WELCOME

Senin, 20 Juni 2011

SEJARAH PENDIDIKAN AGAMA DI INDONESIA DAN KEDUDUKAN AGAMA DALAMPENDIDIKAN NASIONAL


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara kultural, pendidikan pada umumnya berada dalam lingkup peran, fungsi dan tujuan yang tidak berbeda. Semuanya hidup dalam upaya yang bermaksud mengangkat dan menegakkan martabat manusia melalui transmisi yang dimilikinya, terutama dalam bentuk transfer of knowlodge dan transfer of values.
Dunia pendidikan Islam dengan pendidikan pada umumnya, kadang-kadang memang mempunyai persamaan dan kadang-kadang memang memiliki perbedaan. Persamaan akan timbul karena sama-sama berangkat dari dua arah pendidikan yakni dari diri manusia sendiri yang memang fitrahnya untuk melakukan proses pendidikan, kemudian dari budaya yakni masyarakat yang memang menginginkan usaha warisan nilai, maka semuanya memerlukan pendidikan.[1]
Mengenai pendidikan agama itu sendiri pada dasarnya cukup mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, apalagi bila dilihat dari dimensi historis. Sebelum pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan Barat yang sekuler, diketahui bahwa pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal yang ada di Indonesia.
Pendidikan nasional menggalakkan potensi induvidu secara menyeluruh dan terpadu untuk mewujudkan insan yang seimbang dan harmonis dari segi intelektual, rohani dan iman, berdasarkan kepada kepercayaan dan kepatuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Memang adanya penekanan di bidang pembentukan manusia seutuhnya  baik jasmani maupun rohani dalam sistem pendidikan nasional merupakan ciri pendidikan Islam. Oleh sebab itu, nilai-nilai agama akan selalu memberikan corak dan warna pada pendidikan nasional di Indonesia.

B. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka saya membatasi atau merumuskan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
A.    Bagaimana sejarah perguruan dan pendidikan agama di Indonesia?
B.     Bagaimana pemerintah mendudukkan pendidikan agama di Indonesia?
C.     Bagaimana implementasi pendidikan agama dalam pendidikan nasional?
C. Tujuan penulisan
Diantara tujuan penulisan atau pembuatan makalah ini yang paling pokok adalah sebagai pemenuhan tugas individu dari mata kuliah ilmu pendidikan, dan juga sebagai pengetahuan untuk para mahasiswa bagaimana sejarah dan perhatian pemerintah terhadap pendidikan agama di negara yang kita sayangi ini Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Perguruan dan Pendidikan Agama Islam di Indonesia.
Pendidikan Islam Secara etimologis pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Tarbiyah” dengan kata kerjanya “Robba” yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara.[2]
Menurut pendapat ahli, Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[3]
Pendidikan adalah
segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. (Ngalim Purwanto, 1995:11). HM. Arifin menyatakan, pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan menumbuhkan kemampuan dasar manusia[4]
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan memang sangat berguna bagi setiap individu. Jadi, pendidikan merupakan suatu proses belajar mengajar yang membiasakan warga masyarakat sedini mungkin menggali, memahami, dan mengamalkan semua nilai yang disepa kati sebagai nilai terpuji dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan Islam menurut Zakiah Drajat merupakan pendidikan yang lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis.[5]
Dengan demikian, pendidikan Islam berarti proses bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (Insan Kamil).
Tentang perguruan agama Islam, sebenarnya perjalanan sejarahnya sangat panjang, sebab sudah ada semenjak agama Islam itu sendiri bercokol di bumi nusantara, kendatipun dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu dari pendidikan langgar, masjid, pesantren, sampai madrasah.[6]
Dalam sejarahnya, sebelum pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan Baratnya yang modern, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal di Indonesia. Karena itulah pesantren ini merupakan “Bapak” pendidikan (termasuk Islam) di Indonesia.[7]
Pertumbuhan dan perkembangan perguruan dan pendidikan islam begitu pesat terjadi pada abad ke- 19 dan juga pengelolaannya pun sudah terorganisasi sangat rapi. Kondisi demikian terjadi di antaranya karena:
1.      Sudah mulai masuknya pemikiran-pemikiran pembaruan dari Timur tengah, dan
2.      Mendapat saingan dari pendidikan modern oleh pemerintah kolonial Belanda.
Berikut ini diuraikan secara singkat bagaimana perjalanan historis perguruan agama Islam sejak abad XIX dimaksud.
B.     Perkembangan Agama Islam Abad XIX dan Kelahiran Lembaga-lembaga Islam di Bidang Pendidikan.
Pada masa ini cukup banyak perubahan bagi umat Islam Indonesia, antara lain disebabkan banyaknya orang yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Sekembalinya berhaji tersebut mereka membawa paham atau pikiran-pikiran baru yang berbau pembaruan.
Dampaknya dalam dunia pendidikan Islam sangat dirasakan antara lain;
a.       Perubahan sistem pengajaran dari perorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal
b.      Pemberian pengetahuan umum di samping pengetahuan agama dan bahasa Arab.[8]
Diantara perkembangan kajian agama Islam begitu pesat dalam berbagai kurun waktu ketika masa kerajaan adalah sebagai berikut:
Pusat Keunggulan Pengkajian Islam Pada Tiga Kerajaan Islam di Aceh.
1. Zaman  Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). (, 1999: 54)[9]
Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.[10]
Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:
a.   Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i
b.   Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh
c.   Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama
d.   Biaya pendidikan bersumber dari negara.[11]
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”. [12]
Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.
2.   Kerajaan Perlak
Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.[13]
Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.
Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.[14]
Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.
3.   Kerajaan Aceh Darussalam
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M).
Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.[15]
Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
-   Sebagai tempat belajar Al-Qur’an
-  Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
Fungsi lainnya adalah sebagai berikut:
-   Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.
-   Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa.
-   Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
-   Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa
-   Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung.
-   Tempat bermusyawarah dalam segala urusan
- Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat.[16]
Selanjutnya sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah itu sendiri, terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena itu orang yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu mereka harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal di dayah tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan pondok-pondok kecil mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah seringkat Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan disetiap mukim.[17]
Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu:
1.   Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2.   Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
3.   Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjanaya yang terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar datang ke Aceh untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika.[18]
Tokoh pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si burung pungguk, syair perahu.
Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya.
Ulama dan pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin.
Pada masa kejayaan  kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (fakultas).
Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.
Diantara para ulama yang berjasa dalam upaya pengembangan pendidikan Islam, terutama dari model lama di pesantren tradisional yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama ke sistem madrasah ialah sebagai berikut:
a.       Syekh Abdullah Ahmad
Beliau adalah pendiri Madrasah Adabiyah di Padang (Sum-Bar) tahun 1909. Madrasah ini merupakan madrasah pertama di Indonesia. Madrasah Adabiyah pada mulanya bercorak agama semata, baru tahun 1915 ketika menjadi HIS (Holand Inland School) Adabiyah dimasukkan pelajaran umum ke dalamnya.
b.      Syekh M. Thaib Umar
Beliau adalah pendiri Madrasah School di Batusangkar tahun 1910. Di Madrasah School, sebagaimana layaknya sistem sekolah, murid-murid tidak lagi duduk bersila berhalaqoh, melainkan duduk berjajar, menggunakan meja, kursi dan papan tulis.
c.       Rahmah elYunusiyah
Beliau mendirikan Madrasah Diniyah putri di Padang Panjang pada tanggal 1 November 1923. Perguruan agama ini khusus mendidik putra-putri dalam ilmu pengetahuan umum.
d.      KH.A. Wahab Hasbullah dan KH. Mas Manshur
Mereka mendirikan Madrasah Taswirul Afkar tahun 1914. Madrasah ini juga di samping memberikan pengetahuan agama diberikan pula pengetahuan umum.
e.       KH. Hasyim Asy’ari
Beliau mendirikan Madrasah Salafiyah di Tebuireng Jombang Jawa Timur tahun 1916.

f.       KH. Ahmad Dahlan
Lewat organisasi Muhammadiyah yang ia dirikan pada 18 November 1912, mendirikan berbagai lembaga pendidikan dengan menggunakan sistem modern, dengan memadukan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan
Selain yang bersifat perorangan tersebut, terdapat banyak organisasi Islam yang lahir dan bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial kemasyrakatan seperti; Muhammadiyah, Jami’at Khair, Irsyad, Perhimpunan Umat Islam, Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Persyarikatan Ulama, Al-Ja’iyatul Washliyah, dan lain-lain.
C.    Proses Penyatuan Sistem Penyelenggaraan dan Lahirnya Madrasah Negeri
Upaya-upaya perbaikan dan peningkatan madrasah selalu dilakukan dalam berbagai aspek. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa; madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umunya, hendaklah mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.[19]
Maka menurut ketentuan pemerintah jenjang pendidikan madrasah berdasar peraturan menteri agama nomor I tahun 1952 tersusun sebagai berikut;
1)      Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun;
2)      Madrasah Tsanawiyah 3 tahun;
3)      Madrasah Aliyah 3 tahun.



