WELCOME

Jumat, 27 Mei 2011

CIRI DAN JENIS KITAB-KITAB HADITS ‎ PADA ABAD III HIJRIYAH


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an. “Hadits atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya. Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesipik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus”.
Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, “Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadits beliau.
Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah terjadi penulisan hadits, misalnya berupa surat-surat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang belum memeluk Islam. Sejumlah sahabat Nabi telah menulis hadits Nabi, misalnya Abdullah bin ‘Amr bin al-’As (w.65 H/685 M), Abdullah bin ‘Abbas (w.68 H/687 M), ‘Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin Abdullah (w. 78 H/697 M), dan Abdullah bin Abi Aufa’ (w.86 H). Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa seluruh hadits telah terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut.
Menurut H.Said Agil Husain al-Munawar, penulisan hadits bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadits-hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi’in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbada-beda. Sebab, ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafazh yang diterima dari Nabi (yang disebut dengan periwayatan bi al-lafzhi), dan ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan bi al-ma’na), sedang redaksinya tidak sama. Lebih lanjut H.Said Agil Husain al-Munawar, mengatakan bahwa di antara para sahabat yang sangat ketat berpegang kepada periwayatan bi al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar. Menurutnya, tidak boleh ada satu kata atau huruf yang dikurangi atau ditambah dari yang disabdakan Rasul SAW.
Dengan demikian, hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber aslinya), lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk menulis hadits-nya, dan menurut penulis karakter orang-orang Arab sangat kuat hafalannya dan suka menghafal, dan ada kehawatiran bercampur dengan al-Qur’an. Dengan kenyataan ini, sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadits Nabi terdokumentasi pada zaman Nabi secara keseluruhan.
Dan dalam makalah ini kami akan membahas tentang ciri-ciri dan jenis Hadist pada abad III Hijriyah, yang merupakan saat dimana perkembangan dunia ilmu hadits pada saat itu lebih mangacu kepada pemisahan dan pentashihan Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw.
B. Rumusan Masalah
Setelah kita baca bersama latar belakang penulisan makalah ini, maka kami penulis akan merumuskan makalah ini antara lain adalah sebagai berikut:
a.      Bagaimana sejarah Hadits pada abad III H?
b.      Bagaimana ciri dan jenis kitb Hadits pada periode ini?
c.       Apa kitab-kitab Hadits yang berkembang pada saat itu?
C. Tujuan
            Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas kelompok pada mata kulia Ulumul Hadits, dan juga yang paling pokok adalah sebagai pembuka wawasan terhadap perkembangan Ilmu Hadits khususnya pada abad III Hijriyah.
D. Metode Penulisan
            Metode yang kami gunakan adalah dengan metode kepustakaan dan mencari bahan lewat internet yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Masa penyaringan dan seleksi ketat (abad III H ) sampai selesai.
Awal abad III H, adalah masa dimulainya pembukuan hadits yang semata-mata hadits saja, tidak dicampuri dengan fatwa sahabat dan fatwa Tabi’in. Mereka menyusun kitab-kitab hadits berdasarkan nama- nama orang yang pertama meriwayatkan hadits itu (Musnad). Mereka uang mula-mula menyusun kitab-kitab secara Musnad antara lain:
