WELCOME

Sabtu, 07 Januari 2012

METODOLOGI TAFSIR

SEMESTER III

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Berinteraksi dengan Al-Qur’an merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim. Bentuk interaksi itu dapat berupa membaca, mendengar, menghafal, memahami, dan menafsirkan. Tidak ada yang lebih baik dari usaha kita untuk mengetahui kehendak Allah SWT terhadap kita. Dan, Allah SWT menurunkan kitab-Nya agar kita mentadaburinya, memahami rahasia-rahasia-Nya, serta mengeksplorasi mutiara-mutiara terpendamnya. Tentunya, setiap orang berusaha sesuai kadar kemampuannya.
Karena dalam menafsirkan Al-Qur’an sering terjadi kerancuan yang berbahaya, oleh karena itu harus dibuat rambu-rambu dan petunjuk yang mampu menjaga dari kekeliruan dalam usaha ini.
Dalam makalah ini kami mencoba menerangkan rambu-rambu  tersebut dengan berpedoman pada buku-buku refrensi Ulumal Qur’an sehingga diharapkan apa yang ingin dicapai dari setiap interaksi dapat terwujud,
B.     TUJUAN PENULISAN
1.    Mengetahui berbagai materi terkait pada mata kuliah Ulumul Qur’an B.
2.    Meningkatkan pengetahuan dan wawasan khususnya yang berhubungan dengan metodologi tafsir.
3.    Meningkatkan kreatifitas dalam pembuatan karya ilmiah.
C.    METODE PENULISAN
Dalam pembuatan karya ilmiah ini kami menggunakan metode kepustakaan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN METODOLOGI TAFSIR

Yang dimaksud dengan metodologi penafsiran dalam hal ini ialah cara-cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang di lakukan dengan cara tertentu.metode penafsiran Al-Qur’an dapat di bedakan antara metode tafsir dan metodologi tafsir. Metode tafsir adalah cara-cara menafsirkan Al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir adalah ilmu tentang penafsiran Al-Qur’an. Adapun cara penyajian atau memformulasikan tafsir tersebut di namakan teknik atau seni penafsiran. Jadi, metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang di gunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an ; sedangkan seni atau tekniknya cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang tertuang dalam metode. Adapun metodologi tafsir ialah pembahasan tentang metode-metode penafsiran.
Para ulama yang telah melakukan penelitian pada beberapa kitab tafsir Al-Qur’an, sedikitnya telah membagi menjadi empat macam penafsiran yaitu; tahlili (menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh aspeknya), Ijmali (Menafsirkan Al-Qur’an secara global), Muqarin ( Menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan merujuk kepada penjelasan-penjelasan para mufasir) dan Maudu’I ( Sebuah metode yang dapat mengantarkan manusia pada macam-macam petunjuk Al-Quran).
Kajian tentang metode penafsiran yang telah dilakukan oleh para pakar itu memberikan fungsi ganda.
1. memberikan  informasi elaboratif tentang perkembangan metodologi penafsiran yang pernah ada
2. menunjukkan sisi-sisi kelebihan dan kekurangan dari tiap-tiap metode sehingga di tuntut untuk menyempurnakannya atau bahkan menciptakan metode tafsir yang baru

