WELCOME

Sabtu, 07 Januari 2012

GOLONGAN MUKHADRAMIN


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an. “Hadits atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya. Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesipik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus”.
Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, “Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadits beliau.
Selanjutnya berbagai periode berakhir dengan berbagai macam permasalahannya termasuk permasalahan bagaimana para periwayat hadits setelah zaman shohabat yang mana disebut zaman Tabi’in termasuk di dalamnya adalah golongan Mukhadramin yang disebut Ibnu Hajar adalah golongan Tabi’in besar dikarenakan mereka sezaman dengan Nabi tapi tidak pernah bertemu dengan beliau.
Dan dalam makalah ini kami akan membahas tentang golongan Mukhadramin dan bagaimana kualitas periwayatannya, yang merupakan suatu ilmu yang insya Allah akan membuka wawasan tentang kualitas Hadits pada masa mereka.

B. Rumusan Masalah
Setelah kita baca bersama latar belakang penulisan makalah ini, maka kami penulis akan merumuskan makalah ini antara lain adalah sebagai berikut:
a.      Bagaimana sejarah penyampain Hadits?
b.      Siapakah golongan Mukhadramin itu?
c.       Bagaimana kualitas hadits yang mereka riwayatkan?
C. Tujuan
            Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas kelompok pada mata kulia Ulumul Hadits, dan juga yang paling pokok adalah sebagai pembuka wawasan terhadap Ilmu Hadits.
D. Metode Penulisan
            Metode yang kami gunakan adalah dengan metode kepustakaan dan mencari bahan lewat internet yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Penyampaian Hadits
Penyampaian hadits dilakukan dengan sangat hati-hati, karena menyangkut masalah-masalah agama. Hal ini sengaja dilakukan demi menjaga apabila dalam penyampaiannya terjadi kesalahan. Sebagaimana dijelaskan oleh az-Zubair, “Mereka yang kuat ingatannya telah menyampaikan hadits tanpa ada kesalahan, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah”
As-Sunnah disalin dengan sangat hati-hati, baik dengan jalan hafalan maupun tulisan. Hal ini telah berlangsung sejak zaman Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan zaman para Shahabat sampai akhir abad pertama, hingga kemudian lembaran-lembaran yang berisikan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dikumpulkan pada masa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Di mana ia memerintahkan Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm untuk menulis dan mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sejak itu pula dimulai ilmu periwayatan hadits. Kata khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz kepada Abu Bakar bin Muhammad, “Perhatikanlah hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tulislah hadits-hadits itu, karena sesungguhnya aku khawatir akan hilangnya ilmu dengan wafatnya para ulama, dan janganlah diterima melainkan hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam saja.”[1]
Setelah Abu Bakar bin Muhammad menerima perintah khalifah, ia pun memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri, seorang ulama besar dan pemuka ahli hadits, untuk mengumpulkan hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam secara resmi.
Tentang adanya periwayatan hadits, memang telah ditegaskan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri dalam salah satu sabdanya:
“Yang artinya : Sekarang kalian mendengar, dan kalian nanti akan didengar, dan akan didengar pula dari orang yang mendengar dari kalian.”[2]
Maksudnya, para Shahabat mendengar hadits-hadits dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, melihat perbuatan-perbuatan beliau, sifat-sifat beliau, dan segala perbuatan yang ditaqrir oleh beliau, kemudian para Shahabat meriwayatkannya (sesudah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat), riwayat para Shahabat akan didengar, diperlihatkan, dan dicatat oleh para Tabi’in. Begitu selanjutnya, para Tabi’in yang mendengar hadits dari para Shahabat akan meriwayatkan lagi, yang juga akan didengar dan dicatat oleh Tabi’ut Tabi’in. Bagai roda yang terus berputar, hadits-hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam akan senantiasa diriwayatkan, diperlihatkan, didengar dan dicatat oleh imam pencatat hadits dalam kitab-kitab mereka, seperti Imam Malik, Ahmad, asy-Syafi’i, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan yang lainnya. Kitab-kitab mereka ini terpelihara dengan baik dari zaman ke zaman yang akhirnya sampai kepada kita dan insya Allah terus terpelihara hingga akhir zaman.
B.     Golongan Mukhadramin
Mukhadramin ialah orang-orang yang mengalami hidup pada zaman jahiliyah dan hidup pada zaman Nabi Muhammad SAW dalam keadaan Islam, tetapi tidak sempat menemui Nabi dan mendengarkan hadits daripadanya. Dengan demikian Mukhadramin adalah sebagian tabi’in , bahkan menurut Ibnu Hajar, mereka tergolong tabi’in besar. Seperti Amru bin maimun, Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Su’aid bin Ghaflah, Suraij bin Hani dan lain-lain.
Imam Muslim mencatat jumlah Mukhadramin sebanyak 20 orang, Al-Iraqy mencatatnya sebanyak 42 orang dan Al-Hafidz ibnu Hajar dalam kitabnya Al-Isobah menghitung lebih dari jumlah-jumlah tersebut.
C.    Masa Perkembangan Hadits dan Kualitas Pada Masanya
Para ulama membagi perkembangan hadits itu kepada tujuh periode yaitu :
a)      Masa Nabi.
b)      Masa Sahabat.
c)      Masa Tabi’in
d)     Masa pembukuan hadits (Abad II H ).
e)      Masa penyaringan dan seleksi ketat (Abad III H ) sampai selesai.
f)       Periode Penyempurnaan (Abad-IV H).
g)      Masa Klasifikasi dan Sistemisasi Penyusunan Kitab-kitab Hadits (Abad-V H).

