WELCOME

Senin, 31 Oktober 2011

GEJALA-GEJALA HASRAT

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Penulisan
Setiap makhluk hidup mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidupnya. Pada tumbuh-tumbuhan, pemenuhan kebutuhan tersebut berlangsung tanpa kesadaran. Pada hewan, walaupun sudah nampak adanya kemampuan untuk merasakan kebutuhan biologisnya yang bersifat spontan, namun hewan tidak memiliki, af’idah, kesadaran diri, aku, dan tidak berpribadi. Hewan memiliki tenaga dalam dirinya dan pada tingkat tertentu memiliki kesanggupan untuk menghayati atau menyadari akan kebutuhan hidupnya. Penghayatan untuk mencari pemenuhan kebutuhan hidup itu disebut naluri atau dorongan biologis yang selalu berhubungan dengan kondisi jasmaniah, sehingga erat hubungannya dengan pengindraan dan perasaan jasmaniah. Hewan kurang mampu menangguhkan dan mengendalikan jasmaniahnya.
Psikologi umum sebagai suatu ilmu pengetahuan untuk  menghususkan diri untuk menyelidiki atau mempelajari dan menerangkan kegiatan-kegiatan psikis atau gejala-gejala kejiwaan yang umumnya terdapat pada manusia-manusia yang normal.[1]
Pada manusia terdapat pula kebutuhan biologis itu, namun pemuasannya sudah diwarnai oleh nilai yang ada dalam diri pribadinya. Manusia mempunyai kebutuhan makan, minum, tidur, seks, papan atau tempat tinggal, dan kebutuhan jasmaniah lainnya, namun cara mencari pemenuhan dan melaksanakan pemuasan kebutuhan jasmaniah itu dihubungkan dengan kepentingan aku nya, nilai diri pribadi,  sosial dan kebudayaan. Kadang-kadang, manusia pun tidak mampu mengendalikan dan menangguhkan kebutuhan biologisnya, sehingga terjadilah tingkah laku pada taraf binatang. Pada umumnya manusia mampu mengendalikan dan menangguhkan dorongan kebutuhan biologisnya, bahkan kalau dilatih, manusia mampu menangguhkan dalam waktu yang lama, seperti terlihat pada perilaku puasa, bertapa, dan tidak menikah. Drs. Ny. Yoesoef Noesyirman menyebut kebutuhan pada manusia dengan istilah hasrat ( terjemahan dari

triebfedern yang merupakan kebutuhan manusiawi, berbeda dengan triebe yang merupakan dorongan hewani ). Pada buku-buku psikolog, hasrat itu disebut pula motivasi.
Perkembangan hasrat sejalan dengan perkembangan aku atau kepribadian seseorang, sehingga pada bayi yang baru laahir dorongan biologisnya belum diwarnai oleh aku nya yang belum terbentuk. Dengan berkembangannya kepribadian, hasrat biologis pun tidak lagi bergantung kepada keadaan jasmaniah, tetapi menyangkut makna hal yang dihayati, ditangkap, dan dipikirkan. Akhirnya, hasrat tidak saja terarah kepada pemuasan kebutuhan hidup, tetapi hasrat juga terarah untuk mengejar tujuan yang lebih tinggi yang tergolong ke dalam dunia nilai, dunia ideal, dan rohaniah. Pada perkembangan kepribadian selanjutnya, hasrat baru ini terlepas dari segi biologis. G. W. Allport menerangkan keunikan terbentuknya motif pribadi seseorang dalam perkembangan kepribadian melalui pembentukan autonomi fungsional. Artinya motif baru dapat terbentuk dan berfungsi secara otonom, berdiri sendiri, terlepas dari segi-segi biologis dan motif dasar melalui pengalaman kehidupan psikis seseorang.[2]
B.     Rumusan Masalah
Setelah menelaah latar belakang penulisan makalah ini maka kami membatasi dan merumuskan masalah yang akan tertuang di dalam makalah ini sebagai berikut:
a.       Apa yang disebut dengan hasrat itu?
b.      Apakah setiap manusia mempunyai hasrat?
c.       bagaimana hasrat membentuk motif seseorang dalam kehidupannya?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang utama dari penulisan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas mata kuliah psikologi umum pada semester III ini, dan untuk membuka wawasan kami dan juga pembaca dalam masalah tentang golongan-golongan hasrat.