B.     PROPOSAL TAFSIR
Untuk menekuni ilmu apapun, perlu mengetahui dasar-dasar umum dan ciri-ciri khususnya. Seseorang yang akan menjadi Mufasir, terlebih dahulu harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ilmu tafsir dan ilmu-ilmu lain sebagai penunjang yang di perlukan untuk membantu mencapai tingkat ahli dalam disiplin ilmu tersebut, sehingga disaat memasuki detil permasalahan ia telah memiliki dengan lengkap kunci pemecahannya
Untuk melakukan penelitian ayat-ayat Al-qur’an, seorang Mufassir harus terlebih dahulu melakukan atau membuat rancangan tafsir yang akan dilakukan sebagaimana seseorang akan melakukan penelitian harus membuat proposal penelitian terlebih dahulu.
1)      Proposal Penelitian Tafsir
Dalam hal ini orang yang akan melakukan penelitian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, terlebih dahulu harus membuat proposal tafsir. Seperti halnya proposal penelitian pada umumnya, pada proposal tafsir harus mencakup beberapa hal didalamnya yaitu;
a. judul atau tema tafsir
b. latar belakang masalah
c. persoalan
d. perumusan masalah penelitian
e. tujuan membuat tafsir
f. kerangka berfikir
g. metode penafsiran
h. daftar sumber tafsir
i. identitas penyusun tafsir
2)      Judul Tafsir
Seseorang yang akan meneliti ayat-ayat Al-qur’an harus memberikan judul penafsiran, agar penafsiran-penafsiran yang dilakukan dapat di petakan dalam satu bingkai judul. Dari sub-sub yang terkandung dalam judul atau tema terdapat sub judul yang perlu lebih di tekankan pembahasannya karena berkaitan langsung dengan permasalahan yang sedang di carikan jawabannya, supaya dapat menarik perhatian pembaca, maka sebaiknya judul itu dibuat sedemikian rupa sehingga seseorang hanya dengan membaca judulnya akan merasa tertarik untuk membaca isinya.
3)      Latar belakang Masalah
Latar belakang masalah berfungsi sebagai pengantar munculnya masalah penelitian, yang diambil dari suatu pemikiran atau berdasarkan hasil studi penjajakan (studi eksplorasi). Latar belakang masalah bertolak dari adanya minat dan perhatian peneliti terhadap suatu yang disinyalir mengandung masalah. Sesuatu itu berasal dari pergulatan pemikiran dalam mayarakat ilmiah, atau dari informasi yang diperoleh dalam bidang keahlian peneliti itu sendiri, atau dari pengalaman kehidupan sehari-hari yang dapat dijelaskan,dianalogikan dan dihubungkan dengan pandangan orang atau informasi dari suatu badan yang memiliki otoritas. Masalah yang disinyalir itu dikemukakan secara meyakinkan, baik yang berdiri sendiri maupun yang berhubungan dengan sesuatu yang lain.
4)      Persoalan
Seorang mufassir hendaknya dapat menyelesaikan setiap pembahasan suatu persoalan secara tuntas. Namun, untuk membahas permasalahan yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an tidak aka nada habis-habisnya.
Oleh karena itu, salah satu cara untuk mempermudah dalam membatasi persoalan adalah dengan mengangkat persoalan tertentu yang kemudian di bahas secara dominan dan detil dengan menggunakan metode tematis (maudhu’i)
5)      Perumusan Masalah Penelitian
Secara sederhana, masalah penelitian dapat didenifisikan sebagai hubungan, sekurang-kurangnya, antara dua unsure. Unsur-unsur tersebut secara teknis kemudian dikenal sebagai variabel. Ia dirumuskan melalui tahapan identifikasi masalah, pembatasan masalah dan pernyataan masalah.


6)      Tujuan
 Tujuan pembuatan tafsir dapat dinyatakan berdasarkan kebutuhan atau kepentingan mufassir terhadap hasil penelitian yang ingin di perolehnya. Selain itu penelitian juga dapat mengemukakan beberapa hal yang perlu ditekankan dan petunjuk atau saran-saran jika di anggap perlu untuk menghindari kesalahpahaman.
7)      Kerangka Berfikir
Kerangka berfikir dapat berupa kerangka teori dan dapat pula berbentuk kerangka penalaran logis. Kerangka teori itu merupakan uraian ringkas tentang teori yang digunakan dan cara menggunakan teori itu dalam menjawab pertanyaan penelitian. Kerangka penalaran logis merupakan urutan berfikir logis, sebagai suatu ciri dari cara berfikir ilmiah yang akan digunakan dan cara menggunakan logika tersebut dalam memecahkan masalah.
8)      Metode Penafsiran
Seorang yang akan melakukan penelitian ayat-ayat al-Qur’an dapat menggunakan metode-metode yang telah ditempuh oleh para mufassir seperti Tahlili, Ijmali, Muqarrim, atau pun Maudhu’i.
Menetapkan metode bagi orang yang akan melakukan penelitian terhadap ayat-ayat Al-qur’an sangat penting. Karena dengan berpedoman pada salah satu metode itu seorang peneliti telah berusaha menjaga dari kecenderungan unsur subyektivitas.
9)      Daftar Sumber Tafsir
Karena Al-Qur’an telah dikaji oleh banyak mufassir dari berbagai kalangan sejak dulu hingga sekarang, tentu akan dapat membantu seseorang untuk melakukan penelitian tafsir.
Namun demikian peneliti tafsir yang hendak menukil pendapat seseorang mesti harus selektif dan mempunyai standar yang jelas.