a)      Hadits pada masa Rasul
Pada masa Rasulullah al-Hadits belum ditulis, akan tetapi dihapalkan oleh para sahabat. Para sahabat yang tidak langsung mendengar hadits langsung dari Nabi dikarenakan kesibukan mereka, maka masing-masing dari mereka belajar kepada sahabat yang mendengar langsung, sehingga pada masa ini transmisi hadits hanya melalui media pendengaran dan dihafalkan untuk selanjutnya, hal ini dikarenakan beberapa sebab, yaitu[3]:
1.    Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu yang diizinkan beliau dan itupun hanya untuk sebatas sebagai catatan pribadi.
2.    Rasulullah  masih berada di tengah-tengah ummat Islam sehingga penulisan diwaktu itu dirasa tidak diperlukan.
3.    sangat sedikit dari kalangan sahabat yang mempunyai kompetensi dalam bidang tulis-menulis.
4.    Ummat Islam sedang dikonsentrasikan kepada Al-Qur'an.
5.    Kesibukan-kesibukan ummat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan da'wah yang sangat penting.

b)      Hadits pada masa Sahabat
Pada masa ini penulisan al-Qur’an telah selesai begitu juga sudah banyaknya sahabat yang menguasai tulis-menulis, sehingga pada masa ini sudah ada sebagian sahabat yang menghimpun hadits meskipun dalam hal ini masih ada perdebatan diantara mereka, sebagian ada yang memperbolehkan seperti Umar, Ali dan Ibnu Abbas, sedangkan sebagian yang lain memilih untuk tetap menjaga hadits dengan cara menghafalkan seperti Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan Abu Hurairah.[4]
Diantara yang menulis hadits pada masa ini adalah khalifah Abu Bakar yang mengumpulkan hadits-hadits yang menjelaskan tentang zakat dan shadaqah yang diberikan kepada para penguasa daerah untuk dijadikan pedoman. Juga Abdullah bin Amr bin Ash yang mengumpulkan hadits yang dikemudian hari kumpulan hadist tersebut dikenal denag sebutan Shahifah as- Shadiqah.[5]

c)      Hadits pada masa Tabi’in.
Pada periode ini penulisan hadits belum menunjukkan perkembangan yang signifikan karena para tabi’in masih berbeda pendapat mengenai kebolehan menulis hadits sebagaimana perbedaan pendapat yang terjadi pada masa sahabat, hal ini dapat dimaklumi karena para tabi’in belajar kepada sahabat, dan  tentunya dalam perbedaan pendapat mereka cenderung sama dan mengekor.
diantara  para Tabi’in yang melarang penulisan hadits adalah :
a.       Ubaidah bin Amr as-Salmani (W 72 H)
b.      Ibrahim bin Yazid at-Taimi (W 92 H)
c.       Jabir bin Zaid (W 93 H)
d.      Ibrahim an Nakha’i (W 96 H)