D.    Metode Penulisan
Metode yang kami gunakan dalam membuat makalah ini adalah dengan metode kepustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hasrat
      Hasrat adalah suatu keinginan atau kemauan tertentu yang dapat diulang-ulang.[3] Kemauan merupakan salah satu fungsi hidup kejiwaan manusia, dapat diartikan sebagai aktifitas psikis yang mengandung usaha aktif dan berhubungan dengan pelaksanaan suatu tujuan. Tujuan adalah titik akhir dari gerakan yang menuju pada sesuatu arah. Adapun tujuan kemampuan adalah pelaksanaan suatu tujuan-tujuan yang harus diartikan dalam suatu hubungan. Misalnya, seseorang yang memiliki suatu benda, maka tujuannya bukan pada bendanya, akan tetapi pada mempunyai benda itu”, yaitu berada dalam relasi (hubungan), milik atas benda itu. Seseorang yang mempunyai tujuan untuk menjadi sarjana, dengan dasar kemauan, ia belajar dengan tekun, walaupun mungkin juga sambil bekerja. Dalam istilah sehari-hari, kemauan dapat disamakan dengan kehendak dan hasrat. Kehendak ialah suatu fungsi jiwa untuk dapat mencapai sesuatu yang  merupakan kekuatan dari dalam dan tampak dari luar sebagai gerak-gerik.[4]
Semua perbuatan, gerakan, dan tingkah laku kita itu merupakan akibat dari tenaga-tenaga yang ada dalam diri kita. Tenaga dari dalam tersebut disebut sebagai: usaha yang muncul dari dalam, dan ditampilkan keluar, dalam bentuk macam-macam tingkah laku atau gerakan-gerakan psikomotoris. Tingkah laku ini pada umumnya merupakan pengarahan diri ke arah segala sesuatu yang bermanfaat dan baik bagi kita, dan penghindaran diri dari segala sesuatu yang jahat dan merugikan. Dalam setiap usaha dan gerak psikomotoris terdapat : pelahiran, pemakluman, pembukaan, pendesakan, atau pelandaan keluar menuju ke satu arah, dan ada keinginan pada sesuatu yang kita anggap bernilai. Tujuan daripada tingkah laku : pencapaian satu tujuan, baik yang bersifat positif mengarah ke, maupun yang negatif yaitu menghindari.[5]
Pada setiap individu manusia yang normal pada umumnya memiliki gejala-gejala kejiwaan atau pernyataan-pernyataan jiwa yang secara garis besarnya dalam psikologi umum dibagi menjadi 4 (empat) bagian sebagai berikut ;
a)      Gejala pengenalan (kognisi) ; yang termasuk kegiatan psikis pengenalan/kognisi ini adalah gejala-gejala jiwa seperti ; pengamatan, tanggapan, ingatan, assosiasi, pantasi, berpikir dan inteligensi .
b)      Gejala jiwa perasaan (emosi) ; Bigot dkk membagi gejala jiwa perasaan ini menjadi 2 (dua) bagian yaitu perasaan-perasaan rendah/jasmaniah dan perasaaan-perasaan luhur/rohaniah. Perasaan-perasaan jasmaniah adalah seperti ; perasaan penginderaan dan perasaan vital.sedangkan yang termasuk perasaan-perasaan  rohaniah adalah ; perasaan keindahan, perasaan sosial, perasaan kesusilaan, perasaaan ketuhanan, perasaan diri dan intelektual .
c)      Gejala jiwa kehendak (konasi); gejala kehendak ini ada 2 (dua) macam ; yaitu gejala kehendak yang indriah dan gejala kehendak yang rohaniah.
Gejala kehendak indriah seperti; tropisme, refleks, instink, automatisme, nafsu, kebiasaan, keinginan dan kecenderungan. Semua gejala jiwa kehendak ini tidak dipengaruhi akal pikiran.dan gejala kehendak yang rohaniah yaitu; kemauan .
d)     Gejala campuran, yang termasuk gejala jiwa ini adalah ; minat dan perhatian,kelelahan dan sugesti.[6]

B.     Ciri-ciri hasrat
1.      Hasrat merupakan “motor” penggerak perbuatan dan kelakuan manusia.
2.      Hasrat berhubungan erat dengan tujuan tertentu, baik positif maupun negatif. Positif berarti mencapai barang sesuatu yang dianggap berharga atau berguna baginya. Sedang negatif berarti menghindari sesuatu dianggap tidak mempunyai harga/guna baginya.
3.      Hasrat selamanya tidak terpisah dari gejala mengenal (kognisi) dan perasaan (emosi). Dengan kata lain, hasrat tidak dapat dipisah-pisahkan dengan pekerjaan jiwa yang lain.