10)  Identitas Penyusun tafsir
Pada akhir rancangan penelitian tafsir, seorang peneliti harus mencantumkan identitas pribadi untuk bukti pertanggungjawaban kaitannya dengan penelitian yang dilakukan.
C.    PROPOSAL PENYUSUNAN TAFSIR
Berbeda dengan penelitian tafsir, menyusun tafsir dalam arti menafsirkan Al-Qur’an memerlukan persyaratan tertentu. Al-Farmawi, menjelaskan bahwa seorang mufassir harus memiliki persyaratan berikut.
a.   Memiliki keyakinan yang benar, karena orang yang keberagamaannya telah rusak, ia tidak dapat dipercayai untuk menangani urusan-urusan keduniaan.
b.    Memiliki motivasi yang benar, yakni ia harus memiliki motivasi semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan motivasi yang lain, seperti mencari pujian dan kecintaan dari orang lain atau lainnya, selain untuk mendekatkan diri pada Allah.
c.   Keikhlasan seseorang terlihat dari kezahidannya. Jika seseorang termasuk pecinta dunia, sulit dipercaya jika ia tidak memiliki motivasi untuk memperoleh keduniaan, baik harta, prestise, pujian, atau perhatian orang kepadanya.
d.   Memiliki ilmu-ilmu yang dibutuhkan seorang mufassir, yakni 15 ilmu, yaitu:
1. Ilmu bahasa Arab (lingustik Arab).
2. Ilmu nahwu (tata bahasa).
3. Ilmu sharaf (konyugasi).
4. Ilmu istiqaq (derivasi kata, etimologi).
5. Ilmu ma’ani (retorika).
6. Ilmu bayan (ilmu kejelasan berbicara)
7. Ilmu badi’ (efektivitas bicara)
8. Ilmu qira’at.
9. Ilmu ushuluddin (dasar-dasar agama Islam)
10. Ilmu ushul fiqih
11. Ilmu asbab an-nuzul
12. Ilmu nasikh-mansukh
13. Ilmu fiqih
14. Ilmu hadist
15. Ilmu mauhibbah
Berkaitan proposal penyusunan tafsir, hendaklah diperhatikan hal-hal berikut ini:
1.  proposal harus mengetengahkan metode penafsiran yang dapat diandalkan menyentuh sekaligus menyelesaikan permasalahan-permasalahan kekinian dan kedisinian.
2. mufassir harus memiliki wawasan yang luas mengenai prinsip-prinsip penafsiran yang diandalkan dapat menyelesaikan misi tafsir diatas.
Satu diantara teori prinsip penafsiran dikemukakan oleh Kunto Wijoyo. Berikiut ini adalah penuturannya:
a.   Perlu dikembangkan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran             individual ketika memahami ketentuan-ketentuan dalam Al-Quran.
b.   Mengubah cara berpikir subjektif menjadi cara berfikir objektif.
c.   Mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis. Selama ini, kita cendrung lebih menafsirkan ayat-ayat Al-Quran pada level normatf, dan kurang memperhatikan adanya kemungkinan untuk mengembangkan norma-norma itu menjadi kerangka-kerangka teori ilmu.
d. Mengubah pemahaman yang ahistoris. Selama ini pemahaman kita mengenai kisah-kisah yang ditulis di dalam Al-Quran cendrung bersifat ahistoris. Padahal, maksud Al-Quran menceritakan kisah-kisah itu justru agar kita berpikir historis.
e.   Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum (general) menjadi formulasi yang spesifik dan empiris.