d)     Masa pembukuan hadits (akhir abad ke I - abad ke-II)
Proses pembukuan hadits secara resmi atau yang lebih populer dengan istilah Tadwin baru dilakukan atas instruksi Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaraan Hadits. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya tanpa adanya seleksi supaya tidak ada Hadits yang akan hilang pada masa sesudahnya.
Ulama besar yang diperintah melakukan tugas adalah Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada ‘Amrah binti Abd al-Rahman bin Saad bin Zahrah al- Anshariyah (21- 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq (37- 107 H).[6]
Abu Naim menuliskan dalam bukunya Tarikh Isbahan bahwa Khalifah Umar bin Abd al-Aziz mengirimkan pesan  kepada Ibnu Hazm “perhatikan hadits Nabi dan Kumpulkan”. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm sebagai berikut: “Perhatikanlah apa yang ada pada hadits-hadits Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain hadits Nabi saw”.[7]
 Usaha pengumpulan al-Hadits, khususnya yang terjadi di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm, dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah ahli Hadits yang paling menonjol di zamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui beliau. Dari sini jelaslah bahwa Tadwin al-Hadits bukanlah semata-mata taktib al-Hadits (penulisan al-Hadits).
Setelah kedua tokoh ini maka mulailah banyak yang mengikuti mereka seperti Ibnu Juraij (150-H) di makkah; Imam Malik (93-179H), Ibnu Ishaq (151-H) dan Muhammad bin Abdurrohman bin Abi Di’bu (pengarang Muwatha’ tandingan) di Madinah, Khalid bi Jamil al-Abd dan Ma'mar (95-153 H) di Yaman, Al-Auza'i (88-156-H) di Syam, Abu Arubah (156-H) dan Hammad bin Salamah (176-H) di Basrah, Sufyan ats-Tsauri (97-161-H) di Kufah, Abdullah bin Mubarak (118-181H) di Khurasan, Husyaim bin Basyir (104-183-H) di Wasith, Jarir bin abdul Hamid (110-188H) di Ray serta Abdullah bin Wahab (125-197 H) di Mesir. Mereka tidak hanya menulis hadits-hadits nabi SAW saja, tetapi juga atsar para sahabat dan tabi'in[8].
Kitab-kitab hadits yang masyhur di masa itu adalah :
a.       Mushannaf oleh Syu'bah bin al-Hajjaj (160-H)
b.      Mushannaf oleh Al-Laits bin Sa'ad (175-H)
c.       Al-Muwaththa' oleh Malik bin Anas al-Madani, Imam Darul Hijrah (179-H).
d.      Mushannaf oleh Sufyan bin Uyainah (198-H)
e.       Al-Musnad oleh asy-Syafi'i (204-H)
f.        Jami al-Imam oleh Abdurrazzaq bin Hammam ash-Shan'ani (211-H)
Pada masa tadwin ini penulisan hadits belum tersistematika sebagaimana kitab-kitab Hadits yang ada saat ini tetapi tidak lebih  hanya sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jami’ dan mushannaf. Demikian juga belum terklasifikasikannya Hadits atas dasar shahih dan tidaknya. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab Hadits yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab hadits yang memuat hanya hadits-hadits shahih saja. Pada periode-periode akhir ini pengembangan ilmu jarh wa tadil telah semakin mantap dengan tampilnya Muhammad bin Ismail al-Bukhari.