4.      Hasrat diarahkan kepada penyelenggaraan suatu tujuan maka di dalam hasrat terdapat bibit-bibit penjelmaan kegiatan.[7]



C.    Pembagian Hasrat
Remplein membedakan tiga macam hasrat ( triebfedern ), yaitu :
1.      Hasrat yang menyangkut “ adanya “ seseorang sebagai makhluk hidup. ( triebfedern des lebendigen Daseins ). Hasrat ini berhubungan erat dengan dorongan jasmaniah ( triebe ) tertentu, walaupun berbeda sifatnya, karena pada hasrat terdapat pembayangan tujuan dalam tanggapan pemikiran, sedangkan pada triebe tidak terdapat bayangan tujuan itu. Adapun hasrat-hasrat yang tergolong ke dalamnya adalah :
a.       Hasrat akan kenikmatan berupa keinginan untuk menikmati rasa nikmat melalui rangsangan indra, pembau, pengecap, peraba, rasa keseimbangan, penglihatan dan pendengaran. Termasuk kedalam hasrat ini adalah hasrat kenikmatan intelektual dalam pengertian kenikmatan penghayatan proses berpikir seperti yang terjadi pada humor atau lelucon. Hasrat kenikmatan yang kuat akan bersigat positif kalau tumbuh pada kehidupan rohaniah yang kaya dan dapat di kendalikan oleh kehendak yang baik sehingga dapat menambah kegembiraan dan semangat hidup. Hasrat itu dapat bersifat negatif kalau menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan seseorang serta tidak dapat dikendalikan oleh nila-nilai luhur.
b.      Hasrat terhadap pengalaman atau penghayatan berupa keinginan akan perasaan yang menyenangkan.
c.       Hasrat ingin tahu termasuk keinginan akan pengalaman baru, berita-berita aneh dan sensasi.
2.      Hasrat yang menyangkut adanya seseorang sebagai satu pribadi ( triebfedern des individuellen selbsteins ). Semua hasrat golongan ini dapat disimpulkan sebagai hasrat untuk bertahan diri dan mengembangkan diri, termasuk kedalamnya :
a.       Hasrat mempertahankan harga diri.
b.      Keinginan tidak bergantung kepada orang lain dan keinginan untuk berdiri sendiri.
c.       Keinginan merdeka, bebas dari paksaan orang lain dan dunia luar.
d.      Hasrat mengembangkan keakuan, mengembangkan posisi aku, egoisme, ambisi pribadi, dan keinginan untuk menempatkan daripada posisi yang lebih tinggi daripada orang lain.
e.       Keinginan atau kekuasaan
f.       Keinginan untuk menampakkan diri, menonjolkan diri, menunjukkan diri, keinginan untuk mendapatkan penilaian yang setinggi mungkih dari orang lain keinginan dihormati, dikagumi, disegani, kemasyhuran, penghargaan, dan keinginan untuk disayangi.
3.      Hasrat yang mentransendir kedua macam bentuk ada di atas ( triebfendern des uber-sich-hinaus-seins ). Kalau hasrat bertahan dan berkembang diri merupakan hasrat yang terarah pada kepentingan diri sendiri, terbatas pada aku seseorang, maka hasrat berikut ini mengandung kecenderungan untuk melewati batas keakuan atau mentrasendir aku. Seoalah-olah bukan aku yang dipentingkan, namun dunia luar. Tujuan terakhir bukanlah aku, tetapi dunia luar. Hasrat yang termausk golongan ini ialah :
a.       Hasrat kebersamaan dan berpartisipasi dengan orang lain, hasrat bergaul, berkelompok, berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari disebut sikap sosial atau sikap kemanusiaan.
b.      Hasrat membangun atau berprestasi.
c.       Hasrat mengasihi dan hasrat cinta kasih sesama manusia.
d.      Hasrat membebaskan diri dari ikatan waktu dan relativitas kehidupan menuju ke arah sesuatu yang absolut. Hasrat ini tampil berupa hasrat filosofis dan kerohanian.
e.       Hasrat normatif seperti hasrat mencari kebenaran kejujuran, kewajiban dan keadilan.
f.       Minat.
g.      Sikap batin.
Sikap batin ini merupakan motif atau pendorong bagi kehendak. Sikap ini nampak kalau seseorang disuruh memilih antara yang buruk dan baik. Sikap batin dapat didefinisikan sebagai sikap yang berdasarkan nilai-nilai terhadap sesuatu atau objek yang mengandung nilai. Kepekaan, etis, rohaniah, kemasyarakatan dan kekayaan batin sangat menguntungkan bagi perkembangan kepribadian. A. H. Maslow ( 1943 ) mengutarakan teori motivasi berdasarkan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki motivasi, karena adanya kebuthan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan ( need ) merupakan energi psikis yang tersusun secara hierarkis mulai dari yang paling dasar ( kebutuhan phisiologis ) sampai kepada yang paling tinggi ( kebutuhan aktualisasi diri ). Kebutuhan ini bergerak kearah level yang lebih tinggi apabila kebutuhan pada label yang lebih rendah telah terpenuhi dalam batas minimal. Individu baru akan berusaha mencari pemuasan kebutuhan keselamatan dan rasa aman apabila kebutuhan phisiologis telah terpenuhi dalam batas minimal. Individu baru akan berusaha memenuhi kebutuhan akan harga diri telah terpenuhi dlam batas minimal.
