu adab adalah:
وَالْمِثْلُ فِي
الْأَدَبِ قَوْلٌ مُحْكِيٌّ سَائِرٌ يُقْصَدُ بِهِ تَشْبِيْهُ حَالِ الَّذِي
حُكِىَ فِيْهِ بِحَالِ الَّذِي قِيْلَ لِأَجْلِهِ.
Artinya: “Mitslu dalam ilmu adab adalah ucapan yang disebutkan untuk
menggambarkan ungkapan lain yang dimaksudkan untuk menyamakan atau menyerupakan
keadaan sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu yang dituju.”
Maksudnya adalah menyerupakan perkara yang disebutkan dengan asal
ceritanya. Maka amtsal menurut definisi ini harus ada asal
ceritanya. Contohnya pada ucapan orang arab رُبَّ رَمِيَّةٍ مِنْ غَيْرِ رَامٍ (banyak panahan dengan tanpa ada orang yang memanah).
Maksudnya adalah banyak musibah yang terjadi karena salah langkah. Kesamaannya
adalah terjadinya sesuatu dengan tanpa ada kesengajaan.
2. Pengertian mitslu menurut
ulama’ ahli ilmu bayan adalah:
الْمَجَازُ الْمُرَكَّبُ
الَّذِي تَكُوْنُ عَلَاقَتُهُ الْمُشَابِهَةُ مَتَى فَشَا إِسْتِعْمَالُهُ
Yaitu majas/kiasan yang majemuk yang mana keterkaitan antara yang disamakan
dengan asalnya adalah penyerupaan. Maka bentuk amtsalmenurut
definisi ini adalah bentuk isti’aarah tamtsiiliyyah, yakni
kiasan yang menyerupakan. Seperti:[3]
وَمَا الْمَالُ
وَالْأَهْلُوْنَ إِلِّا وَدَائِعُ ◊ وَلَا بُدَّ يَوْمًا أَنْ تُرَدَّ
الْوَدَائِعُ
Tiadalah harta dan keluarga melainkan bagaikan titipan; pada suatu hari
titipan itu pasti akan dikembalikan.
Dalam syair di atas, tampak jelas penyair menyerupakan harta dan keluarga
dengan benda titipan yang dititipkan oleh seseorang kepada kita, yang sama-sama
bisa diambil sewaktu-waktu oleh orang yang menitipkannya.
3. Sebagian ulama’ ada juga yang menyatakan
pengertian mitsluadalah:
إِنَّهُ إِبْرَازُ
الْمَعْنَى فِي صُوْرَةٍ حِسِّيَةٍ تَكْسِبُهُ رَوْعَةً وَ جَمَالًا
Yaitu mengungkapkan suatu makna yang abstrak dalam bentuk sesuatu yang
konkret yang elok dan indah. Contohnya seperti ungkapan الْعِلْمُ نُوْرٌ
(ilmu itu seperti cahaya). Dalam hal ini adalah menyamakan ilmu yang bersifat
abstrak dengan cahaya yang konkret, yang bisa diindera oleh penglihatan. Amtsal menurut
definisi ini tidak disyaratkan adanya asal cerita juga tidak harus adanya majaz
murakkab.
Melihat dari pengertian-pengertian mitslu di atas,
maka amtsal al-Qur’ansetidaknya berupa penyamaaan keadaan suatu hal
dengan keadaan hal yang lain. Penyerupaan tersebut baik dengan cara isti’arah (menyamakan
tanpa menggunakan adat tasybih), tasybih sharih (menyamakan
yang jelas dengan adanya adat tasybih), ayat-ayat yang menunjukkan
makna yang indah dan singkat, atau ayat-ayat yang digunakan untuk menyamakan
dengan hal lain. Karena itulah, kesimpulan akhir dalam mendefinisikan amtsal
al-Qur’an adalah:
إِبْرَازُ الْمَعْنَى
فِي صُوْرَةٍ رَائِعَةٍ مُوْجِزَةٍ لَهَا وَقَعُهَا فِي الْنَّفْسِ سَوَاءٌ
كَانَتْ تَشْبِيْهًا أَوْ قَوْلًا مُرْسَلًا
Yaitu menampakkan pengertian yang abstrak dalam bentuk yang indah dan
singkat yang mengena dalam jiwa baik dalam bentuk tasybih maupun majaz mursal
(ungkapan bebas). Definisi inilah yang
relevan dengan yang terdapat dalam al-Qur’an, karena mencakup semua macam amtsal
al-Qur’an.