e)Masa penyaringan dan seleksi ketat (abad III H ) sampai selesai.
Pada awal abad ini penulisan hadits belum dibedakan antara yang sahih dan Dhaif dan masih bercampur dengan fatwa para sahabat atau tabi’in, kemudian pada pertengahan abad-III ini para ulama membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat hadits shahih. Sehingga muncul ide-ide untuk mengumpulkan yang shahih-shahih saja yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah al-Bukhari (Imam Bukhari) dengan karyanya Jami'us Shahih dan disusul oleh muridnya Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (Imam Muslim), sehingga abad ini merupakan era keemasan bagi hadits dengan munculnya para ahli hadits terkemuka dan disusunnya kutubus-sittah (6 kumpulan hadits) yang memuat hampir seluruh hadits-hadits yang shahih.
Diantara kitab-kitab hadits yang sudah tersusun waktu itu adalah[9] :
a.      Mushannaf Said bin Manshur (227-H)
b.      Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (156-239H)
c.       Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (164-241H)
d.      Shahih al-Bukhari (194-256-H)
e.       Shahih Muslim (204-261-H)
f.       Sunan Abu Daud (202-275-H)
g.      Sunan Ibnu Majah (207-273-H)
h.      Sunan At-Tirmidzi (215-H)
i.        Sunan An-Nasa'i (215-303-H)
j.        Al-Muntaqa fil Ahkam Ibnu Jarud (307-H)
k.      Tahdzibul Atsar Ibnu Jarir at-Thabari (310-H)

f)       Periode Penyempurnaan (Abad-IV H)
Pada periode ini para ulama berusaha menyempurnakan apa yang tidak terdapat pada masa sebelumnya dan berusaha menambahkan, mengkritik dan men-syarah-nya (memberikan ulasan tentang isi hadits-hadits tersebut), karena pada masa sebelumnya seolah-olah kajian tentang hadits telah final.
Kitab-kitab hadits yang populer pada abad ini diantaranya adalah :
a.       Shahih Ibnu Khuzaimah (311-H)
b.      Shahih Abu Awwanah (316-H)
c.       Shahih Ibnu Hibban (354-H)
d.      Al-Muntaqa tulisan dari Qasim bin Ashbag salah satu ahli hadits berkebangsaan Andalusia (Spanyol) (340-H)
e.       Sunan Daraquthni (385-H)
f.       Mustadrak Imam Abi Abdillah al Hakim (405-H).
g.      Periode Klasifikasi dan Sistemisasi Penyusunan Kitab-kitab Hadits (Abad-V dan seterusnya ).
Penulisan hadits pada periode ini mengacu kepada klasifikasi hadits, mengumpulkan kandungan-kandungan dan tema-tema hadits yang sama. Disamping itu juga men-syarahi (memberi semacam komentar atau ulasan) kepada hal-hal yang gharib dan musykil, men-takhrij hadits-hadits yang berada pada kitab-kitab fiqih atau tafsir dan meringkas kitab-kitab hadits sebelumnya, sehingga muncullah berbagai kitab-kitab hadits yang membahas hukum, seperti[10]:
a.       Sunan al-Kubra, al-Baihaqi (384-458 H).
b.      Muntaqal Akhbar, Majduddin al-Harrani (652-H).
c.       Bulughul Maram min Adillati al-Ahkam, Ibnu Hajar al-Asqalani (852-H).
Dan berbagai kitab targhib wa tarhib (kitab yang berisi berbagai hal untuk menggemarkan dalam beribadah dan mengancam bagi yang lalai), seperti :
a.       At-Targhib wa Tarhib, Imam al-Mundziri (656-H).
b.      Riyadhus Shalihin, oleh Imam Nawawi (767-H).[11]




BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Penyampaian hadits dilakukan dengan sangat hati-hati, karena menyangkut masalah-masalah agama. Hal ini sengaja dilakukan demi menjaga apabila dalam penyampaiannya terjadi kesalahan. Sebagaimana dijelaskan oleh az-Zubair, “Mereka yang kuat ingatannya telah menyampaikan hadits tanpa ada kesalahan, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah”
Mukhadramin ialah orang-orang yang mengalami hidup pada zaman jahiliyah dan hidup pada zaman Nabi Muhammad SAW dalam keadaan Islam, tetapi tidak sempat menemui Nabi dan mendengarkan hadits daripadanya. Dengan demikian Mukhadramin adalah sebagian tabi’in , bahkan menurut Ibnu Hajar, mereka tergolong tabi’in besar. Seperti Amru bin maimun, Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Su’aid bin Ghaflah, Suraij bin Hani dan lain-lain.
Para ulama membagi perkembangan hadits itu kepada tujuh periode yaitu :
a.       Masa Nabi.
b.      Masa Sahabat.
c.       Masa Tabi’in
d.      Masa pembukuan hadits (Abad II H ).
e.       Masa penyaringan dan seleksi ketat (Abad III H ) sampai selesai.
f.       Periode Penyempurnaan (Abad-IV H).
g.      Masa Klasifikasi dan Sistemisasi Penyusunan Kitab-kitab Hadits (Abad-V H).