            Adapun hierarkis kebutuhan itu terdiri atas lima kategori secara berurutan, yaitu :
a.       Kebutuhan phisiologis ( physiological needs ) : makan, minum, sek, tidur, udara, dan tempat berlindung ( perumahan ).
b.      Kebutuhan keselamatan dan keamanan ( safety and security needs ), baik segi fisik, psikologis, finansial, dan stabilitas.
c.       Kebutuhan pemilik dan sosial ( belongingness and social needs ), yaitu kebutuhan afeksi, cinta kasih, kasih sayang, afiliasi, kebersamaan, dan identifikasi kelompok.
d.      Kebutuhan harga diri ( esteem needs ), yaitu harga diri, otonomi, kewenangan, kebebasan, dan kemerdekaan, prestasi, prestise, respek, kebanggan, dan penonjolan diri.
e.       Kebutuhan aktualisasi diri ( self-actualization ), yaitu pengembangan dan realisasi potensi diri.[8]

D.    Hasrat yang berpusat pada kejasmanian
1)      Tropisme
Adalah peristiwa yang menyebabkan timbulnya gerak ke suatu arah tertentu. Gejala tropisme terdapat pada barang-barang tingkat vegetatif (tumbuh-tumbuhan) dan animal (binatang).[9]
Contohnya ialah : tanaman senantiasa mengarah pada sinar matahari, dan serangga mengarah pada sinar lampu. Peristiwa ini tersebut fototropisme positif. Sedang fototropisme negatif ialah gerak menghindari sesuatu. Misalnya : ikan-ikan di laut dalam selalu menghindari sinar matahari.[10]
2)      Refleks
Adalah gerak reaksi yang tidak disadari terhadap perangsang. Refleks ini dihubungkan dengan gejala konasi yang rendah tingkatannya maka refleks hanya boleh dikatakan gerak refleks, hukum perbuatan refleks.[11]
Aliran behaviourisme radikal menjabarkan segenap tingkah laku manusia itu dari refleks-refleks. Karena itu, manusia disebut sebagai “ kompleks dari macam-macam refleks “ atau sebgai mesin reaksi, mesin refleks. Faktor bakat dan sifat-sifat keturunan diabaikan saja, sebab anak manusia dianggap sama waktu ia dilahirkan. Dan pendidikan dianggap maha kuasa, yaitu kuasa “ mendidik/mempengaruhi “ refleks-refleks. Dia dibuat menjadi makhluk kebiasaan.
            Pendidik dapat mempengaruhi refleks-refleks semau sendiri dan sedemikian rupa, sehingga orang menjadi mesin reaksi. Dengan kata-kata lain, reaksi-reaksi itu bisa dipengaruhi dan diajar. Refleks ada yang tidak bersyarat ( otomatis, dengan sendirinya ), misalnya kedipan pelupuk mata, batuk, dan lain-lain. Dan ada yang bersyarat atau terkondisionir; misalnya pengkondisian kelenjar-kelenjar liur dengan lampu, refleks membela diri dan melarikan diri dari bahaya.[12]
3)      Insting
Yaitu kemampuan berbuat yang dibawa sejak lahir yang tertuju pada pemuasan dorongan-dorongan nafsu dan dorongan-dorongan lain, disebut insting. Insting ini terdapat pada hewan dan juga pada manusia, namun fungsi peranannya tidak sama.[13]
Insting atau naluri itu merupakan kemampuan yang ada sejak lahir. Dibimbing oleh instingnya, binatang bertingkah laku cepat sekali dalam pemenuhan segala kebutuhannya ; umpama mencari air dan makanan, mengenali musuh, kawin, dan lain-lain. Sama dengan refleks-refleks dengan insting orang juga bisa melakukan penyesuaian diri/adaptasi terhadap keadaan baru. Insting itu ada pada tingkat animal. Juga pada tingkat human ada tingkah laku instingif, namun sudah tidak murni instingif lain, karena sudah dibimbing oleh norma-norma, dan si subyek menyadari norma-norma tadi. Misalnya kegiatan mencari kawan, makan, membangun rumah, memlihara dan mendidik anak keturunan, dan lain-lain.
Bersama-sama dengan dorongan-dorongan, insting menjadi faktor penggerak bagi segala tingkah laku dan aktivitas manusia; dan menjdi tenaga dinamis yang tertanam sangat dalam pada kepribadian manusia.[14]
4)      Otomatisme
Gejala-gejala yang menimbulkan gerak-gerak terselenggara dengan sendirinya, disebut dengan otomatisme.[15]
Misalnya gerak-gerak jantung, paru-paru, usus-usus, lambung, hati, dan lain-lain. Sedang gerak-gerak yang menjadi otomatis ( terkondisionir jadi otomatis ) antara lain berupa : berbicara, berjalan, menulis, merajut, bersepeda, mengemudikan mobil, dan lain-lain.[16]
5)      Kebiasaan
Gerak perbuatan yang berjalan dengan lancar dan seolah-olah berjalan dengan sendirinya, disebut dengan kebiasaan.[17]
Kebiasaan itu ditentukan oleh lingkungan sosial dan kebudayaan, dan dikembangkan manusia sejak ia lahir. Kebiasaan-kebiasaan mendapatkan bentuk-bentuknya yang tetap berkat ulangan-ulangan dan sukses. Jika sukses, akan diulang kembali ; dan jika tidak sukses, akan ditinggalkan.