D.    Lahirnya SKB 3 Menteri, SKB 2 Menteri, dan Penetapan Kurikulum 1984
Upaya untuk meningkatkan kualitas danpenyelenggaraan madrasah senantiasa dilakukan setelah adanya usaha penegerian terhadap madrasah swasta, maka terbit lagi Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tahun 1975 antara menteri Agama, menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri tentang peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah, yang dilatarbelakangi bahwa siswa madrasah sebagaimana tiap-tiap warga negara berhak mendapt pendidikan.
Dengan SKB tersebut, ditetapkan hal-hal berikut:
a.       Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum setingkat.
b.      Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas.
c.       Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.[20]

E.     Madrasah Aliyah Program Khusus
Kelahiran madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang didasari dengan keputusan Menteri Agama Nomor 73 tahun 1987 dilatarbelakngi oleh kebutuhan akan tenaga ahli di bidang agama Islam sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional. Maka, dengan itu perlu dilakukan usaha peningkatan mutu pendidikan pada madrasah Aliyah.
Adapun ciri khas dari MAPK ini adakah komposisi kurikulum pendidikan agamanya berbeda sekali dengan madrasah Aliyah biasa. Kalau madrasah Aliyah biasa umumnya mata pelajaran umum berkisar antara 75 persen dan agama 25 persen, maka pada MAPK mata pelajaran umum yang diberikan hanya berkisar 35 persen yaitu 100 beban kredit, sedangkan studi agama mencapai 65 persen atau 186 beban kredit.
Calon siswa yang masuk MAPK ini diseleksi secara ketat dan harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu sebagai berikut;
a.       Memiliki Ijazah/STTB MTsN;
b.      Menduduki peringkat atau rangking 1 s.d 10 DANEM MTsN pada tingkat Panitia Penyelenggaraan EBTAN dengan nilai bahasa Arab minimal 7;
c.       Berumur maksimal 18 tahun;
d.      Bersedia tinggal di asrama;
e.       Berbadan sehat;
f.       Mendapat persetujuan orang tua;
g.      Berkelakuan baik.

