Antara kebebasan dan keterpaksaan manusia
A. Pemikiran islam tentang perbuatan
manusia
Manusia adalah dalam bahasa Arab al-nas
atau al-inan menurut ajaran islam adalah makhluk yang terbaik yang
diciptakan Allah. Ia merupakan makhluk termulia dibandingkan makhluk atau wujud
lain yang terdapat dijagat raya ini. Allah mengurniakan suatu kualitas
keutamaan kepada manusia sebagai pembedanya dengan makhluk lain. Dengan
keutamaan itulah manusia berhak mendapat penghormatan daripada makhluk-makhluk
lainnya. Sebagai makhluk utama dan ciptaan tuhan yang terbaik, manusia diberi
tugas menjadi khalifah atau wakil tuhan di muka bumi. Manusia ditumbuhkan dari
bumi dan diserahi tugas untuk memakmurkannya.
Begitu pentingnya kedudukan
manusia dalam islam, sehingga al-quran mengulang-ngulang perkataan insan lebih
dari 60 kali. Kata insan disebutkan atau dituliskn secara ma’rifah dengan
memakai alif –lam, kecuali pada satu tempat saja tanpa memakai alif-lam
sehingga menjadi nakirah.. penyebutan kata insan dalam al-quran biasanya
dalam konteks keduniaan, meskipun bukan tidak ada konteks tentang ke akhiratan.
Pada wahyu pertama saja, kata insan disebut tiga kali. Pada wahyu pertama pula
dijelaskan Allah hakikat insan. Secara lebih terperinci di ungkapkan
proses penciptaan insan agar manusia dapat mengambil hikmah darinyaa, dan agar
dengan kesadaran akan potensinya itu ia dapat berhasil dalam pengembaraanya di
muka bumi, mengingat tanggung jawab manusia yang sangat berat yang makhluk lain
tidak berani memikulnya.
Manusia pada dasarnya merupakan
makhluk teomorfis, artinya, dibalik kelemahan dan keterbatasannya, manusia
mempunyai sesuatu dalam dirinya yakni sifatsifat ketuhanan. Hal ini tidak
berarti pemanusiaan Tuhan, karena zat Tuhan tetap dan kekal. Berbeda dengan
manusia yang berubah dan tidak abadi. Bahkan, menurut Nasr, dalam tradisi Tuhan
menciptakan Adam, manusia pertama itu merupakan cermin yang memantulkan nama
dan sifatnya secar sadar. Ada sesuatu yang suci didalam diri manusia. Keadaan
manusia serti itulah yang memungkinnya menjadi lebih mulia dari malaikat.
Bahkan samapai batas-batas tertentu ia dapat mempunyai sifat ketuhanan dalam
kadar yang tinggi. Sebaliknya, pada saat yang sama pula dengan sifat
kemanusiaannya yang dipengaruhi hawa nafsu ia dapat menjadi ‘Iblis’ dan lebih
daripada binatang, dan dikutuk Tuhan karena pendurhakaanya. Seprti di tulis
Nasr:
Disinilah
letak keagungan dan kengerian keadaan manusia. Setiap makhluk didunia tetap
jadi dirinya sendiri, karena ia telah ditetapkan pada tingkat eksistensi
tertentu. Hanya manusialah yang dapat berhenti menjadi manusia. Ia dapat naik
ke tingkat eksistensi duniawi tertinggi atau pada saat yang sama jatuh dibawah
tingkat makhluk yang paling rendah. Alternatif surga neraka yang diberikan kepadanya
menunjukan kondisi manusia yang unik. Dilahirkan sebagai manusia, ia memiliki
keuntungan yang tidak dimiliki makhluk-makhluk lain.[1]
Demikianlah, islam memberikan ke
absahan kepada manusia sebagaimana ia telah diciptkan Tuhan dengan segala
kemungkinan yang terkandung dalam dirinya. Akan tetapi, sejauh manakah manusia
mempunyai kemampuan untuk mengembangkan potensinya dirinya guna memenuhi
tugasnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi? Sebatas manakah ruang gerak
manusia terbuka untuk memenuhi tanggung jawabnya itu di hubungkan dengan
kekuasaan Tuhan sebagai penciptanya.
