BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an adalah kalam Allah (verbum dei) [1] yang sekaligus merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Muhammad SAW dalam bahasa Arab, yang sampai kepada umat manusia dengan cara al-tawâtur (langsung dari Rasul kepada umatnya), yang kemudian termaktub dalam mushaf. Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam segala aspeknya. Al-Qur’an berada tepat di jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap al-Qur’an, kehidupan pemikiran dan kebudayaan Muslimin tentunya akan sulit dipahami.
Sejumlah pengamat Barat memandang al-Qur’an sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Sekalipun bahasa Arab yang digunakan dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami.[2] Kaum Muslim sendiri untuk memahaminya, membutuhkan banyak kitab Tafsir dan Ulum al-Qur’an. Sekalipun demikian, masih diakui bahwa berbagai kitab itu masih menyisakan persoalan terkait dengan belum semuanya mampu mengungkap rahasia al-Qur’an dengan sempurna.
Ulum al-Qur’an sebagai metodologi tafsir sudah terumuskan secara mapan sejak abad ke 7-9 Hijriyah, yaitu saat munculnya dua kitab Ulum al-Qur’an yang sangat berpengaruh sampai kini, yakni al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, karya Badr al-Din al-Zarkasyi (w.794 H) dan al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H).
‘Ilm Munâsabah[3] (ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Sebagaimana tampak dalam salah satu metode tafsir Ibn Katsir[4] ; al-Qur’an yufassirû ba’dhuhu ba’dhan, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka memahami al-Qur’an harus utuh, jika tidak, maka akan masuk dalam model penafsiran yang atomistik (sepotong-sepotong).
B. RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan pokok masalah yang dibicarakan tentang, “Ilmu Munasabat Al-Qur’an” maka rumusan masalah ini difokuskan pada :
- Apa yang dimaksud dengan Munasabat itu?
- Terbagi kepada berapa Munasabat itu ?
- Apa kegunaan mempelajari Munasabat ?
C. TUJUAN
Tujuan merupakan arah terakhir dari suatu kegiatan, tanpa tujuan yang telah ditentukan sebelumnya makalah ini tidak akan sampai pada tujuan. Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah :
- Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an A
- Dengan mempelajari Ilmu Munasabat ini kita dapat mengetahui hubungan-hubungan antara ayat al-Qur’an yang satu dengan yang lain dan mempermudah untuk mentafsirkan ayat atau pun surat.
D. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan adalah dengan metode kepustakaan yakni mencari bahan dari buku selanjutnya dituangkan di dalam makalah ini secara ringkas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Munasabah
Menurut Imam al-Zarkasyi[5] kata munâsabah menurut bahasa adalah mendekati (muqârabah), seperti dalam contoh kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata nasib adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”
Manna’ al-Qattan[6] dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, munâsabah menurut bahasa
disamping berarti muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah ulum al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi : Pertama, hubungan satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga, hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat; keempat, hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan satu ayat dengan ayat yang lain; keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam satu ayat; ketujuh, hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan antara penutup surat dengan awal surat.
disamping berarti muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah ulum al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi : Pertama, hubungan satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga, hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat; keempat, hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan satu ayat dengan ayat yang lain; keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam satu ayat; ketujuh, hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan antara penutup surat dengan awal surat.
Ada juga istilah yang menyebutkan bahwa munasabah adalah adanya hubungan antara satu susunan kata dengan susunan kata yang lain dalam surat dengan surat sebelumnya atau sesudahnya, atau satu ayat dengan ayat lain dalam Al-Qur’an, atau melalui makna yang berhubungan dengannya seperti aam dan khas, reasonable, atau karena hukum kausalitas dan sebagainya.[7]
Munâsabah antar ayat dan antar surat dalam al-Qur’an didasarkan pada teori bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait.[8] Sehingga ‘ilm munâsabah dioperasionalisasikan untuk menemukan hubungan-hubungan tersebut yang mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lain di satu pihak, dan antara satu ayat dengan ayat yang laijn di pihak yang lain. Oleh karena itu, pengungkapan hubungan –hubungan itu harus mempunyai landasan pijak teoritik dan insight (wawasan) yang dalam dan luas mengenai teks.