F.     Perintis Wajib Belajar 9 Tahun di Madrasah
Dengan lahirnya UU Nomor 2 tahun 19889 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama PP Nomor 28 tahun 1990 tentang pendidikan dasar, maka jenjang pendidikan dasar yang merupakann program wajib belajar 9 tahun, meliputi madrsah Ibtidaiyah 6 tahun dan madrasah Tsanawiyah 3 tahun. Wajib belajar itu sendiri secara resmi dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada 2 mei 1994.
G.    Kelahiran Kurikulum 1994
Usaha untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu madrasah ternyata tidak pernah berhenti, seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, madrasah pun tidak mau ketinggalan.
Di dalam Pasal 37 UU Nomor 2 tahun 1989 dinyatakan bahwa : Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan siswa dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kesenian sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.
Untuk mewujudkan tuntutan UU Nomor 2 tahun 1989 dan beberapa peraturan pemerintah di atas, menteri agama telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan mengenai kurikulum madrasah. Salah satu dari ketentuan itu, menteri agama telah mengeluarkan ketentuan mengenai kurikulum madrasah yang berlaku secara nasional, berdasarkan surat keputusan Nomor 371 Tahun 1993 tentang kurikulum Madrasah Ibtidaiyah, Nomor 372 tentang madrasah Tsanawiyah, dan Nomor 373 tentang madrasah Aliyah.
            Umat islam sangat tercecer terutama di bidang pendidikan, dan kerugiannya nanti lebih dirasakan setelah Indonesia merdeka. Orang yang duduk di tampuk pemerintahan bukanlah mereka-mereka yang lulusan lembaga pendidikan Islam, tetapi justru orang-orang non-Islam atau minimal orang Islam yang berpendidikan sekuler. Padahal dalam perjuangan merebut kemerdekaan merekalah yang paling gigih dan berada di barisan terdepan. Bahkan dalam sejarah disebutkan bahwa pesantren merupakan basis perjuangan menentang penjajah.
            Jadi, pemerintah dan dan bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan masih mewarisi sistem pendidikan yang bersifat dualistis tersebut.
Sistem pendidikan dan pengajaran modern yang bercorak sekuler atau sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang merupakan warisan dari pemerintah Kolonil Belanda.
Sistem pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan umat Islam sendiri, yaitu sistem pendidikan dan pengajaran yang berlangsung di surau atau langgar, masjid, pesantren, dan madrasah yang bersifat tradisional dan bercorak keagamaan semata-mata.
            Dalam pasal 31 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa:”pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang”.
            Menurut para penyusunnya, yang dimaksud dengan “satu sistem pengajaran nasioanal” adalah suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang bisa memelihara pendidikan kecerdasan akal budi secara merata kepada seluruh rakyat, yang bersendi agama dan kebudayaan bangsa, untuk mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan masyarakat bangsa Indonesia seluruhnya.[21]
            Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasioanal, merupakan undang-undang yang mengatur penyelenggaraan  satu sistem pendidikan nasioanal sebagaimana dikehendaki UUD 1945. Melalui proses melelahkan, sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1989 dengan kelahiran UU Nomor 2 Tahun 1989, dan kemudian disempurnakan menjadi UU Nomor 20 Tahun 2003, merupakan puncak dari usaha mengintegrasikan pendidikan Islam ke dalam sistem pendidkan nasional.
            Adanya wadah tersebut pendidikan Islam mendapatkan peluang serta kesempatan untuk terus dikembangkan.
            Terdapatnya peluang dan kesempatan untuk berkembangnya pendidikan Islam secara terintegrasi dalam sistem pendidikan nasioanal tersebut dapat dilihat pada pasal-pasal UU Nomor 20 Tahun 2003, seperti berikut ini.
1.      Di dalam pasal 1 ayat (2), disebutkan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
2.      Pada pasal 3 diungkapkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah  untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
3.      Pada pasal 15 disebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus.
4.      Dalam pasal 37 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa isi kurikulum setiap jenis dan jalur serta jenjang pendidikan ( dari pendidikan dasar samapai dengan perguruan tinggi ) wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan bahasa.
5.      Pasa pasal 55 ayat (1) disebutkan bahwa masyarakat berhak menyelengarakan  pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dahn nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
H.    Fungsi Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan  Nasional
Gambaran tentang peranan madrasah dan pondok  pesantren dapat dilihat dibawah ini.
1.      Madrasah dan pondok pesantren telah menunjukkan kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, serta kemampuannya untuk memasuki pelosok daerah terpencil disamping kemampuannya untuk tetap tumbuh dan berkembang di daerah perkotaan yang modern dan sangat maju.
2.      Madrasah  dan pondok pesantren sebagian besar adalah perguruan swasta yang berkemampuan tinggi untuk berswakarsa dan berswakarya dalam menyelenggarakan pendidikan. Dengan perkataan lain, madrasah dan pondok pesantren telah menunjukkan kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang di atas kemampuan kekuatan sendiri, dengan memobilisasi sumber daya yang tersedia di masyarakat pendukungnya.
3.      Madrasah dan pondok pesantren yang memiliki ciri khas sebagai pusat pendidikan, pengembangan dari penyebaraan agama Islam, diharapkan dan telah membuktikan diri dapat menghasilkan keluaran atau out put yang berkualitas dan potensial untuk menjadi pendidik, khususnya di bidang pendidikan agama Islam.
4.      Madrasah dan pondok pesantren memiliki potensi yang cukup besar untuk bersama-sama satuan pendidikan lainnya di dalam sistem pendidikan nasional untuk menuntaskan wajib belajar tingkat SLTP dan pelaksana pendidikan dasar 9 tahun. Atas dasar inilah Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah merupakan lembaga pendidikan dasar.[22]

I.       Implementasi Nilai-nilai Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pada pelaksanaannya, pendidikan keagamaan dalam sistem pendidikan nasional, baik yang berada pada jalur sekolah maupun pendidikan luar sekolah, paling tidak tampil dalam beberapa bentuk atau kategori yang secara substansial memiliki perbedaan, baik dalam sifatnya maupun dalam imlikasi pelaksanaannya sebagai berikut.
1.      Keberadaan Mata Pelajaran Agama
            Di dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 dikemukakan bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan, dan diselenggarakan  pada semua jenjang pendidikan. Dalam pengertian ini, pendidikan keagamaan merupakan salah satu bahan kajian dalm kurikulum semua jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia.
2.      Lembaga Penyelenggara Pendidikan Keagamaan
            Berkenaan dengan lembaga yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan ini, tampaknya minimal ada tiga bentuk yaitu:
a.       Pesantren
b.      Madrasah-madrasah keagaman (diniyah)
c.       Madrasah-madrasah yang termasuk dalam pendidikan umu berciri khas agama, yaitu Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.