Pertanyaan ini tidaklah mudah
dijawab. Dan masalah itu pula lah menimbulkan perdebatan berkepanjangan antara
golongan Qadariyah dan Jabariyah dalam teologi islam. Pada kedua golongan ini
berkembang pemikiran-pemikiran tentang kebebasan manusia dalam
menentukan dan memilih perbuatannya dan predestinasi. Masalah-masalah tersebut,
tidak syak lagi, berakar pada masalah-masalah metafisika yang lebih luas,
menyangkut konsepsi mengenai Tuhan dalam hubungannya dengan dunia pada umumnya
dan manusia khusunya. Hal itu kemudian dikaitkan dengan ayat-ayat al-quran
sebagai dalil naqli bagi golongan-golongan tersebut.
B. Pengertian dan latar belakang
Pada
dasarnya, terdapat dua kutub yang bertolak belakang dalam islam berkenaan
dengan masalah perbuatan manusia. Munculnya kedua golongan itu, disamping
karena perbedaan pandangan di anatara mareka dalam melihat kekuasaan Tuhan,
terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang kesejarahan dan faktor
geografis tempat kedua golomgan itu pertama kali lahir. Golongan yang pertama
adalah mareka yang percaya pada karsa bebas dan kemampuan manusia dalam
mewujudkan kemauan dan perbuatannya, mereka disebut Qadariyah. Golongan kedua
adalah mereka yang berpendapat, bahwa manusia pada hakikatnya tidak mempunyai
kemampuan apa-apa untuk mewujudkan keinginan dan perbuatannya, karena setiap
perbuatan manusia telah ditentukan oleh Tuhan sebagai pencipta manusia.
Golongan ini disebut Jabariyah. Qadariyah dalam pengertian petama ini adalah
orang-orang yang berpendapat bahwa nasib manusia telah ditentukan Tuhan sejak
zaman azali. Dalam pembahasan ini, Qadariyah yang dimaksud dalam pengertian
pertama. Sedangkan Qadariyah menurut pengertian kedua seperti dikenal dalam
sejarah islam teologi islam, tidak lazim digunakan, tetapi biasa disebut dengan
Jabariyah.
C. Perbuatan manusia
Qadariyah sangat menitik beratkan
tanggung jawab manusia atas setiap perbuatannya. Mereka menolak paham yang
berpendapat bahwa Tuhan berkuasa muthlak atas setiap perbuatan manusia. Menurut
Qadariyah, dengan akal yang diberikan Tuhan kepadanya, manusia mampu membedakan
(memilih) perbuatan baik dan buruk. Dengan kemampuan dan kebebasan itulah
manusia berkuasa menciptakan nasibnya sendiri. Dengan demikian, setiap
perbuatan manusia baik dan buruk, beriman dan kufur ditentukan oleh dirinya
sendiri. Allah tidak bisa dibebani oleh tanggung jawab atas perbuatan manusia.
Seperti yang dinyatakan Ghailan, bahwa manusia melakukan perbuatan baik atas
kehendak dan kekuasaanya sendiri, dan melakukan perbuatan jahat atas kemauan
dan dayanya sendiri.[2]
Disini
kelihatan manusia merdeka atas kemauan dan tingkah lakunya, apakah ia mau
berbuat baik atau berbuat buruk, beriman atau kufur terhadap Tuhan. Atas
perbuatan yang dilakukannya itu, manusia memperoleh balasan yang sepadan ayau
setimpal dari Allah. Sesuai dengan sifat keadilan Tuhan, maka disamping
memberikan perintah kepada manusia untuk berbuat sesuatu, Tuhan membekali
manusia dengan daya atau kemampuan untuk berbuat. Tuhan yang maha adil tidak
mungkin mengingkari dirinya sendiri dengan berbuat zalim kepada manusia yaitu
tidak memberikan daya dan kekuatan bagi manusia guna mewujudkan perbuatannya
yang berkaitan dengan perintah dan larangannya.