            Kebiasaan adalah tingkah laku yang sudah distabilkan, dengan mana kebutuhan-kebutuhan tertentu mendapatkan kepuasan karenanya. Lingkungan dengan sikap yang menyetujui ataupun menolak, juga disiplin dan pendidikan, sangat mempengaruhi pembentukan kebiasaan. Sehubungan dengan itu, pada kebiasaan-kebiasaannya kita mengenali seseorang ; karena pada kebiasaan inilah tercermin bagian terbesar dari kepribadiannya.
Banyak perbuatan manusia berupa kebiasaan-kebiasaan, yaitu bentuk yang menetap  dari kanalisasi dinamik pribadinya. Sebagian besar dari kebiasaan-kebiasaan itu hanya setengah disadari, atu bahkan tidak disadari lagi. Namun yang jelas, pada awal pembentukannya kebiasaan ini masih disadari, berlangsung pula pertimbangan akal di dalamnya, yang menjadi semakin berkurang ;  dan kesadaran jadi semakin lama semakin menipis. Lalu kebiasaan jadi ortomatis dan tidak disadari lagi, misalnya berjalan, naik sepeda dan lain-lain. Namun sewaktu-waktu pertimbangan akal ini bisa ditimbulkan kembali ; khususnya apabila diperlukan untuk pengubhan atau penggantian kebiasaan yang buruk dengan kebiasan yang baik.
Kebiasaan juga merupakan reaksi bersyarat yang kompleks dan bervariasi, serta menjadi kanalisasi dari tingkah laku. Kebiasaan menjadi produk dari dorongan-dorongan ; memberikan stabilitas dan kapasitas pada tingkah laku. Kebiasaan diperoleh dengan jalan latihan, peniruan dan ulangan-ulangan secara terus-menerus. Semula, semua latihan, peniruan dan ulangan itu berlangsung secara disadari ; lambat laun menjadi kurang disadari, untuk selanjutnya menjadi otomatis mekanistis, tidak disadari. Kebiasaan bisa bersifat pistif baik, misalnya bangun pagi haari, rajin belajar, tekun, cermat, teliti, hemat, berhati-hati dan lain-lain. Namun juga bisa bersifat negatif ; misalnya minum, rokok terus-menerus, berlambat-lambat, bangun jauh siang hari, malas, penjudi, selalu bercuriga, dan lain-lain.
Pada umumnya pembentukan kebiasan itu dibantu oleh refleks-refleks. Maka, refleks bersyarat itu menjadi alas dasar bagi pembentukan kebiasaan. Pada akhirnya, kebiasaan itu berlangsung otomatis dan mekanitis, terlepas dari pikiran dan kesadaran bisa difungsikan lagi untuk memberikan pengarahan baru bagi pembentukan kebiasaan baru.[18]
6)      Nafsu
Dorongan yang terdapat pada tiap manusia dan memberi kekuatan bertindak untuk memenuhi kebutuhan hidup tertentu, disebut dengan nafsu.[19]
7)      Keinginan
Nafsu yang telah mempunyai arah tertentu dan tujuan tertentu disebut dengan keinginan.[20]
8)      Kecenderungan atau Hasrat
Kecenderungan timbul dari dorongan dan terarah pada satu tujuan atau satu obyek konkrit. Misalnya, dari dorongan makanan/gizi mucullah hasrat makan ; dari dorongan kerja timbul hasrat bekerja, dan lain-lain. Lawan dari hasrat ialah keseganan atau keengganan.
            Kecenderungan yang selalu saja muncul kembali disebut kecenderungan. Maka definisi kecenderungan ialah sebagai berikut :
            Kecenderungan adalah hasrat atau kesiapan-reaktif yang tertuju pada obyek konkrit, dan selalu mucul berulang kali.
Paulhan, seorang psikolog Perancis, membagi-bagi kecenderungan itu sebagi berikut :
            Kecenderungan vital : lahap, rakus, sedang atau “ matig “ kecenderungan minum-minuman keras, dan lain-lain.
            Kecenderungan egoistis : loba, kikir, cinta-diri individualistis, brutal, atau menyendiri, narsistis atau merasa paling “ super “, dan lain-lain.
            Kecenderungan sosial : kecenderungan berkumpul dengan orang lain ( persahabatan, kemeredari ), kerukunan, bergotong royong, hajat untuk berbuat baik, dan lain-lain.
            Kecenderungan abstrak : jujur, adil, sadar akan kewajiban, munafik, menipu, mengecoh, dan lain-lain.