3.      Melekatnya Nilai-nilai Agama pada setiap Mata Pelajaran
4.      Penanaman Nilai-nilai Agama di Keluarga.
Pendidikan dalam keluarga terutama berperan dalam mengembangkan watak, kepribadian, nilai-nilai budaya, nilai-nilai keagamaan dan moral, serta keterampilan sederhana.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pendidikan Islam Secara etimologis pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Tarbiyah” dengan kata kerjanya “Robba” yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara.
Menurut pendapat ahli, Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Upaya-upaya pemerintah dalam perbaikan dan peningkatan madrasah selalu dilakukan dalam berbagai aspek. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa; madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umunya, hendaklah mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.
Maka menurut ketentuan pemerintah jenjang pendidikan madrasah berdasar peraturan menteri agama nomor I tahun 1952 tersusun sebagai berikut;
4)      Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun;
5)      Madrasah Tsanawiyah 3 tahun;
6)      Madrasah Aliyah 3 tahun.
Upaya untuk meningkatkan kualitas danpenyelenggaraan madrasah senantiasa dilakukan setelah adanya usaha penegerian terhadap madrasah swasta, maka terbit lagi Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tahun 1975 antara menteri Agama, menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri tentang peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah, yang dilatarbelakangi bahwa siswa madrasah sebagaimana tiap-tiap warga negara berhak mendapt pendidikan.
Kelahiran madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang didasari dengan keputusan Menteri Agama Nomor 73 tahun 1987 dilatarbelakngi oleh kebutuhan akan tenaga ahli di bidang agama Islam sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional. Maka, dengan itu perlu dilakukan usaha peningkatan mutu pendidikan pada madrasah Aliyah.
B. SARAN
Sebagai bangsa yang mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi, sewajarnya lah kita sebagai penerus bangsa selalu memperjuangkan bidang pendidikan, baik agama maupun umum agar lembaga pendidikan dapat mencetak bangsa yang berkualitas, karena bangsa yang berkualitas dapat dilihat dari masyarakatnya yang mempunyai keilmuan yang tinggi, dan mereka gunakan untuk membangun bangsa mereka.

DAFTAR PUSTAKA


Arifin, HM., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Djaelani, Timur, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembinaan Perguruan Agama, Dermaga, Jakarta, 1980.

Drajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996.
Hasan, Chalidjah, Kajian Perbandingan Pendidikan, al-Ikhlas, Surabaya, 1995.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001, cet. 4.
              , Dasar-dasar Pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Ibrahim, M, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta : CV. Tumaritis, 1991, cet 2
Mustofa.A, aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999
Sutedjo, Muwardi, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Dirjen. Binbaga Islam dan Universitas Terbuka, Jakarta, 1992.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1985.

Zauharini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2000, set 6




[1] Chalidjah Hasan, Kajian Perbandingan Pendidikan, al-Ikhlas, Surabaya, 1995, hlm.49.
[2] Zakiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996,hlm.25.
[3] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hlm.4.
[4] HM.Arifin., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003,hlm. 22.
[5] Zakiah Drajat,Ibid,hlm. 25.
[6] Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1985, hlm. 6; Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1995, hlm.2.
[7] Hasbullah, Ibid., hlm.138.
[8] Ibid,hlm. 168.
[9] Mustofa Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999,hlm. 54.
[10] Zauharini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2000, hlm.135.
[11] Ibid,hlm.136.
[12] M.Ibrahim, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta : CV. Tumaritis, 1991, hlm. 61.
[13] Hasbullah, op,cit,hlm.29.
[14] A.Mustofa, Abdullah,op.cit. hlm.54.
[15] M. Ibrahim,op,cit.hlm.75.
[16] Ibid..hlm.76.
[17] Hasbullah.op,cit.hlm.32.
[18] M.Ibrahim,et.al,op,cit.hlm.88.
[19] A. Timur Djaelani, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembinaan Perguruan Agama, Dermaga, Jakarta, 1980.
[20] Muwardi Sutedjo, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Dirjen. Binbaga Islam dan Universitas Terbuka, Jakarta, 1992, hlm. 15.
[21] Hasbullah, Dasar-Dasar Pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hlm.172-174
[22] Ibid.hlm.178-181

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Tinggalkan Koment yaaaa...!!! _^-^_