B. Macam-macam Amtsal
Al-Qur’an
Secara garis besar, amtsal al-Qur’an terbagi menjadi dua.
Pertama perumpamaan yang disebutkan secara jelas dan tegas. Imam Jalaluddin
as-Suyuthi dalam al-Itqaan menyebutnya sebagai matsal zhahir musharrah
bih. Sedangkan yang kedua disebutkan secara tersirat (matsal
kaamin).[4] Namun
apabila diamati secara seksama maka amtsal al-Qur’an bisa
dibagi menjadi tiga macam,[5] yaitu:
1. Al-amtsal al-musharrahah, yaitu
perumpamaan yang jelas yang di dalamnya terdapat lafazh matsal atau
lafazh lain yang menunjukkan arti persamaan atau perumpamaan. Amtsal jenis
ini banyak terdapat dalam al-Qur’an. Seperti yang terdapat dalam surat
al-Baqarah ayat 261:
مَثَلُ الَّذِينَ
يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ
سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ
لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Dalam ayat ini dijelaskan keuntungan besar bagi orang-orang yang mau
berinfak dengan menyamakannya terhadap orang yang menanam 1 butir biji yang
kelak menghasilkan 700 butir biji. Penyamaan pahala orang yang infak dengan
hasil tanaman pada ayat ini jelas menggunakan lafazhmatsal (مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ…). Dalam ayat ini yang disamakan adalah keuntungan.
2. Al-amtsal al-kaaminah, yaitu
perumpamaan yang tidak jelas dengan tanpa menggunakan lafazh matsal atau
sejenisnya, akan tetapi artinya menunjukkan arti perumpamaan yang indah dan
singkat. Makna amtsalseperti ini akan mengena jika lafazh tersebut
dinukilkan kepada hal yang menyerupainya.
Jadi, sebenarnya dalam al-amtsal al-kaaminah al-Qur’an itu
sendiri tidak menjelaskan bentuk perumpamaan terhadap suatu makna tertentu.
Hanya saja maknanya menunjukkan pada makna suatu perumpamaan.[6] Tegasnya amtsal jenis
ini merupakan perumpamaan maknawi yang tersembunyi, bukan perumpamaan lafzhi
yang jelas.
Salah satu contoh al-amtsal al-kaaminah adalah sebagaimana
ungkapan yang disebutkan orang Arab yang berupa خَيْرُ الْأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا (sebaik-baiknya perkara adalah tengah-tengah).
Ungkapan ini merupakan hasil perumpamaan dari beberapa ayat al-Qur’an, di
antaranya:
§
Surat al-Baqarah ayat 68:
…إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ…الأية
Artinya: “…bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua
dan tidak muda; pertengahan antara itu…”
§
Surat al-Furqan ayat 67:
وَالَّذِينَ إِذَا
أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta),
mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan
itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
Surat al-Israa’ ayat 29:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ
مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ
مَلُومًا مَحْسُورًا
Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi
tercela dan menyesal.”
Surat al-Israa’ ayat 110:
…وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ
سَبِيلًا
Artinya: “…Katakanlah: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu
dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di
antara kedua itu.”
Begitu juga masih banyak ungkapan orang-orang arab yang merupakan hasil
perumpamaan al-Qur’an.
3. Al-amtsal al-mursalah, yaitu
beberapa jumlah kalimat yang bebas yang tidak jelas tanpa menggunakan
lafazh tasybih. Al-amtsal al-mursalah ini adalah beberapa ayat
al-Qur’an yang berlaku sebagai perumpamaan. Contohnya seperti dalam surat Yusuf
ayat 51:
…قَالَتِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ الْآنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ…الأية
Artinya: “…Berkata isteri Al-Aziz: “Sekarang jelaslah kebenaran
itu…”
Begitu juga pada surat al-Baqarah ayat 216:
…وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا
شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ…الأية
Artinya: “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu…”
C. Faedah-faedah Amtsal
Al-Qur’an
Apabila diamati berbagai macam dan contoh amtsal dalam
al-Qur’an, maka ditemukan bahwa pengungkapan amtsal dalam
al-Qur’an mempunyai banyak faedah. Di antara faedah-faedah tersebut adalah:[7]
1. Menampilkan sesuatu yang abstrak (yang hanya
bisa digambarkan dalam pikiran) ke dalam bentuk sesuatu yang konkret (material)
yang dapat ditangkap indera agar akal dapat menerima pesan yang disampaikan
oleh perumpamaan itu. Karena makna yang abstrak bisa jadi membuat hati masih
ragu maka perlu adanya penggambaran dalam bentuk konkret agar mudah dicerna.