            Kecenderungan disebut pula sebagai kesiapan reaktif yang habitual. Sebabnya begini : oleh sukses dan kegagalan-kegagalan, pengulangan, hukuman dan hadiah, ringkasnya oleh pengalaman-pengalaman, lahirlah reaksi-reaksi tertentu berupa kesiapan-reaktif yang habitual kecenderungan terhadap situasi.
            Pengalaman bisa memperkaya, memperdalam dan memperbesar kesiapan reaktif tadi : tapi juga bisa membuatnya jadi kaku, dan mengakibatkan fiksi ( pola yang melekat, menetap, tidak berubah ). Sebagai akibatnya, timbullah kemudian pengamatan dan sikaf reaktif yang salah. Namun kecenderungan baru bisa membuka dan mendobrak fiksi yang lama, untuk mereorganisir dan menggantikan semuanya dengan satu pola reaktif baru.
            Pada kecenderungan itu ada kesiagaan untuk mereaksi dan bertindak, yang didukung oleh tekanan-tekanan emosioanl dan minat yang terarah pada satu obyek sehingga ada pengarahan yang selektif sifatnya. Karena itu, kecenderungan dianggap sebagai tenaga pengarah yang konstan, menentukan tingkah laku aktif dan reaktif terhadap lingkungan (Fransika Baumgarten ). Kecenderungan merupakan sifat watak kita yang disposisioanal) ; yaitu buka merupakan tingkah laku itu sendiri, akan tetapi merupakan sesuatu yang memungkinkan timbulnya tingkah laku dan mengarahkan pada obyek tertentu. Kecenderungan ini juga menjadi “ jalan “ yangb kurang lebih stabil sifatnya, dan lebih kurang dibiasakan/dihabitualisir. Karena itu kecenderungan disebut pula sebagai kesiapan reaktif yang habitual dari tingkah laku. Kecenderungan juga merupakan cara pengambilan sikap yang relatif konstan, selalu sama dalam situasi yang equivalent ( sama, sepadan ) : sehingga timbul kecenderungan untuk mengadakan generalisasi/keumuman, mengarah pada satu kebiasaan.
            Kecenderungan sifatnya bukan herediter yaitu bukan dibawa sejak lahir ; juga tidak mekanistis kaku seperti refleks dan kebiasaan. Sifatnya bisa sementara namun kadangkala juga bisa bersifat menetap. Disamping komponen pengenalan/kognitif, kecederungan juga dimuati oleh komponen-komponen afektif atau emosioanl dan dinamis sifatnya.[21]
9)      Hawa nafsu
Kecenderungan atau keinginan yang sangat kuat dan mendesak yang sedikit banyak mempengaruhi jiwa seseorang.[22]
Nafsu ini menyingkirkan semua pertimbangan akal, dan peringatan hati nurani, menyingkirkan pula hasrat lainnya. Sebagai contoh ialah : nafsu bermain judi, nafsu minum ( minuman keras ), nafsu membunuh, nafsu memiliki, dan lain-lain yang dapat menimbulkan kepedihan dan kerusakan lahir-batin.[23]

10)  Kemauan
Kemauan adalah dorongan sadar, berdasarkan pertimbangan pikir  dan perasaan, serta seluruh pribadi seseorang yang menimbulkan kegiatan yang terarah pada tercapainya tujuan tertentu yang berhubungan dengan kebutuhan hidup pribadinya.[24]
Jadi pada kemauan itu ada kebijaksanaan akal dan wawasan, juga ada kontrol dan persetujuan dari pusat kepribadian. Oleh kemauan, timbullah dinamika dan aktivitas manusia yang diarahkan pada pencapaian tujuan final/akhir.
            Kemauan merupakan dorongan keinginan pada setiap manusia untuk membentuk dan merealisasikan diri, dalam pengertian : mengembangkan segenap bakat dan kemampuannya, serta meningkatkan taraf kehidupan. Jelasnya, dengan kemauan kuat diri sendiri itu dijadikan “ proyek “ untuk dibangun  dan diselesaikan, sesuai dengan gambaran ideal tertentu.
            Kemauan menjadi unifikator  atau pemersatu dari semua tingkah laku manusia ; dan mengkoordinasikan segenap fungsi kejiwaan menjadi bentuk kerja sama yang supel harmonis. Maka kemauan yang sehat akan menjadi  manusia satu kesatuan yang betul-betul menyadari tujuan hidupnya dalam setiap langkah dan tingkah lakunya. Kemauan ini pada batas-batas tertentu bisa dilatih dan dididik, misalnya, misalnya dengan jalan: konsentrasi, berpuasa, yoga, bertapa ( tapa brata ), sport, silat dan lain-lain. Oleh karena itu ada pendidikan kemauan ( wilsvorming ).
            Ada beberapa teori mengenai proses-kemauan ini. Di bawah ini dikemukakan 2 teori, yaitu dari Meumann dan dari W. Ach.