1.Abdullah bin Musa Al Abbasi.
2.Musaddad bin Marahad[1]
Pada awal abad ini penulisan hadits belum dibedakan antara yang sahih dan Dhaif dan masih bercampur dengan fatwa para sahabat atau tabi’in, kemudian pada pertengahan abad-III ini para ulama membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat hadits shahih. Sehingga muncul ide-ide untuk mengumpulkan yang shahih-shahih saja yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah al-Bukhari (Imam Bukhari) dengan karyanya Jami'us Shahih dan disusul oleh muridnya Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (Imam Muslim), sehingga abad ini merupakan era keemasan bagi hadits dengan munculnya para ahli hadits terkemuka dan disusunnya kutubus-sittah (6 kumpulan hadits) yang memuat hampir seluruh hadits-hadits yang shahih.
Masa seleksi atau penyaringan hadits terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Abbas, khususnya sejak masa Al-Makmum sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H). munculnya periode ini karena pada periode sebelumnya, yakni periode tadwin, para ulama belum berhasil memisahkan beberapa hadits mauquf dan maqtu’ dari hadits marfu’. Begitu pula halnya dengan memisahkan beberapa hadits yang dhaif dari hadits shahih. Bahkan, masih ada hadits maudhu’ yang tercampur pada hadits shahih. Pada masa ini, para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadits yang diterimanya.[2]
Pada masa ini lahirlah kitab-kitab hadits yang dikemukakan diakui sebagai kitab hadits yang mu’tamat oleh umat Islam seperti;
1.      Al Jami’us Shahih oleh Al- Bukhari (194-256)
2.      Al Jami’us Shahih oleh Imam Muslim (204-261)
Kedua kitab hadits ini sering dikenal dengan “Ash Shahiahaini”
3.      As Sunan oleh Abu Daud (202-276 H)
4.      As Sunan oleh Tirmidzi (209-269 H)
5.      As Sunan oleh An Nasa’I (215-303 H)
6.      As Sunan oleh Ibnu Majah (209-276 H).
Kitab-kitab Sunan yang empat ini  dikenal dengan sebutan “Kutubul Arba’ah”
Sedang enam kitab ini semuanya dikenal dengan “Kutubul Sittah”. Selanjutnya kitab-kitab lain juga dikarang antara lain;
a.       Mushannaf Said bin Manshur (227-H)
b.      Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (156-239H)
c.       Al-Muntaqa fil Ahkam Ibnu Jarud (307-H)
d.      Tahdzibul Atsar Ibnu Jarir at-Thabari (310-H)
Sistem pembukuan hadits pada masa ini dikelompokkan kepada tiga sistem yaitu;
1.      Pengarang menghimpun semua serangan yang dilancarkan oleh ulama-ulama kalam kepada pribadi ulama-ulama hadits. Diantara ulama hadits yang mengarang dengan sistem ini adalah:
a)      Ibnu Qutaibah (wafat tahun 234 H)dalam kitabnya; تأويل مختلف الحديث للرد علي اعداء الحديث
b)      Ali bin Al madini (wafat tahun 234 H) dalam kitabnya; "اختلاف الحديث"
2.      Pengarang menghimpun hadits secara “musnad” yakni menghimpun hadits-hadits nabi dari tiap-tiap shahabat tanpa memperhatikan masalah-masalahnya (isi haditsnya) dan kualiltasnya (shahih, hasan, dhaif), diantara kitab-kitab hadits yang disusun dengan cara seperti ini yaitu:
a)      Musnad Ahmad bin hambal (104-241 H)
b)      Musnad Ahmad ibu Rahawaih (161-238 H)
3.      Pengarang menghimpun hadits-hadits secara bab per bab seperti kitab fiqih dan tiap-tiap bab memuat hadits-hadits yang sama maudhunya (masalahnya). Misalnya bab sholat, bab zakat dan sebagainya. Dan dalam hal ini ada dua macam yaitu;
a)      Hanya menghimpun hadits-hadits shohih saja seperti yang dilakukan Bukhari Muslim
b)      Disamping memuat hadits-hadits shahih juga memuat hadits-hadits Hasan dan Dhaif seperti : Imam An Nasa’I Cs dalam kitab-kitab sunan.[3]

