HAKIKAT MANUSIA
MENURUT
PANDANGAN ILMIAH DAN FILSAFAT
Dalam pandangan
klasik dan rasional tentang manusia faktanya manusia adalah makhluk yang
berakal. Menurut Plato akal adalah alat untuk mengarahkan budi pekerti.
Aristoteles juga berpendapat bahwa akal manusia adalah kekuatan yang tertinggi
dari jiwa dan merupakan kebanggaan dan keagungan manusia. Manusia menurut
pandangan ilmu Antropologi adalah homo sapien. Pandangan antropologi budaya
manusia adalah organisme sosio budaya. Pandangan ilmu psikologi manusia adalah
individu yang belajar. Pandangan ilmu sosiologi manusia adalah animal
sociale (binatang yang bermasyarakat). Menurut Aristoteles ilmu politika
manusia sebagai animal politicon (binatang yang hidup berpolitik).
Pandangan ilmu ekonomi manusia adalah animal econominicus (binatang yang
terus berusaha memperoleh kemakmuran materiil).
Manusia menurut pandangan filsafat manusia adalah:
- Manusia
seutuhnya (animal symbolicum).
- Hewan
yang mempunyai kemampuan menggunakan simbol-simbol untuk menyatakan
pikiran sebagai milik manusia yang unik (animal rationale).
- Hewan
yang mempunyai kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol untuk
mengkomunikasikan pikirannya (animal sociale).
- Hewan
yang mempunyai kemampuan menggunakan simbol-simbol untuk menalar dan
menyadari sebagai pribadi yang menalar.
- Hewan
yang mempunyai kemampuan menggunakan simbol-simbol untuk mengkombinasikan
unsur-unsur yang menghasilkan suatu yang kreatif.
- Hewan
yang mempunyai kemampuan menggunakan simbol-simbol maka dapat mengadakan
perbedaan moral.
- Hewan
yang mempunyai kemampuan menggunakan simbol-simbol dapat menyadari diri
sendiri sebagai pribadi.
Sifat-sifat
manusia yang demikian harus dipahami oleh para pelaku pendidikan sebagai dasar
pengembangan proses pendidikan guna mencapai hasil sebagaimana diharapkan baik
untuk masa depan peserta didik itu sendiri maupun untuk pembangunan secara
luas.
A. Manusia sebagai Makhluk Individu
Setiap insan
yang dilahirkan tentunya mempunyai pribadi yang berbeda atau menjadi dirinya
sendiri, sekalipun sanak kembar. Itulah uniknya manusia. Karena dengan adanya
individulitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita,
kecenderungan, semangat, daya tahan yang berbeda. Kesanggupan untuk
memikul tanggung jawab sendiri merupakan ciri yang sangat essensial dari adanya
individualitas pada diri setiap insan. Mengenal
perbedaan individual murid ini sangat penting bagi guru, yaitu guru dapat
menyikapi siswa dengan cara tertentu dalam proses pembelajaran. Guru tidak bisa
memperlakukan siswa secara seragam. Keunikan siswa hendaknya dihadapi dengan
cara-cara yang beragam guna mencapai efektifitas pembelajaran.
Menurut
Oxendine dalam (Tim Dosen TEP, 2005) bahwa perbedaan individualitas setiap
insan nampak secara khusus pada aspek sebagai berikut
- Perbedaan
fisik: usia, tingkat dan berat badan, jenis kelamin, pendengaran,
penglihatan, kemampuan bertindak.
- Perbedaan
sosial: status ekonomi,agama, hubungan keluarga, suku.
- Perbedaan
kepribadian: watak, motif, minat dan sikap.