B. Postulat dan Alas Teoritik
Jika ilmu tentang asbab al-nuzul mengaikan satu ayat atau sejumlah ayat dengan konteks historisnya, maka ‘ilm munâsabah melampui kronologi historis dalam bagian-bagian teks untuk mencari sisi kaitan antar ayat dan surat menurut urutan teks, yaitu yang disebut dengan “urutan pembacaan” sebagai lawan dari “urutan turunnya ayat”.[9]
Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu surat merupakan urutan-urutan tauqifi, yaitu urutan yang sudah ditentukan oleh Rasulullah sebagai penerima wahyu. Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang urutan-urutan surat dalam mushaf, apakah itu taufiqi atau tauqifi (pengurutannya berdasarkan ijtihad penyusun mushaf).[10]
Nasr Hamid Abu Zaid, wakil dari ulama kontemporer, berpendapat bahwa urutan-urutan surat dalam mushaf sebagai tauqifi, karena menurut dia, pemahaman seperti itu sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh mahfudz. Perbedaan antara urutan “turun” dan urutan “pembacaan” merupakan perbedaan yang terjadi dalam susunan dan penyusunan yang pada gilirannya dapat mengungkapkan “persesuaian” antar ayat dalam satu surat, dan antar surat yang berbeda, sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari I’jaz.[11]
Secara sepintas jika diamati urut-urutan teks dalam al-Qur’an mengesankan al-Qur’an memberuikan informasi yang tidak sitematis dan melompat-lompat. Satu sisi realitas teks ini menyulitkan pembacaan secara utuh dan memuaskan, tetapi sebagaimana telah disinggung oleh Abu Zaid, realitas teks itu menujukkan ‘stalistika’ (retorika bahasa) yang merupakan bagian dari I’jaz al-Qur’an aspek kesusasteraan dan gaya bahasa. Maka dalam konteks pembacaan secara holistik pesan spiritual al-Qur’an, salah satu instrumen teoritiknya adalah dengan ‘ilm munâsabah.
Keseluruhan teks dalam al-Qur’an, sebagaimana juga telah disinggung di muka, merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait. Keseluruhan teks al-Qur’an menghasilkan weltanschauung (pandangan dunia) yang pasti. Dari sinilah umat Islam dapat memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan) yang betul-betul mencerahkan (enlighten) dan mencerdaskan (educate). Akan tetapi Fazlur Rahman[12] menengarai adanya kesalahan umum di kalangan umat Islam dalam memahami pokok-pokok keterpaduan al-Qur’an, dan kesalahan ini terus dipelihara, sehingga dalam praksisnya umat Islam dengan kokohnya berpegang pada ayat-ayat secara terpisah-pisah. Fazlur Rahman mencatat, akibat pendekatan “atomistik” ini adalah, seringkali umat terjebak pada penetapan hukum yang diambil atau didasarkan dari ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagai hukum.
Fazlur Rahman nampaknya dipengaruhi oleh al-Syatubi (w. 1388) seorang yuris Maliki yang terkenal, dalam bukunya al-muwafiqat, tentang betapa mendesak dan amsuk akalnya untuk memahami al-Qur’an sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif.[13] Dari sisi ini, maka yang bernilai mutlak dalam al-Qur’an adalah “prinsip-prinsip umumnya” (ushul al-kulliyah) bukan bagian-bagiannya secara ad hoc. Bagian-bagian ad hoc al-Qur’an adalah respon spontanitasnya atas realitas historis yang tidak bisa langsung diambil sebagai problem solving atas masalah-masalah kekinian. Tetapi bagian-bagian itu harus direkonstruksi kembali dengan mempertautkan antara satu dengan yang lain, lalu diambil inti syar’inya (hikmah at-tasyri’) sebagai pedoman normatif (idea moral), dan idea moral al-Qur’an kemudian dikontektualisasikan untuk menjawab problem-problem kekinian.
Tentu untuk melakukan pembacaan holistik terhadap al-Qur’an tersebut membutuhkan metodologi dan pendekatan yang memadai. Metodologi dan pendekatan yang telah dipakai oleh para mufassir klasik menyisakan masalah penafsiran, yaitu belum bisa menyuguhkan pemahaman utuh, komprehensif, dan holistik. ‘Ilm munâsabah sebenarnya memberi langkah strategis untuk melakukan pembacaan dengan cara baru (al-qira’ah al-muashirah) asalkan metode yang digunakan untuk melakukan “perajutan” antar surat dan antar ayat adalah tepat. Untuk itu perlu dipikirkan penggunaan metode dan pendekatan hermeneutika dan antropologi filologis dalam ‘ilm munâsabah.