B.     Ciri dan Jenis Kitab Hadits pada Abad III
Setelah munculnya kutub As-Sittah dan Al-Muwattha’nya Malik serta Al-Musnadnya Ahmad Ibn Hambal, para ulama mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab Athraf dan Jawaid serta menyusun kitab hadits untuk topik-topik tertentu. Ulama yang masih melakukan penyusunan kitab hadits yang memuat hadits-hadits shahih diantaranya ialah Ibnu Hibban Al-Bisti (w.345 H), Ibnu Huzaiman (w.311H) dan Al-Hakim An-Naisaburi.
Penyusunan kitab pada masa ini lebih mengarah kepada mengembangkan dengan beberapa variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada, diantaranya dengan mengumpulkan isi kitab Shahih Bukhari Muslim, seperti yang dilakukan oleh Muhammad Ibnu Abdillah Al-Jauzaqi dan Ibnu Al-Furat.[4]
Permasalahan sebagian dari kita berpendapat atau mengikuti asumsi bahwa hadis Nabi adalah benar adanya tanpa meneliti terlebih dahulu apakah sudah dipastikan proses periwayatan hadits hingga sampai pada keabsahan sebuah hadits dengan memperhatikan syarat-syarat keberadaan hadits.
Ulama-ulama sependapat menetapkan, bahwa kitab pokok, lima buah yaitu:
1.      Shahih Al Bukhary
2.      Shahih Muslim
3.      Sunan Abu Dawud
4.      Sunan An Nasa’i
5.      Sunan At turmudzy
6.      Sunan Ibnu Majah
Tokoh hadits yang menempatkan kitab Ibn Majah sebagai salah satu diantara enam kitab hadis yang pokok salah satu diantaranya adalah, Abul Fadli ibn Thahir yang selanjutnya diikuti oleh Abdul Ghani Al Maqdisi, Al Mizzi, Al Hafidh Ibnu Hajar dan Al Khazraji. Sedangkan pendapat kedua, menyatakan bahwa kitab hadis pokok yang keenam setelah sunan At-Turmudzi adalah kitab Al Muwatha'-nya Imam Malik. Dan masih terdapat beberapa pendapat ulama hadits yang menempatkan kitab hadits lainnya yang memasukkan peringkat keenam selain kitab Sunan Ibn Majah dan Sunan At-Turmudzi.[5]
Sebagai peminat kajian tentang hadits sunan, perbedaan dari para ahli hadits adalah sah-sah saja, asalkan dengan bukti serta alasan yang tepat. Pengaruh dari pandangan yang bersifat subyektif semata tidak dapat diikuti. Terkecuali apabila berdasarkan kajian yang semaksimal mungkin. Di dalam konteks ini, kepakaran ahli hadits akan membawa pengaruh besar terhadap keputusannya untuk menentukan kitab hadits apasaja yang bisa dan sah secara keilmuan di bidang ilmu hadits.
Hadits menjadi alternatif setelah al Quran ssebagai penunjuk dan penjelas makna-makna yang tersurat maupun tersirat sebagaimana yang dikehendaki oleh aturan Allah. Pada ending-nya kitab hadits yang pokok telah ditetapkan oleh para ulama hadits menjadi pedoman bagi umat Islam yang awam tentang ilmu hadits.[6]
Terlepas dari beberapa claim ulama tentang lima atau enam kitab pokok atau bahkan lebih, umat Islam tidak boleh menafikan atau enggan mempelajari hadits-hadits selain dari kitab sunan di atas. Sebagaimana pengalaman sebelumnya, bahwa dengan berkembangnya peradaban dan keilmuan hadits pada masa ulama muta'akhirin yang sepakat hanya menyebut lima kitab pokok. Namun pada masa berikutnya ditambah satu lagi, menjadi enam kitab pokok hadits. Juga pada masa sekarang ini dikalangan umat Islam meyakini ada sembilan kitab pokok hadits. Kesembilan kitab pokok tersebut menjadi rujukan dalam berbagai disipllin ilmu dikalangan umat Islam saat ini.
Pada masa sekarang menurut pendapat saya, pengefaluasian sebuah hadits Nabi tidak cukup hanya pada dari kitab apa sebuah hadits ditulis, akan tetapi harus lebih cenderung pada kajian tentang takhrijul hadits. Alasannya, sesuai penelitian lewat beberapa pentakhrij-an oleh ulama hadits, tidak semua hadits yang telah dibukukan oleh pengarang kitab shahih dan sunan terbukti shahih atau hasan.
Bila dilihat dari metode takhrij maka yang utama bukan kitab hadits, tetapi keabsahan sebuah hadits melewati proses yang benar. Kesimpulannya apapun hadits adalah kemungkinan benar dari Nabi tidak hanya ditentukan ditulis oleh siapa, tetapi dari hakekat hadits itu sendiri.