- Perbedaan
kecakapan atau kepandaian
Sifat-sifat
keindividualitasan setiap insan perlu ditumbuhkembangkan melalui pendidikan
agar bisa menjadi kenyataan, disini pendidikan berfungsi membantu peserta didik
untuk membentuk kepribadianya atau keindividualannya. Sebagai makhluk individu,
manusia memerlukan pola tingkah lak yang bukan merupakan tindakan instingtif,
dan hal ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman belajar (Tim
Dosen FIP-UM,1995). Pendidikan harus mengembangkan peserta didik agar mampu
menolong dirinya sendiri. Pendidik hanya menunjukan jalan dan memberikan
motivasi bagaimana cara memperoleh sesuatu dalam mengembangkan dirinya. Artinya
bahwa dalam proses pendidikan itu yang aktif bukan hanya pendidik tetapi juga
peserta didik. Proses pendidikan adalah tindakan bersama, berlangsung dalam
suatu pergaulan timbal balik, yang juga memperhatikan kepribadian tiap peserta
didik, kesefahaman,keserasian, kebersamaan antara pendidik dan peserta didik
untuk menumbuhkan rasa saling percaya dan ini merupakan dasar untuk menumbuhkan
kewibawaan pendidik. Pendidikan adalah suatu hak fundamental, maka masyarakat
mempunyai kewajiban untuk memberikan kesempatan pendidikan yang diimplikasikan
oleh hak itu, (Arbi, 1988). Pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara
keluarga, pemerintah dan masyarakat. Dilain pihak dikatan bahwa pendidikan
berhubungan untuk ”dapat membangun diri sendiri serta bersama-sama bertanggung
jawab atas pembangunan bangsa”.
B. Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia adalah
makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia tidak dapat mencapai
apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri. Sebagai makhluk sosial karena
manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol untuk
mengkomunikasikan pemikiran dan perasaanya. Manusia tidak dapat menyadari individualitas,
kecuali melalui medium kehidupan sosial.
Manisfestasi
manusia sebagai makhluk sosial, nampak pada kenyataan bahwa tidak pernah ada
manusia yang mampu menjalani kehidupan ini tanpa bantuan orang lain. Kesadaran manusia sebagai makhluk sosial, justru
memberikan rasa tanggungjawab untuk mengayomi individu yang jauh lebih ”lemah”
dari pada wujud sosial yang ”besar” dan ”kuat”. Kehidupan sosial, kebersamaan, baik itu non formal (masyarakat)
maupun dalam bentuk-bentuk formal (institusi, negara) dengan wibawanya wajib
mengayomi individu.
Esensi manusia
sebagai makhluk sosial pada dasarnya adalah kesadaran manusia tentang status
dan posisi dirinya adalah kehidupan bersama, serta bagaimana tanggungjawab dan
kewajibannya di dalam kebersamaan.
Hakekat manusia
sebagai makhluk sosial dan politik akan membentuk hukum, mendirikan kaidah
perilaku, serta bekerjasama dalam kelompok yang lebih besar. Dalam perkembangan
ini, spesialisasi dan integrasi atau organissai harus saling membantu. Sebab
kemajuan manusia nampaknya akan bersandar kepada kemampuan manusia untuk
kerjasama dalam kelompok yang lebih besar. Kerjasama sosial merupakan syarat
untuk kehidupan yang baik dalam masyarakat yang saling membutuhkan.
Melalui
pendidikan dapat dikembangkan suatu keadaan yang seimbang antara perkembangan
aspek individual, sosial, moral dan religi, agar menjadi manusia yang bisa
menjalani kehidupan bersama.
C. Manusia sebagai Makhluk Susila
Susila berasal
dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi.
Menurut bahasa ilmiah sering digunakan istilah etiket (persoalan kepantasan dan
kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Jasi kesusilaan selalu berhubungan
dengan nilai-nilai. Pada hakekatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil
keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah
makhluk susila. Dirjarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang
memiliki nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. (Dirjarkara, 1978,36-39)
nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena
mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan dan sebagainya, sehingga dapat
diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup.
Hubungan dan
kebersamaan dengan sesama manusialah manusia dapat hidup dan berkembang sebagai
manusia. Manusia bertindak, tidak sembarang bertindak, melainkan mereka dapat
mempertimbangkan, merancang, dan mengarahkan tindakannya. Persoalan mengenai
masalah apakah tindakannya baik dan tidak baik, adalah persoalan tentang nilai,
persoalan norma, persoalan moral atau susila. Peran pendidikan disini membantu
mengarahkan perbuatan anak dalam kehidupannya dimasa mendatang. Dengan
pendidikan pula peserta didik dapat tumbuh kesadarannya terhadap nilai, dapat
tumbuh suatu sikap untuk berbuat dan mau berbuat selaras dengan nilai, atau berbuat
selaras dengan apa yang seharusnya diperbuat. Perbuatan yang selaras dengan
nilai itulah yang menjadi inti dari perbuatan yang bertanggung jawab.