1.      Teori Meumann ( analisa  lama )
            Meumann membedakan unsur motif-motif, perjuangan motif dan penentuan. Motif ( motivasi ) merupakan sebab atau gambaran-penyebab yang akan menimbulkan tingkah laku, menuju pada satu tujuan ; biasanya merupakan suatu peristiwa yang sudah lalu, satu ingatan, gambaran fantasi dan perasaan-perasaan tertentu. Orang menyebutkan adanya motif-motifd yang rendah, yang tinggi atau nobel, yang mementingkan diri sendiri, dan lain-lain. Motif-motif ini subyektif sifatnya.
            Perjuangan motif itu merupakan usaha mempertimbangkan dengan hati nurani  dan akal budi kemungkinan dilaksanakannya satu pilihan ; yaitu diambil dari beberapa alternatif /kemungkinan motif-motif tadi.
            Pada proses penentuan ada penentuan dari seleksi dan pelaksanaan pilihan itu. Yaitu memilih motif yang paling baik dan paling kuat, untuk dilaksanakan dengan segera.
2.      Teori N. Ach ( analisa baru )
Ach membedakan empat momen, yaitu :
1.      Momen wujud : proses penginderan yang kuat biasanya disertai dengan ketegangan-ketegangan ; bahkan sering diiringi dengan gerakan-gerakan tertentu. Misalnya : menggertakkan gigi, memenpaatkan kedua belah bibir, mengernyitkan kening, meleltkan lidah, mengepalkan tinju, dan lain-lain.
2.      Momen obyektif : kesadaran akan adanya pengarahan pada satu tujuan, dan ada gambran satu tujuan. Ada antipasi terhadap perubahan yang akan dilakuakan.
3.      Momen aktual : momen aktual ini menyadari benar perbuatan apa yang akan dilakukan.
4.      Momen subyektif : ada keinginan dalam kesadaran untuk berbuat secara energik/kuat, dan ada upaya mengumpulkan usaha-usaha untuk berbuat.
            Di antara keputusan-keputusan dan perbuatan-kemauan terdapat satu waktu, ( bisa pendek, dapat pula agak lama ), yang disebut sebagai tendens determinatif. Tendens atau kecenderungan determinatif ini akan menjadi semakin kuat, apabila keputusan-keputusan menjadi semakin tegas dan jelas dalam pusat kesadaran. Maka tendens determinatif ini merupakan tenaga yang dimunculkan oleh keputusan-kemauan. Semakin jelas dan tegas suatu amanat-perintah, tugas, industruksi, pesanan-dalam kesadaran sebagai keputusan kemauan, semakin mudahlah pelaksanaannya ( hukum determinasi khusus ).
            Dan semakin sulit suatu perbuatan, semakin besar pula usaha kemauan yang dibangkitkan untuk mengatasi kesulitan tersebut ( hukum kesulitan ). Eksperimen-eksperimen menunjukkan, bahwa bekerja secara cepat dan bergabung, yaitu kerja sama secara kooperatif itu menambah besarnya usaha kemauan.
            Di samping adanya aliran yang mengemukakan adanya kemauan bebas ( free will ), ada pula aliran determinisme. Determinisme menyatakan, bahwa segenap tingkah laku manusia itu sudah ditetapkan/di-determinir sejak awal mula, bahkan telah dipastikan sejak berabad-abad sebelum kelahiran individu di dunia. Semua kejadian ini sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa dengan batas-batas tertentu. Tidak ada sesuatu yang baru sekali di dunia, sebab semua peristiwa dunia ini sudah diatur menurut formula maka pasti dan akan berlangsung teratur seperti yang sudah ditentukan sebelumnya. Jadi ada determinasi dari segala kejadian, sebagai produk dan akibat dari satu sebab yang mendahuluinya. Ruang bermain dan ruang-gerak manusia sudah dipagari oleh batas-batas tertentu. Sehingga ada peristiwa : takdir, nasib, nasib peruntungan, dan suratan tangan yang tidak bisa diubah lagi. Orang tidak mampu merubahnya. Maka di dalam usaha mendidik anak manusia dan aktivitas mendidik-diri itu pada hakikatnya tidak banyak yang dapat dilaksanakan, karena segenap kemampuan anak manusia sudah “ dituliskan “, sudah dibatasi. Yang ada Cuma dresur ( pengajaran-latihan ) dan pembiasaan saja, atau pun berusaha usaha-usaha yang tidak berarti.
            Kaum indeterminis dari aliran indeterminisme atau kemauan bebas, menyatakan sebagai berikut : kemauan bebas manusia itu jelas ada, dengan mana ia mengadakan pilihan menyatakan keputusan pribadi dan pertanggungjawaban sendiri. Memang pada segi-segi jasmaniah dan kemampuan fisiknya manusia tidak mungkin mampu melampaui batas-batas kodratnya ; misalnya melampaui daya tahan fisik dan kekuatan tubuhnya. Akan tetapi pada kehidupan psikisnya jelas terdapat kebebasan.