C.    Kutub Sittah (Kitab Hadits yang Enam)

1.      Kitab Shohih Bukhari
Abu Abdillahh Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughiroh bin Bardizbah, adalah ulama hadits yang sangat masyhur, kelahiran Bukhara. Suatu kota di Uzbekistan, wilayah Unisoviet. Beliau terkenal dengan Bukhary. Beliau telah memperoleh hadits dari beberapa Hafidh, antara lain Maky bin Ibrahim, ‘Abdullah bin Musa Al-‘Abbasy, Abu ‘Ashim As-Syaibany dan Muhammad bin ‘Abdullah Al-Anshary.
Karya beliau yang terkenal adalah Jami’us-Shahih Bukhary. Yakni kumpulan hadits-hadits shahih yang beliau persiapkan selama 16 tahun lamanya. Beliau sangat berhati-hati menuliskan tiap hadits pada kitab ini, ternyata setiap hendak mencantumkan dalam kitabnya, beliau lebih dulu mandi dan bersholat Istikharah, minta petunjuk baik kepada Allah, tentang hadits yang akan ditulisnya.
Kitab tersebut berisikan hadits-hadits shahih semuanya, berdasarkan pengakuan beliau sendiri, ujarnya; “Saya tidak memasukkan hadits dalam kitabku kecuali shohih semuanya”.
Jumlah hadits yang dituliskan dalam kitab jami’nya sebanyak 6.397 buah, dengan terulang-ulang, belum dihitung yang mu’allaq dan mutabi’, yang mu’allaq berjumlah 1.341 buah, dan yang mutabi’ sebanyak 384 buah, jadi seluruhnya berjumlah 8.122 buah, diluar yang maqtu’ dan mauquf.[7]