Pandangan
manusia sebagai makhluk susila atau bermoral, bersumber pada kepercayaan bahwa
budi nurani manusia secara apriori adalah sadar nilai dan pengabdi norma-norma.
Pendirian ini sesuai dengan analisa ilmu jiwa dalam tentang struktur jiwa (das
Es, das Ich dan das uber ich). Struktur jiwa yang disebut das Uber Ich
(super ego) yang sadar nilai esensial manusia sebagai makhluk susila. Kesadaran
susila (sense of morality) tidak dapat dipisahkan dengan realitas
sosial, sebab adanya nilai, efektifitas nilai, berfungsinya nilai hanya ada di
dalam kehidupan sosial, artinya kesusilaan atau moralitas adalah fungsi sosial.
Tiap hubungan sosial mengandung hubungan moral. “Tiada hubungan sosial tanpa
hubungan susila, dan tiada hubungan susila tanpa hubungan sosial” (Noorsyam,
1986).
Kodrat manusia
sebagai makhluk susila dapat hidup aktif-kreatif, sadar diri dan sadar lingkungan,
maka intervensi pendidikan bukan hanya sekedar penanaman kebiasaan atau latihan
namun juga memerlukan motivasi dan pembinaan kata hati atau hati nurani yang
kelak akan membentuk suatu keputusan. Oleh karena itu pendidikan harus mampu
menciptakan manusia susila, dengan mengusahakan peserta didik menjadi manusia
pendukung norma, kaidah, dan nilai-nilai susila dan sosial yang dijunjung
tinggi oleh masyarakatnya.
Pentingnya
mengetahui dan menerapkan secara nyata norma,nilai dan kaidah masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari mempunyai beberapa alasan, antara lain:
- Untuk
kepentingan dirinya sendiri sebagai individu
Setiap individu
harus dapat menyesuaikan terhadap kehidupan dan bertingkah laku sesuai norma,
nilai, dan kaidah yang berlaku pada masyarakat, agar individu tersebut merasa
aman, diterima dalam kelompok masyarakat tersebut.
2. Untuk
kepentingan stabilitas kehidupan masyarakat itu sendiri
Dalam kehidupan
bermasyarakat tentunya memiliki aturan yang berupa norma, nilai dan kaidah
sosial yang mengatur tingkah laku individu yang bergabung didalamya. Norma,
nilai dan kaidah sosial tersebut merupakan hasil persetujuan bersama demi untuk
dilaksanakan dalam kehidupan bersama, demi untuk mencapai tujuan bersama .
D. Manusia sebagai Makhluk Keberagamaan
Manusia adalah
makhluk beragama, dalam arti bahwa mereka percaya dan/atau menyembah Tuha,
melakukan ritual (ibadah) atau upacara-upacara. Suatu fenomena bahwa manusia
menyembah, berdoa, menyesali diri dan minta ampun kepada sesuatu yang ghaib,
walaupun kemudian ada yang menjadi agnostic (tidak mau tahu akan adanya
Tuhan) atau atheis (mengingkari adanya Tuhan). Mereka cenderung untuk
mengganti Tuhan yang bersifat pribadi seperti negara, ras, proses alam,
pengabdian total untuk mencari kebenaran atau ideal-ideal yang lain. Hubungan
pribadi manusia dengan Tuhan lebih bersifat trasendental, karena hubungan ini
lebih banyak melibatkan rohani pribadi manusia yang bersifat perseorangan.
Dengan adanya agama maka manusia mulai menganutnya. Beragama merupakan kebutuhan
manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat
bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Manusia dapat
menghayati agama melalui proses pendidikan agama, penanaman sikap dan kebiasaan
dalam beragama dimulai sedini mungkin, meskipun masih terbatas pada latihan
kebiasaan (habit formation). Tetapi sebagai pengembangan pengkajian
lebih lanjut tentunya tidak dapat diserahkan hanya kepada satu pihak sekolah
saja atau orang tua saja melainkan keduannya harus berperan. Oleh karena itu
dimasukkannya kurikulum pendidikan agama di sekolah-sekolah.