C. Bentuk-Bentuk munâsabah
Ditinjau dari segi sifatnya munasabah terbagi kepada dua:
1) Dzahirul Irtibah yaitu hubungan yang nyata dan tampak jelas antara satu ayat dengan ayat yang lain. Karena keterkaitannya ayat dengan ayat yang lain begitu jelas terlihat dan mudah difahami.
2) Khofiyatul Irtibah yaitu hubungan yang tersembunyi atau tidak jelas yakni berlawanan dengan yang pertama tadi, dikarenakan kesamaran yang terjadi antara ayat dengan ayat yang lainnya, sepertinya tidak ada hubungan satu degan yang lainnya.
Ditinjau dari segi kalimat Al-Qur’an terbagi kepada:
1. Munâsabah antarsurat dengan surat sebelumnya
Munâsabah antarsurat tidak lepas dari pandangan holistik al-Qur’an yang menyatakan al-Qur’an sebagai “satu kesatuan” yang “bagian-bagian strukturnya terkait secara integral”. Pembahasan tentang munâsabah antarsurat dimulai dengan memposisikan surat al-Fatihah sebagai Ummu al-Kitab (induk al-Qur’an), sehingga penempatan surat tersebut sebagai surat pembuka (al-Fâtihah) adalah sesuai dengan posisinya yang merangkum keseluruhan isi al-Qur’an. Penerapan munâsabah antarsurat bagi surat al-Fâtihah dengan surat sesudahnya atau bahkan keseluruhan surat dalam al-Qur’an menjadi kajian paling awal dalam pembahasan tentang masalah ini.
As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasabah ini berfungsi menerangkan atau menyempurnakan ungkapan pada ayat sebelumnya.[14]
Surat al-Fâtihah menjadi ummu al-Kitab, sebab di dalamnya terkandung masalah tauhid, peringatan dan hukum-hukum,[15] yang dari masalah pokok itu berkembang sistem ajaran Islam yang sempurna melalui penjelasan ayat-ayat dalam surat-surat setelah surat al-Fâtihah. Ayat 1-3 surat al-Fâtihah mengandung isi tentang tauhid, pujian hanya untuk Allah karena Dia-lah penguasa alam semesta dan Hari Akhir, yang penjelasan rincinya dapat dijumpai secara tersebar di berbagai surat al-Qur’an. Salah satunya adalah surat al-Ikhlas yang konon dikatakan sepadan dengan sepertiga al-Qur’an. Ayat 5 surat al-Fâtihah (Ihdina ash-shirâtha al-mustaqîm) mendapatkan menjelasan lebih rinci tentang apa itu “jalan yang lurus” di permulaan surat al-Baqarah (Alim, Lam, Mim. Dzalika al-kitabu la raiba fih, hudan li al-muttaqin). Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa teks dalam surat al-Fâtihah dan teks dalam surat al-Baqarah berkesesuaian (munâsabah).
Contoh lain dari munasabah antarsurat adalah tampak dari munasabah antara surat al-Baqarah dengan surat Ali Imran. Keduanya menggambarkan hubungan antara “dalil” dengan “keragu-raguan akan dalil”. Maksudnya, surat al-Baqarah “merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai hukum”, karena surat ini memuat kaidah-kaidah agama, sementara surat ali Imran “sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh Islam”.[16]
Lantas bagaimana hubungan antara surat Ali Imran dengan surat sesudahnya? Pertanyaan itu dapat dijawab dengan menampilkan fakta bahwa setelah keragu-raguan dijawab oleh surat Ali Imran, maka surat berikutnya (an-Nisa’) banyak memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan sosial, kemudian hukum-hukium ini diperluas pembahasannya dalam surat al-Maidah yang memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan perdagangan dan ekonomi. Jika legislasi, baik dalam aras hubunhgan sosial ataupun ekonomi, hanya merupakan instrumen bagi tercapainya tujuan dan sasaran lain, yaitu perlindungan terhadap keamanan masyarakat, maka tujuan dan sasaran tersebut terkandung dalam surat al-An’am dan surat al-A’raf[17].