2.      Kitab Shohih Muslim
Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara'a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu' dan wara' dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil,[8]. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Para ulama menyebut kitab shohih Muslim sebagai kitab yang belumpernah ditemui sebelum dan sesudah dalam segi tertib susunannya, sistematis isinya, tidak bertukar-tukar dan tidak berlebih dan tidak berkurang sanadnya.
Telah diakui oleh para ulama bahwa shohih Bukhary adalah seshahih-shahih kitab hadits dan sbesar-besar pemberi faedah, dan shohih Muslim adalah secermat-cermat isnadnya, dan sekurang-kurang pengulangannya.
Kitab shohih ini berisikan sebanyak 7.273 buah hadits, termasuk dengan yang terulang. Kalau dikurangi dengan hadits yang terulang , tinggal 4.000 buah hadits.[9]
3.      Kitab sunan An Nasa’i
Nasa’i begitulah ia dikenal, lahir pada tahun 215 H, nama lengkapnya Abu ‘Abd Al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sina bin Bahr Al-Khurasani Al-Nasa’i. karyanya yang paling masyhur adalah al-Sunan al-Mujtaba yang ternyata merupakan seleksi dari al-Sunan al-Kubra[10] dengan beberapa perubahan. Imam Nasa’i berkomentar tentang kitab ini dengan mengatakan “Kitab Sunan seluruhnya shahih dan sebagiannya ma’lul dan yang kami namakan al Mujtaba, semua hadisnya shahih”.
            Kitab Mujtab ini adalah merupakan kitab yang paling sedikit hadis-hadis dla’ifnya demikian pula perawi yang dicacat oleh ulama lain. Derajatnya lebih tinggi dari sunan Abu Dawud, sunan At Turmudzi, bahkan ada yang mengatakan rijalul hadits yang dipakai lebih tinggi nilainya daripada yang dipakai Imam Muslim.
Sedangkan metode yang dipakai dalam penulisan kitab sunan An Nasa’i adalah:
               1. Mencatat berbagai isnad hadis
               2. Mencatat isnad yang mengandung kesalahan dari perawinya
               3. Menjelaskan mana yang benar
Ia memang mencatat hadis dha’if, tapi kebanyakan hanya untuk menunjukkan cacat hadis tersebut. Syarat Nasa’i lebih rendah dari syarat shahihain karena menurut Abu Abdillah bin Mandah.  Kitab Sunan An Nasa’i adalah kitab yang kurang mendapat syarah dibandingkan kitab sunan yang lain. Dan kitab Al Mujtaba adalah merupakan kitab pokok yang ketiga.
4.      Kitab Sunan Abu Dawud
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani adalah salah seorang murid al Bukhari. Abu Dawud lahir pada tahun 202 H, ia menyusun al Sunan-nya saat tinggal di Tarsus selama dua puluh tahun. Ia memilih sekitar empat ribu delapan ratus dari 500.000 hadis untuk menulis kitabnya ini. Ia puas dengan hanya menulis satu atau dua hadis dalam tiap bab. Sebagaimana perkataannya “Saya tidak mencatat lebih dari satu atau dua hadis dalam tiap bab, kendati ada hadis otentik lain yang menyangkut bab yang sama, agar tidak terlalu banyak dan dapat digunakan dengan mudah”
Beliau mengaku telah mendengar hadits dari Rasulullah Saw sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu beliau seleksi dan ditulis dalam kitab sunannya sebanyak 4.800 buah. Beliau berkata: “Saya tidak meletakkan sebuah hadits yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkannya. Saya jelaskan dalam kitab tersebut nilainya dengan shohih, semi shohih, mendekati shohih, dan jika dalam kitab saya itu terdapat hadits yang wahnun syadidun (sangat lemah) saya akan jelaskan.[11]
Ia menjelaskan metode penyusunan kitabnya itu secara ringkas sebagai berikut :
a. Hadits yang kualitasnya sangat rendah yang terdapat dalam kitabku aku jelaskan kondisinya.
b. Hadits yang tidak saya komentari sama sekali adalah hadits shalih (patut, baik)
c. Sebagian hadits-haditsnya lebih shahih dari pada sebagian yang lain.
d. Memasukkan hadis-hadis dla’if
e. Kadang beliau memasukkan hadis shahih menurutnya dan dla’if  versi ulama’ hadis lainnya.
            Alasan beliau memasukkan hadis dha’if adalah hadis dla’if  jika tidak amat lemah, seperti murid yang memiliki nilai 50 lebih baik ketimbang pendapat pribadi. Karena itu, ia lebih suka memasukkan hadis dla’if.
5.      Kitab sunan At-Turmudzi.
Abu Isa Muhammad Ibn Isa Surah As Silmy At Turmudzi, ia lahir pada tahun 209H. adalah seorang muhaddits dari kota Turmudz, sebuah kota kecil dipinggir Utara sungai Amuderiya. Sebelah Utara Iran.
            Beliau menyusun satu kitab Sunan dan kitab ‘Ilalu’l-hadits. Kitab sunan ini bagus sekali, banyak faedahnya dan hukum-hukumnya lebih tertib. Beliau memberikan pengkuan bahwa “Barangsiapa yang menyimpan kitab saya ini dirumahnya seolah-olah di rumahnya ada seorang nabi yang selalu bicara”. Dalam akhir kitab beliau menerangkan bahwa semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah ma’mul (bisa diamalkan).