Dilihat dari segi gerak perbuatan
manusia, Qadariyah membaginya atas dua bagian: gerak sadar dan gerak tidak
sadar. Secar sadar manusia dapat membedakan kedua gerak itu. Gerak sadar
dilakukan atas kemauan manusia, misalnya gerak tangan mengambil sesuatu, sesuai
dengan perintah otak dan kemauan. Sedangkan gerak tidak sadar berada diluar
kontrol otak, kemauan, dan kekausaan manusia, misalnya gerak tangan atau tubuh
ketika menggigil karena kedinginan. Adanya istilah pembunuhan sengaja, dan,
pembunuhan tidak sengaja, dalam hukum islam, menurut Qadariyah, menunjuka
indikasi pemisahan kedua jenis gerak laku manusia.
Adanya pemisahan dan pembagian
gerak laku perbuatan manusia seperti di atas melahirkan pendapat lebih lanjut.
Jika manusia bukan menciptakan sendiri gerak sadar dalam perbuatannya, maka
gugurlah tanggung jawab atau kewajiban atas dirinya. Bila manusia tidak
memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk berbuat dan tidak berbuat, tidaklah
dapat diterima akal kalau perintah dijatuhakan kepadanya untuk melakukan atau
meningkatkan suatu perbuatan. Jika demikan keadaanya, maka tidak dapat
dikenakan pahala dan dosa atau pujian
dan celaan keapada manusia. Sebab, kalau ia melakukan perbuatan baik dan
karena itu ia dipuji atau diberi pahala, seharusnyalah pujian dan pahala itu
diberikan Allah. Sebaliknya, kalau manusia melakukan perbuatan buruk, karena
itu ia di cela dan berdosa maka celaan dan dosa itu patutnya ditujukan kepada
Tuhan. Tuhan tidak mungkin di cela atau pun tercela, karena ia maha sempurna.
Jiak Allah elaksanakan sendiri setiap perbuatan manusia, termasuk kekafiran,
kedurhakaa, dan kejahatan, berarti ia bersikap tidak adil dan zalim terhadap
manusia berarti keingkaran Tuhan terhadap koderatnya.
Ringkasnya,
segala perbuatan manusia merupakan hal yang dipaksakan atas dirinya. Termasuk
dalamnya perbuatan-perbuatan seperti menjalankan kewajiban dan perintah agama,
menerima pahala dan menerima siksaan. Allah lah yang menakdirkan seseorang
melakukan seseuatu dan di takdirkan untuk diberi pahala. Sedangkan yang lain
ditakdirkan mengerjakan seseutau pula dan diberi siksa. Secara lahir manusia
kelihatannya seakan-akan mempunyai pilihan, tetapi pada hakikatnya ia tidak
punya pilhan sama sekali. Ia sama seperti benda baku yang terpaksa dalam setiap
geraknya, baik secara lahiriah maupun pada hakikatnya.[3]
ReferEnsi
M. Dawam Rahardjo, Insanul kamil, konsepsi manusia menurut islam,
Jakarta, PT. Grafiti pers pusat perdaganagan senin Blok II, 1985.
[1] Dr. Ahmad
Amin, Dhuha Al-Islam, Jilid III, al-Nahdah, Kairo, 1964, hal. 53-54.
S,H. Nasr, islam dalam citra dan fakta, terjemahan Abdurrahman
Wahid dan Hashim Wahid, leppenes, Jakarta, 1981, hal. 4.
[1]
S,H. Nasr, islam dalam citra dan fakta, terjemahan Abdurrahman Wahid dan
Hashim Wahid, leppenes, Jakarta, 1981, hal. 4.
[2]
Dr. Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Jilid III, al-Nahdah, Kairo, 1964, hal.
53-54
[3]
M. Dawam Rahardjo, insanul kamil, konsepsi manusia menurut islam,
Jakarta, PT. Grafiti pers pusat perdaganagan senin Blok II, 1985.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Tinggalkan Koment yaaaa...!!! _^-^_