2. Munasabah antarnama surat dan tujuan turunnya
Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan tercermin pada namanya masing-masing, seperti surah al-Baqarah, surah Yusuf, an-Naml, dan surah al-Jin. Cerita tentang lembu betina yang ada pada surah Al-Baqarah ayat 67-71 misalnya, merupakan inti pembicaraannya, yaitu kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain, tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan kepada hari kemudian.
3. Munasabah antarbagian suatu ayat
Munasabah antarbagian surat sering berbentuk pola munasabah perlawanan seperti yang terlihat dalam surat al-Hadid ayat 4:
uqèd Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû ÏpGÅ 5Q$r& §NèO 3uqtGó$# n?tã ĸóyêø9$# 4 ÞOn=÷èt $tB ßkÎ=t Îû ÇÚöF{$# $tBur ßlãøs $pk÷]ÏB $tBur ãAÍ\t z`ÏB Ïä!$uK¡¡9$# $tBur ßlã÷èt $pkÏù ( uqèdur óOä3yètB tûøïr& $tB öNçGYä. 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ ÇÍÈ
Artinya: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS:Al-hadid:4).
Antara kata “yaliju” dengan kata “yakhruju”, serta kata “yanjilu” dengan kata “ya’ruju” terdapat korelasi yang berlawanan. Dan banyak lagi macamnya di dalam Al-Qur’an.
4. Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan
Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah antarayat yang terlihat dengan jelas umumnya menggunakan pola ta’kid, tafsir, I’tiradah, dan tasydid.
Munasabah antarayat yang menggunakan pola ta’kid yaitu apabila salah satu ayat atau bagian ayat yang terletak di sampingnya.
Munasabah antarayat menggunakan pola tafsir, apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat disampingnya.
Munasabah antarayat menggunakan pola I’tiradah apabila terletak satu kalimat atau lebih tidak ada kedudukannya dalam I’rab, baik di pertengahan kalimat atau di antara dua kalimat yang berhubungan maknanya.
Adapun munasabah antarayat menggunakan pola tasydid apabila satu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat yang terletak disampingnya.
Munasabah antarayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui qarain ma’nawiyah yang terlihat dalam empat pola munasabah: At-Tanzir, Al-Mudhadat, istithrad, dan At-takhallush.
Munasabah yang berpolakan At-Tanzir terlihat padanya perbandingan antara ayat-ayat yang berdampingan
Munasabah yang berpolakan Al-Mudhadat terlihat pada adanya perlawanan makna antara satu ayat makna yang lain berdampingan.
Munasabah yang berpolakan istithradh terlihat pada adanya penjelasan lebih lanjut dari suatu ayat.
Selanjutnya, pola munasabah takhallush terlihat pada perpindahan pembicaraan pada masud tertentu secara halus.
5. Munasabah antar-suatu kelompok ayat di sampingnya.
Dalam surah Al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi Al-Qur’an bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat-sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
6. Munasabah antarfashilah dan isi ayat
Macam munasabah ini mengandung tujuan-tujuan tertentu. Diantaranya adalah untuk menguatkan makna yang terkandung dalam ayat. Misalnya dalam surah Al-Ahzab ayat 25 diungkapkan sebagai berikut:
¨uur ª!$# tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. öNÎgÏàøtóÎ/ óOs9 (#qä9$uZt #Zöyz 4 s"x.ur ª!$# tûüÏZÏB÷sßJø9$# tA$tFÉ)ø9$# 4 c%x.ur ª!$# $Èqs% #YÍtã ÇËÎÈ
Artinya: “ dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang Keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh Keuntungan apapun. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan [1209]. dan adalah Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.”(QS:Al-Ahzab:25)
Dalam ayat ini, Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan bukan karena lemah, melainkan karena Allah mahakuat dan maha perkasa.
7. Munasabah antarawal surat dengan akhir surat yang sama
D. URGENSI ILMU MUNASABAT
Dan perhatian para ulama terhadap penjelasan hubungan antara susunan ayat, atau di antara ayat, atau diantara surat sangat besar sekali. Dalam hal menentukan hubungan anatara- surat-surat dengan surat didasarkan atas susunan surat mutlak dari Rasul, dan para ulama berselisih pendapat dalam hal ini, mereka mengambil kesimpulan dengan segi-segi yang berhubungan kritis.