1. Metodologi penulisan
a)      Mengumpulkan hadis Nabi secara sistematis.
b)      Membicarakan pendapat hukum para imam sebelumnya. Karena itu, ia hanya mencantumkan hadis-hadis yang dijadikan dasar penetapan hukum oleh para ulama terdahulu. Namun, ada segelintir hadis, mungkin tiga atau empat, yang dikecualikan dari aturan ini.
c)      Membicarakan kualitas hadis. Jika ada suatu illah, kelemahan, atau cacat, akan ia jelaskan.
2. Metode Penyusunan bahan
Tirmidzi meletakkan judul, lalu mencantumkan satu atau dua hadis sebagai sumber penarikan judul tersebut. Sesudah itu, ia memberi pendapatnya tentang kualitas hadis: shahih, hasan, atau dha’if. Untuk maksud ini, ia juga mencantumkan pendapat para fakih, kadi, dan imam awal berkenaan dengan persoalan yang dibahas. Bahkan ia juga menunjukkan, jika ada, hadis yang diriwayatkan sahabat lain berkaitan dengan persoalan yang sama, sekalipun kaitannya itu dalam rangka yang lebih luas.
6.      Kitab Sunan Ibn Majah
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Al rab’i lahir pada tahun 207 H, ia dikenal sebagai Ibn Majah al-Qazwani. Kitab karangannya yang masyhur bernama al-Sunan (Sunan Ibnu Majah). Dalam Sunan ini banyak terdapat hadits dha’if, bahkan tidak sedikit hadits yaang berpredikat munkar. [12]Dalam periode belakangan, kitabnya (al-Sunan) menjadi salah satu dari enam kitab masyhur yang disebut Kitab Pokok Yang Enam (al- Ushul al-Sittah)
1. Metodologi Pemilihan Bahan.
Kitab sunan Ibn Majah menempati urutan paling rendah dalam koleksi Kitab Pokok Yang Enam, kitab ini berisi 4341 hadis, 3002 di antaranya dicatat penulis lima kitab lainnya, baik oleh kelimanya ataupun oleh salah satunya. Sisanya , 1339 hadis, dicatat oleh Ibn Majah sendiri, dan dapat digolongkan sebagai berikut: 428 shahih, 199 hasan, 613 isnad-nya lemah, dan 99 munkar atau makdzub.
2. Ciri utama Sunan Ibn Majah
Kitab ini menyajikan sedikit sekali pengulangan, dan merupakan salah satu yang terbaik dalam pengaturan bab dan sub bab, suatu kenyataan yang diakui oleh banyak ulama. Kitab ini dibagi menurut edisi M. Fuad Abd al Baqi dalam 37 bab (kitab), dan berisi 4341 hadis.

D.    Peringkat Kitab Sunan
Kita mewarisi banyak sekali kitab hadis. Sebagian di antaranya sampai kepada kita, sebagian yang lain tidak. Sebagian besar kitab-kitab tersebut justru tersimpan di perpustakaan-perpustakaan dunia. Jumlahnya memang banyak sekali. Oleh sebab itulah, para ulama membagi kitab-kitab hadis dalam beberapa tingkatan: yang shahih, yang hasan, dan yang dla’if.
Thabaqat tingkat pertama: terbatas hanya pada shahih Al Bukhari dan Muslim, serta Muwatha’ Malik bin Anas. Di sana diberi klasifikasi hadis: yang mutawatir, yang shahih ahad, dan yang hasan.
Thabaqat kedua: terdiri dari Jami’ Imam Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Musnad-nya Imam Ahmad bin Hambal, dan Mujtaba’ Imam Nasa’i. tingkatan kitab-kitab tersebut tentu di bawah Shahih Bukhari dan Muslim, serta Muwatha. Tetapi para penulisnya menolaknya. Sekalipun tidak terlepas dari kelemahan, kitab-kitab tersebut menelurkan serta menjabarkan banyak ilmu dan hukum.
Thabaqat ketiga: terdiri dari beberapa kitab yang mengandung banyak kelemahan, yaitu berupa keganjilan, kemungkaran dan keragu-raguan, di samping keadaan para tokohnya yang tertutup. Lagi pula tidak ada upaya mengatasi semua kelemahan tadi, seperti misalnya musnat ibnu Abi Syaibat dan lain-lain sejenisnya. Thabaqat ketiga ini belum dapat diorientasikan serta dijabarkan dari segi ilmu dan hukum.
Thabaqat keempat: terdiri dari karangan-karangan yang ditulis dengan tidak sungguh-sungguh, pada akhir abad-abad terakhir. Yaitu dari sumber cerita dari mulut ke mulut, dari orang-orang yang senang menasehati, kaum sufi dan para sejarawan yang tidak adil, suka membuat bid’ah dan menurut nafsu. Didalamnya termasuk tulisan-tulisan Ibnu Mardawaih, Ibnu Syahin dan Ubai Asy-Syaikh. Tentunya thabaqat keempat ini tidak akan dijadikan sebagai pedoman oleh seseorang yang memahami hadis Nabi, karena merupakan sumber nafsu dan bid’ah.