Tugas
pendidikan yaitu membina pribadi manusia untuk mengerti, memahami, menghayati,
dan mengamalkan aspek-aspek religi dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Selaras dengan pandangan manusia sebagai makhluk beragama, maka menggali
nilai-nilai yang melandasi pendidikan itu hendaknya memperhatikan nilai-nilai
yang bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa dengan meyeimbangkan antara kehidupan
dunia dan akherat.
E. Potensi Manusia
Manusia
dikaruniai fasilitas istimewa dan tidak dimiliki makhluk lain yaitu berupa
akal. Dengan akal, Tuhan memberi tugas untuk mengatur, mengelola, memberdayakan
dan menjaga kelestarian alam. Manusia juga diberikan kelebihan yaitu rasa,
karsa, cipta, karya, dan hati nurani. Dari semua kelebihan tersebut bisa
dikembangkan kedalam potensi-potensi yang bersumber dari cipta, yaitu potensi
intelektual atau intelectual quontien (IQ). Potensi dari rasa, yakni
potensi emosional atau emosional quontien (EQ) dan potensi
spiritual atau spiritual quontien (SQ). Sedangkan potensi yang bersumber
dari karsa adalah potensi ketahanmalangan atau adversity quontien (AQ)
dan potensi vokasional quontien (VQ). Dengan
IQ, manusia mampu menyatakan benar dan salah berdasarkan intelektual. Kita
mampu menghitung, membuat konstruksi bangunan, meyusun program. Dengan EQ,
manusia mampu mengendalikan amarah, memiliki rasa iba, kasih sayang, tanggung
jawab, kerjasama dn kesenia (estetika). Dengan adanya EQ maka muncul sikap
sabar, lemah lembut ataupun sebaliknya. Dengan SQ, manusia membedakan mana yang
baik dan yang buruk. Potensi ini sangat terkait dengan etika atau nilai-nilai
moral, baik dan buruk, serta nilai-nilai keagamaan. Dengan AQ, manusia mampu
menghadapi berbagai hambatan dan tantangan hidup. Dengan adanya ini muncul
sikap tabah, tangguh, memiliki daya juang dan kreatifitas. Dengan VQ, manusia
mampu dan cenderung pada bidang-bidang ketrampilan atau kejuruan.
Misalnya bidang olahraga, kesenian, dan teknik. Pada hakekatnya, kedua potensi
AQ dan VQ merupakan manisfestasi dari berbagai potensi diri yang
direalisasikan dalam tindakan.
Berikut akan dideskripsikan bagaimana potensi-potensi itu berproses
pada diri manusia. Potensi pikir, awal dari proses pengembangan diri manusia.
Contoh, seorang pelukis ingin membuat sebuah gambar yang menarik menurut
pendiriannya. Dia punyai ide atau pikiran wujud benda yang mau dilukis,
katakanlah gambar wanita. Setelah ide itu muncul dan pikiran mulai berproses,
selanjutnya dia menilai secara psikologis (rasa) bahwa model gambar wanita yang
mau dilukis itu cocok, indah, dan menarik. Berikutnya muncul kehendak (rasa)
untuk mewujudkan keinginan membuat lukisan wanita itu. Kehendak akan muncul dan
ingin diwujudkan apabila hasil penilaian psikologis (rasa) cocok dengan selera
sang pelukis. Selanjutnya, ketika pada diri manusia sudah ada kehendak untuk
mewujudkan lukisan wanita, daya cipta muncul bagaimana memulai dan
menggambarkan model lukisan yang diinginkan. Hasil dari daya cipta ditunjukkan
dengan wujud nyata, yakni yang berupa lukisan wanita sebagaimana yang
dibayangkannya. Karena manusia adalah mahluk beretika, termasuk pelukisnya juga
mahluk etika, maka karya cipta manuisa itu harus mengandung nilai etika. Tidak
semaunya pelukis itu membuat lukisan apapun tanpa mempertimbangkan etika. Kalau
tidak, walaupun karya ciptanya bisa diterima orang lain, itu sangat terbatas.
Tetapi jika etika sosial dan keagamaan menjadi dasar dari semua karya cipta
manusia akan sangat memungkinkan untuk diterima oleh lebih banyak orang dan
lebih abadi. Inilah fungsi daripada potensi hati nurani dalam diri manusia,
yang berfungsi sebagai penyeleksi dan memberi penerangan pada setiap karya
cipta manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Tinggalkan Koment yaaaa...!!! _^-^_