Kebutuhan para ulama didasarkan atas belum berkembangnya pembahsan ilmu ini secara sempurna, kebanyakan para ulama masih mengaitkan ilmu munasabat ini dengan ilmu sabab nuzul.
Perlunya membahas masalah ilmu ini secara mendalam agar bisa menganalisa lebih mendalam tentang pertalian ayat dengan ayat yang lain atau pun surat denga surat yang lain agar terjadinya kesempurnaan ayat yang difaham khususnya ilmu ini harus dimiliki oleh ahli tafsir karena ilmu ini sangat erat kaitannya dengan ilmu tafsir.
Lebih jauh lagi, kegunaan mempelajari ilmu munasabah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya.
2. Mengetahui atau persambungan/hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat atau antarayat maupun surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatan.
3. Dalam diketahui mutu dan tingkat ke-balaghahan bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya.
4. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan atau ayat yang lain.[19]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Imam al-Zarkasyi kata munâsabah menurut bahasa adalah mendekati (muqârabah), seperti dalam contoh kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata nasib adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”
Manna’ al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, munâsabah menurut bahasa disamping berarti muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah ulum al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi : Pertama, hubungan satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga, hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat; keempat, hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan satu ayat dengan ayat yang lain; keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam satu ayat; ketujuh, hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan antara penutup surat dengan awal surat.
Diantara kegunaan mempelajari ilmu munasabah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya.
2. Mengetahui atau persambungan/hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat atau antarayat maupun surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatan.
3. Dalam diketahui mutu dan tingkat ke-balaghahan bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya.
4. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan atau ayat yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut : Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972
Dr.Rosihan Anwar, M.Ag,Ulum Al-Qur’an,Bandung,CV. Pustaka Setia,cet II,2010
Drs.H.Mshalahuddin Hamid MA,Study Ulumul Qur’an,Jakarta,PT. Intimedia Cipta Nusantara,2002
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, Ahsin Mohammad (penterjemah), Bandung : Penerbit Pustaka, 1995
Imad al-Din Abu al-Fida’ Islamil Ib Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Beirut : Dar al-Fikr, 1966
Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an, Damaskus : Dar al-Fikr, 1979, Juz I
Manna’ al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Riyadh : Mansyurat al-Ashr al-Hadits, t.th.
Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur’an : Qira’ah Muashirah, Kairo : Sina Publisher, cet. I
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta : LkiS, 2001
Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta : Forum Kajian Agama dan Budaya, 2001
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an, Taufiq Adnan Amal (Penterjemah), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1995
[1] Istilah verbum dei, penulis dapatkan dari buku karya Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta : Forum Kajian Agama dan Budaya, 2001
[2] Lihat W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an, Taufiq Adnan Amal (Penterjemah), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1995, h. xi
[3] Para Ulama memasukkan ‘Ilm Munasabah sebagai bagian dari Ulum al-Qur’an, tak terkecuali Imam al-Zarkasyi (salah satu dari 74 cabang Ulum al-Qur’an) dan Imam al-Suyuthi (salah satu dari 100 cabang Ulum al-Qur’an).
[4] Lihat Imad al-Din Abu al-Fida’ Islamil Ib Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Beirut : Dar al-Fikr, 1966
[5] Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut : Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972, h. 35-36
[6] Manna’ al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Riyadh : Mansyurat al-Ashr al-Hadits, t.th. h. 77-79
[7] Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an, Intimedia CiptaNusantara, Jakarta Timur,2002, hal.292.
[8] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta : LkiS, 2001, h. 215
[10] Lihat perdebatan para ulama itu dalam Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an, Damaskus : Dar al-Fikr, 1979, Juz I, h. 60-63
[12] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, Ahsin Mohammad (penterjemah), Bandung : Penerbit Pustaka, 1995, h, 2-3
[14] Shalahuddin Hamid,op,cit,hlm.84
[18] Shalahuddin Hamid,op,cit,hlm.84-94.
[19] Dr.Rosihan Anwar, M.Ag.Ulum Al-Qur’an,cet.II.CV.Pustaka Setia.2010.hlm.84-97.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Tinggalkan Koment yaaaa...!!! _^-^_