E.     Kelebihan Empat Kitab Sunan Dengan Lainnya
Kitab sunan milik keempat imam yaitu Tirmudzi, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah, tentunya berbeda di bawah kedua shahih Bukhari dan Muslim, seperti juga segi kecermatannya. Masing-masing pemilik keenam kitab sunan (plus kitab shahih Bukhari dan shahih Muslim) memiliki kelebihan tersendiri yang bisa dikenali. Siapa yang ingin memperdalam pendalaman pemahaman, dia harus membaca shahih Bukhari. Siapa yang ingin menghindari hal-hal yang sifatnya ta’lik hendanya mempelajari shahih Muslim. Yang hendak menambah pengetahuan dalam ilmu hadis, dia harus menelaah koleksi-koleksi imam Tirmidzi. Yang menginginkan ikhtisar hadis-hadis hukum, sebaiknya membaca-sunan-sunan Imam Abu Dawud. Dan siapa yang menghendaki pembahasan fiqih yang sistematis merujuklah pada karya Ibnu Majah.akan halnya imam An-Nasa’I keistimewaannya tidak perlu disangsikan.
Dari berbagai kekhususan yang dimiliki oleh beberapa kitab pokok di atas, maka kita hendaknya memberikan apresiasi dari kelebihan masing-masing untuk mengambil manfaat darinya. Namun meskipun demikian pemikiran kritis tetap harus dijalankan, sesuai dengan keilmuan dan keabsahan sebuah isi hadis yang ada di dalam keenam kitab hadis yang menjadi pedoman bagi umat Islam di dunia ini.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Awal abad III H, adalah masa dimulainya pembukuan hadits yang semata-mata hadits saja, tidak dicampuri dengan fatwa sahabat dan fatwa Tabi’in. Mereka menyusun kitab-kitab hadits berdasarkan nama- nama orang yang pertama meriwayatkan hadits itu (Musnad). Mereka uang mula-mula menyusun kitab-kitab secara Musnad antara lain:
1.Abdullah bin Musa Al Abbasi.
2.Musaddad bin Marahad
Pada awal abad ini penulisan hadits belum dibedakan antara yang sahih dan Dhaif dan masih bercampur dengan fatwa para sahabat atau tabi’in, kemudian pada pertengahan abad-III ini para ulama membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat hadits shahih. Sehingga muncul ide-ide untuk mengumpulkan yang shahih-shahih saja yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah al-Bukhari (Imam Bukhari) dengan karyanya Jami'us Shahih dan disusul oleh muridnya Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (Imam Muslim), sehingga abad ini merupakan era keemasan bagi hadits dengan munculnya para ahli hadits terkemuka dan disusunnya kutubus-sittah (6 kumpulan hadits) yang memuat hampir seluruh hadits-hadits yang shahih.
Pada masa ini lahirlah kitab-kitab hadits yang dikemukakan diakui sebagai kitab hadits yang mu’tamat oleh umat Islam seperti;
1.      Al Jami’us Shahih oleh Al- Bukhari (194-256)
2.      Al Jami’us Shahih oleh Imam Muslim (204-261)
3.      As Sunan oleh Abu Daud (202-276 H)
4.      As Sunan oleh Tirmidzi (209-269 H)
5.      As Sunan oleh An Nasa’I (215-303 H)
6.      As Sunan oleh Ibnu Majah (209-276 H).
Sistem pembukuan hadits pada masa ini dikelompokkan kepada tiga sistem yaitu;
1)      Pengarang menghimpun semua serangan yang dilancarkan oleh ulama-ulama kalam kepada pribadi ulama-ulama hadits. Diantara ulama hadits yang mengarang dengan sistem ini adalah:
a.      Ibnu Qutaibah (wafat tahun 234 H)dalam kitabnya; تأويل مختلف الحديث للرد علي اعداء الحديث
b.      Ali bin Al madini (wafat tahun 234 H) dalam kitabnya; "اختلاف الحديث"
2)      Pengarang menghimpun hadits secara “musnad” yakni menghimpun hadits-hadits nabi dari tiap-tiap shahabat tanpa memperhatikan masalah-masalahnya (isi haditsnya) dan kualiltasnya (shahih, hasan, dhaif), diantara kitab-kitab hadits yang disusun dengan cara seperti ini yaitu:
a.      Musnad Ahmad bin hambal (104-241 H)
b.      Musnad Ahmad ibu Rahawaih (161-238 H)
Pengarang menghimpun hadits-hadits secara bab per bab seperti kitab fiqih dan tiap-tiap bab memuat hadits-hadits yang sama maudhunya (masalahnya). Misalnya bab sholat, bab zakat dan sebagainya. Dan dalam hal ini ada dua macam yaitu;
·         Hanya menghimpun hadits-hadits shohih saja seperti yang dilakukan Bukhari Muslim
·         Disamping memuat hadits-hadits shahih juga memuat hadits-hadits Hasan dan Dhaif seperti : Imam An Nasa’I Cs dalam kitab-kitab sunan.