Contohnya pada surat al-Baqarah ayat 264:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ
مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ
صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا…الأية
Artinya: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia
dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang
itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa
hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak
menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan…”
Dalam ayat tersebut, hilangnya pahala sedekah (abstrak) yang disebabkan riya’ (pamer) disamakan dengan hilangnya debu di atas batu licin (konkret) yang
disebabkan hujan.
2. Menyingkap makna yang sebenarnya dan menampilkan
hal yang gaib dalam sesuatu yang tampak. Seperti dalam surat al-Baqarah ayat
275:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا
لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ…الأية
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila…”
Ayat di atas adalah menceritakan keadaan pemakan riba ketika bangkit dari
kubur kelak pada hari kiamat. Keadaan mereka pada saat itu yang masih gaib
diserupakan dengan keadaan orang gila yang kemasukan setan.[8]
3. Menghimpun arti-arti yang indah dalam ungkapan
yang singkat, sebagaimana yang terdapat dalam amtsal kaaminah dan amtsal
mursalah.
4. Mendorong orang untuk beramal dan menimbulkan
minat dalam ibadah dengan melaksanakan hal-hal yang dijadikan perumpamaan yang
menarik dalam al-Qur’an. Seperti dalam surat al-Baqarah ayat 261:
مَثَلُ الَّذِينَ
يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ
سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ
لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Dengan adanya iming-iming lipat gandanya pahala bagi orang menafkahkan
hartanya di jalan Allah dengan menyerupakannya kepada keuntungan besar yang
diraih seseorang dalam menanam biji-bijian maka manusia akan terdorong
untuk beramal.
5. Dapat menjauhkan seseorang dari sesuatu yang
tidak disenangi jiwa. Seperti dalam surat al-Hujurat ayat 12:
…وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ
أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ…الأية
Artinya: “…Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian
yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya….”
Manusia pasti akan merasa jijik dan tidak suka memakan daging orang lain
yang telah meninggal. Karena itulan Allah SWT menyamakan perbuatan menggunjing
orang lain dengan hal tersebut agar manusia menjauhi perbuatan tercela itu.
6. Untuk memuji sesuatu yang dicontohkan, seperti
pujian Allah kepada para sahabat Rasulullah dalam surat al-Fath ayat 29:
…ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ
أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ
الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ…الأية
Artinya: “…Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan
tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia
dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekuatan orang-orang mu’min)…”
Dalam ayat ini Allah para sahabat Rasul. Pada permulaan Islam, kaum yang
mau beriman hanyalah sedikit, tidak lebih dari 10. Namun dalam waktu yang
terbilang singkat, yaitu 23 tahun, para sahabat jumlahnya menjadi sangat banyak
dan mampu menaklukkan kaum musyrikin dalam peristiwa fathu Makkah.
7. Digunakan untuk mencela. Ini terjadi apabila
sesuatu yang menjadi perumpamaan adalah hal yang dianggap buruk oleh manusia.
Seperti dalam surat al-A’raf ayat 176:
وَلَوْ شِئْنَا
لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ
يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا…الأية
Artinya: “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan
(derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan
menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika
kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia
mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami…”
Dalam mencela orang-orang yang berilmu namun mereka tetap cenderung kepada
dunia dan mengikuti hawa nafsunya, Allah menyerupakan mereka dengan anjing yang
selalu menjulurkan lidahnya.
8. Pesan yang disampaikan melalui amtsal lebih
mengena di hati, lebih mantap dalam menyampaikan nasihat atau larangan serta
lebih kuat pengaruhnya. Dalam kaitan ini Allah berfirman dalam surat az-Zumar
ayat 27:
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا
لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْءَانِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al
Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.”