Berdasarkan pengertian secara garis besar yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar daripada Mukhadramin maka sudah jelas bahwa kualitas hadits yang disampaikan oleh golongan Mukhadramin juga termasuk hadits-hadits yang Shohih memang ada juga yang termasuk hadits dhoif, hasan, juga maqtu’ tetapi tidak begitu besar dikarenakan para golongan Mukhadramin juga dari kalangan Tabi’in yang mana golongan ini adalah golongan kedua dalam tingkat tabaqah periwayat hadits.
B.     SARAN
Sebagai umat Islam kita mempunyai dua kitab yang amat berharga yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits oleh karena itu kita harus selalu menjaga kemurnian kitab tersebut, agar agama Islam selalu unggul dalam rentan waktu yang panjang ke depannya.

DAFTAR PUSTAKA
HR. Al-Bukhari, Kitabul ‘Ilmi bab Kaifa Yuqbadhul ‘Ilmu dan ad-Darimy
Muhammad bin Muhammad  Abu Syuhbah,  Al Wasith fi Ulum wa Mushtalah al Hadits.
Ajjaj Al Khotib, Ushul al Hadits ulumuhu wa mushtalahuhu, Darl Fikr, Beirut, 1989 M
Suyuthi, Jalaluddin Abdurrohman, Tadrib al Rawi. Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut, 1423.
Khauly, Muhammad Abdul Aziz. Miftah as Sunnah au Tarikhi Funun al Hadits, Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut.
Muhammad Mahfud i, Manhaj dzawin Nadhar, Haramain, Surabaya, 1394 H
Fathur Rahman. Mustalahu Al-Hadist. 1970, Bandung: PT Ma’arif




[1] HR. Al-Bukhari dalam Kitabul ‘Ilmi bab Kaifa Yuqbadhul ‘Ilmu? (Fat-hul Baary I/194) dan ad-Darimy (I/126).
[2] Hadits shahih riwayat Ahmad (I/321), Abu Dawud (no. 3659), al-Hakim (I/95) dan Ibnu Hibban (Shahih Mawariduzh Zham’an no. 65), dari jalan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu
[3] Muhammad bin Muhammad  Abu Syuhbah,  Al Wasith fi Ulum wa Mushtalah al Hadits, Darl Fikr al Araby, Beirut, tt,hal 51-52. Khauly, Muhammad Abdul Aziz. Miftah as Sunnah au Tarikhi Funun al Hadits, Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut, tt, hal : 16
[4] Ibid hal : 56 . Ajjaj Al Khotib, Ushul al Hadits ulumuhu wa mushtalahuhu, Darl Fikr, Beirut, 1989 M,hal 153-164. Suyuthi, Jalaluddin Abdurrohman, Tadrib al Rawi. Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut, 1423, Vol I hal 41
[5]  Al Khotib, Ajjaj Op.Cit hal 160, 194. Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad. Op.Cit hal 55-58
[6] Khauly, Muhammad Abdul Aziz. Miftah as Sunnah au Tarikhi Funun al Hadits, Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut, tt,hal : 16.
[7]  Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad, Op.Cit hal 56-66
[8]  Al Khotib, Ajjaj Op.Cit hal 181-182. Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad. Op.Cit hal 67-68
[9] Jalaluddin Abdurrohman Suyuthi, Op.Cit. Vol I hal 40. Turmusy, Muhammad Mahfud i, Manhaj dzawin Nadhar, Haramain, Surabaya, 1394 H, hal 18. Ajjaj Al Khotib, Op.Cit hal 183-184. Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Op.Cit hal 69-70
[10]Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah.,Op.Cit hal 72-76. Khauly, Muhammad Abdul Aziz. Op.Cit hal : 30-32
[11] Fathur Rahman. Mustalahu Al-Hadist. 1970, Bandung: PT Ma’arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Tinggalkan Koment yaaaa...!!! _^-^_