B. Saran
            Tak ada kata yang terucap kecuali subhanalloh betapa besarnya himmah para ulama pada saat abad III Hijriyah ini, dengan gigihnya mereka semua menyusun kitab Hadits untuk dapat menjadi sebuah dasar hukum bagi umat ini. Oleh sebab itu, sebagai umat yang terakhir dan terbaik alangkah baiknya kita mempunyai kesadaran mengamalkan semua yang sudah disampaikan oleh Rasulullah dalam haditsnya, agar kita termasuk orang yang bersyukur mempunyai Nabi yang mempunyai sabda yang mulia.
DAFTAR PUSTAKA

Mudasir, 1999, ILMU HADIS, CV.PUSTAKA SETIA, Bandung.
Rahman,Fatchur, 1974, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT.Alma’arif, Bandung.
Hanafiyah & Muhri, 2010, Ulumul Hadits A, Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam.


[1] Drs.Fatchur Rahman,Ikhtishar Mushthalhul Hadits,PT.Al Ma’arif,Bandung,1974.hal.56.
[2] Drs.H.Mudasir, ILMU HADIS, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999, hal.109
[3] Drs.H.M.Hanafiah,M.Hum & Drs.H.Muhri,M.Ag, Ulumul Hadits A. Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam Martapura,2010, hal.194-197.
[4] Drs.H.Mudasir,op,cit,hal.110-111.
[5] Drs.Fatchur Rahman,Ikhtishar Mushthalhul Hadits,PT.Al Ma’arif,Bandung,1974.hal.56.
[6] Drs.H.Mudasir,op,cit,hal.65.
[7] Drs.Fatchur Rahman,op,cit,hal.375-378.
[8] yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits
[9] Drs.Fatchur Rahman,op,cit,hal.378-379.
[10] Ibid,hal.384.
[11] Ibid,hal.381.
[12] Ibid,hal.384-385.

1 komentar:

Jangan Lupa Tinggalkan Koment yaaaa...!!! _^-^_