D. Tujuan Amtsal al-Qur’an
Para ulama’ ahli tafsir tidak secara jelas menyebutkan tujuan dari amtsal
al-Qur’an. Namun apabila dicermati dari berbagai faedah dan ayat-ayatamtsal
al-Qur’an maka dapat dikatakan bahwa tujuan dari amtsal adalah
agar manusia menjadikannya pelajaran dan bahan renungan dalam arti contoh yang
baik dijadikan sebagai teladan sedangkan perumpamaan yang jelek sedapat mungkin
dihindari.[9] Hal
ini sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat az-Zumar ayat 27. Mengenai
kedudukanamtsal dalam al-Qur’an, Rasulullah SAW bersabda dalam
hadits riwayat Abu Hurairah:[10]
إنَّ الْقُرْأَنَ نَزَلَ
عَلَى خَمْسَةِ أَوْجُهٍ حَلَالٍ وَ حَرَامٍ وَ مُحْكَمٍ وَ مُتَشَابِهٍ وَ
أَمْثَالٍ فَاعْلَمُوْا بِالْحَلَالِ وَاجْتَنِبُوْا الْحَرَامَ وَاتَّبِعُوْا
الْمُحْكَمَ وَأَمِنُوْا بِالْمُتَشَابِهِ وَاعْتَبِرُوْا بِالْأَمْثَالِ
(Sesungguhnya al-Qur’an turun dengan menggunakan lima sisi: halal, haram,
muhkam, mutasyabih dan amtsal. Kerjakanlah kehalalannya; tinggalkanlah
keharamannya; ikutilah muhkamnya; imanilah mutasyabihnya; dan ambillah
pelajaran dari amtsalnya)
Dari dalil al-Qur’an dan hadits di atas maka jelaslah bahwa tujuan amtsal
al-Qur’an adalah sebagai teladan dan bahan renungan sehingga manusia
terbimbing menuju jalan yang benar demi meraih kebahagiaan hidup dunia maupun
akhirat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas tentang amtsal al-Qur’an, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Amtsal al-Qur’an adalah
menampakkan pengertian yang abstrak dalam bentuk yang indah dan singkat yang
mengena dalam jiwa baik dalam bentuk tasybih maupun majaz mursal (ungkapan
bebas).
2. Macam-macam amtsal al-Qur’an adalah amtsal yang
jelas dengan menggunakan lafazh mitslu atau sesamanya, amtsal yang
terselubung tanpa menggunakan lafazh mitslu dan amtsal yang
berupa ungkapan bebas tanpa ada adat tasybih.
3. Faedah mempelajari amtsal
al-Qur’an yang terpenting adalah mendorong manusia untuk melakukan
amal ibadah dan mencegahnya melakukan hal-hal yang dibenci oleh agama serta
menggambarkan hal-hal abstrak dengan hal-hal yang nyata agar pemahamannya
semakin mantap dalam hati manusia.. Tujuannya agar manusia mengambil pelajaran
dari al-Qur’an dengan mengambil hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang
buruk demi mendapatkan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
4. Amtsal al-Qur’an lebih mampu
dinalar karena hal-hal yang masih abstrak diumpamakan dengan nyata dan indah
sehingga lebih mengena di hati.
B. SARAN
Dalam hal ilmu Al-Qur’an yang paling terpenting adalah memahami isi dari
kandungan ayat per ayat yang mana masing-masing ayat biasanya saling berkaitan
begitu juga tentang ilmu Amtsal Al-Qur’an ini. Kita dapat memahami ayat
dengan berbagai perumpamaannya alangkah beruntungnya kita sebagai umat Islam
mempunyai kitab yang begitu lengkap, bahkan agama lain pun mencari ilmu di
kitab suci umat Islam, maka kita sebagai umat pemilik kitab tersebut harus
menghormati dan menjaga kemurnian Al-Qur’an dari tangan jahil yang
mengatasnamakan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Manna’ al-Qaththan, Mabaahits fii ‘Uluum al-Qur’an (t.t.:
Mansyuraat al-‘Ashr al-Hadiits, t.t.), 282.
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2009),
309.
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), 249.
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqaan fii Uluum al-Qur’an (Mesir:
Mushthafa ats-Tsani, 1951), 132.
Rosihon Anwar, Samudera al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia,
2001), 109.
Al-Mahalli & as-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain (Surabaya:
Dar al-‘Abidiin, t.t.), 43.
[1] Manna’ al-Qaththan, Mabaahits fii ‘Uluum
al-Qur’an (t.t.: Mansyuraat al-‘Ashr al-Hadiits, t.t.), 282.
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya:
Dunia Ilmu, 2009), 309.
Nashruddin, Wawasan, 251.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Tinggalkan Koment yaaaa...!!! _^-^_