D.    PENGUMPULAN,  ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA
Terutama pada tafsir tematis, pengumpulan data harus dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat digunakan menjadi sampel data yang tepat, mewakili dan akurat. Setelah data-data dapat dikumpulkan kemudian dihimpun dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat tersusun data-data berdasarkan masing-masing sub yang diperlukan.
Diusahakan dalam penyusunan data ini dilakukan dengan cermat sehingga nampak ada kesesuaian dan hubungan yang berkelanjutan dari masing-masing sub pembahasan.
Kemudian setelah penyusunan data dapat terbentuk rapi, maka dilakukan analisis dan interpretasi data. Analisis data dilakukan berdasarkan data-data yang telah terkumpul hingga akhirnya peneliti dapat menginterpretasikannya melalui hasil pemahaman dirinya. Hasil interprestasi itu selanjutkan dituangkan dalam bentuk karya tulis.
E.     MODEL PENYUSUNAN TAFSIR
Yang dimaksud dengan penyusun tafsir di sini adalah jalan yang ditempuh para Mufassir  di dalam menyusun tafsir Al-Quran. Misalnya mula-mula Mufassir menyebutkan ayat-ayat yang akan ditafsirkan, kemudian memberikan arti kata Mufradat, memberi penjelasan makna ringkasnya, baru mengemukakan penjelasan maksud dan kandungan ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut dengan sesuai kebutuhan. Ada pula Mufassiar yang memulai dengan menyebutkan ayat-ayat yang akan ditafsirkan, lalu terjemahnya, kemudian penjelesan tafsiran-tafsiran ayat tersebut dan diakhiri dengan suatu khulasah yang ditarik dari tafsiran-tafsiran tersebut
Pada dasarnya penyusunan tafsir Al-Quran dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1)  Sederhana  (المنهج البسيط)
Yaitu penyusunan tafsir yang dilakukan dengan menggunakan atau mengemukakan segi-segi penafsirannya, dan biasanya hanya memberikan kata-kata sinonim dari lafal-lafal ayat yang perlu dijelaskan saja. Dan penjelasan dilakukan dengan seperlunya saja.
Penfsiran semacam ini dapat ditemui pada tafsiran-tafsiran Nabi dan para sahabat, yang biasanya hanya member keterangan tentang maksud kata pada ayat-ayat yang suukar saja dengan menjelaskan dibelakang kata-kata yang sukar tersebut.
2)  Sedang       (المنهج الوسيط)
Yaitu penyusunan tafsir Al-Quran yang dilakukan dengan menggunakan dua atau tiga segi penafsiran saja. Misalnya Mufassir hanya menerangkan kata-kata Mufradat, sebab-sebab turunya ayat dan sedikit tafsiran kalimat-kalimatnya.
Cara penyusunan tafsir semacam ini biasanya dipakai oleh sebagian sahabat dan tabi’in. Mereka melalui menambahkan sedikit keterangan yang disisipkan di tengah-tengah ayat Al-Quran.
3)  Lengkap     (المنهج المبسوط)
Yaitu penyusunan tafsir Al-Quran yang dilakukan dengan menggunakan dari berbagai segi penafsiran, misalnya dari segi kata Mufradat, I’rab bacaannya, sebab turunnya ayat, hubungan ayat-ayat yang ditafsirkan, hikim-hukum yang dikandungnya, penafsiran kalimat demi kalimat dan segi-segi yang lain.
Penafsiran tsfsir yang demikian banyak dilakukan oleh sebagian Mufassir dari tabiit tabi’in dan para ulama Mutaqaddimin pada umumnya.
Penafsiran penafsiran mereka biasanya disusun tanpa dipisah –pisahkan dari segi-segi penafsiran yang ada di dalamnya. Melainkan disambungkan tanpa memberikan judul-judul khusus.Contoh tafsir yang disusun dengan model ini adalah Tafsi Al-Qasami, Tafsir Al-Manar dan lain sebagainya. Akan tetapi ada pula yang memisahkan segi-segi penafsiran tersebut seperti Tafsir Al-Maragi,Rawai’ul Bayan dan lain sebagainya.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1. Pengertian metodologi tafsir yaitu cara-cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara tertentu
2. Penyusunan proposal tafsir,Al- Farmawi menjelaskan bahwa seorang mufassir harus memiliki syrat sebagai berikut:
     a. Memiliki keyakinan yang benar
     b. Memiliki motivasi yang benar
     c. Keiklasan seorang terlihat dari kezahidannya
     d. Memiliki ilmu-ilmu yang dibutuhkan seorang mufassir
3. Pengumpulan analisis dan interprestasi data
4. Model penyusunan tafsir terbagi antara lain:
     - sederhana
     - sedang
     - lengkap
B.     Saran
Dengan penuh kerendahan kami hanya memberikan saran sebagai umat Islam seyogianya kita berpegang teguh dengan kitab suci Al-Qur’an karena dengan kitab ini kita dapat menggali ilmu-ilmu yang bermanfaat tetapi jangan lupa dengan segala ilmu yang mempunyai dasar dengan paparan makalah kami semoga membantu dalam mencari titik terang penafsiran ayat-ayat dengan metodologinya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syadali, H. Drs., M.A dan Ahmad Rofi’I, H. Drs., Ulumul Quran II, CV Pustaka Setia: 1997.
Rosihon Anwar, Drs., M.Ag., Ilmu Tafsir, CV Pustaka Setia, Bandung: 2000.
Rif”at Syauki nawawi, Drs., dan M. Ali Hasan, Drs., Pengantar Ilmu Tafsir, PT Bulan Bintang, Jakarta: 1988.
                                           






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Tinggalkan Koment yaaaa...!!! _^-^_