            Individu itu mereaksi terhadap pengaruh-pengaruh dari luar secara aktif dan bebas, secara mempribadi. Dia memilih bagian-bagian dari kehidupan yang disenangi. Individu itu menciptakan milieu dan dunianya sendiri. Dia memilih pengaruh-pengaruh pendidikan mana yang baik bagi pembentukan dan perkembangan dirinya. Dia adalah manusia bebas yang memiliki kemauan bebas, dan mampu menciptakan hal-hal baru ( novum ) yang tidak terduga-duga sebelumnya dengan kemauan bebasnya.
            Untuk sampai pada perbuatan-perbuatan, diperlukan adanya keputusan-keputusan yang tegas di pusat kesadaran. Keputusan kemauan ini bergantung sekali pada kejelasan motif-motif yang menggerakkan kemauan. Oleh karena itu perlu adanya pemupukan motif-motif ( Motivenkultur, istilah Lindworsky ). Barang siapa ingin memiliki kemauan yang kuat-besar, haru mempunyai motif-motif ( motivasi ) yang jelas-tegas, sehingga mendorong kuat berlangsungnya kemauan. Karena itu, pendidikan kemauan itu sebagian besar berupa pemupukan motif-motif. Berilah pada seseorang satu motif/motivasi yang kokoh jelas atau satu kompleks motif-motif/motivasi, maka pastilah dia ammpu melaksanakan perbuatan-perbuatan kepahlawanan atau perbuatan besar lainnya. “ saya pasti bisa asal saya mau ; Es ist nur ien Wollen.
            Maka dalam aktivitas pndidikan perlu diusahakan pemdidikan kemauan. Sebab kemauan itu berfungsi sebagai pengatur dan unifikator dari segenap bagian kepribadian. Seperti halnya berfikir yang menciptakan orde/pengaturan dalam khaos fakta di dunia ini, maka kemauan biasa menciptakan orde dan kesatuan pada segenap unsur bagian dari kepribadian ( unsur kognitif, afektif/emosi, fantasi tanggapan, minat, pikiran dan lain-lain ). Dan kemauan ini mengarahkan manusia pada tujuan-tujuan menurut pola-pola pembimbing atau Leitmotiven tertentu.
            Kemauan juga berfungsi sebagai pendorong untuk mengenali hierarki nilai-nilai. Oleh pemenuhan segenap kebutuhan, manusia mengarahkan hidupnya pada nilai-nilai. Barang-barang yang bernilai adalah segala sesuatu yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan dan bisa menyempurnakan hidupnya. Misalnya, makanan merupakan barang vital yang bernilai. Kumpulan atau Gemeinschaft adalah peristiwa sosial yang bernilai.
            Nilai-nilai ini diperlukan untuk mengembangkan dan menyempurnakan pribadi manusia  dan untuk membangun dirinya. Nilai yang paling tinggi dalam sistem nilai adalah cinta, terutama cinta-kasih yang ditujukan kepada sesama manusia. Maka kemauan itu merupakan tenaga pengarah pada pemilihan nilai-nilai, dan menjadi pendukung dari aktivitas susila serta perbuatan-perbuatan baik, dan menghindari perbuatan jahat.[25]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hasrat adalah suatu keinginan atau kemauan tertentu yang dapat diulang-ulang.  Kemauan merupakan salah satu fungsi hidup kejiwaan manusia, dapat diartikan sebagai aktifitas psikis yang mengandung usaha aktif dan berhubungan dengan pelaksanaan suatu tujuan. Tujuan adalah titik akhir dari gerakan yang menuju pada sesuatu arah. Adapun tujuan kemampuan adalah pelaksanaan suatu tujuan-tujuan yang harus diartikan dalam suatu hubungan.
Ciri-ciri hasrat
1)      Hasrat merupakan “motor” penggerak perbuatan dan kelakuan manusia.
2)      Hasrat berhubungan erat dengan tujuan tertentu, baik positif maupun negatif. Positif berarti mencapai barang sesuatu yang dianggap berharga atau berguna baginya. Sedang negatif berarti menghindari sesuatu dianggap tidak mempunyai harga/guna baginya.
3)      Hasrat selamanya tidak terpisah dari gejala mengenal (kognisi) dan perasaan (emosi). Dengan kata lain, hasrat tidak dapat dipisah-pisahkan dengan pekerjaan jiwa yang lain.
4)      Hasrat diarahkan kepada penyelenggaraan suatu tujuan maka di dalam hasrat terdapat bibit-bibit penjelmaan kegiatan.
Golongan-golongan hasrat
a)      Hasrat Vital
b)      Hasrat Egoistis
c)      Hasrat Sosial
d)     Hasrat yang Abstrak

B.     Saran
Dengan mengetahui golongan-golongan hasrat dan juga pembagian hasrat serta ciri-cirinya maka ada baiknya kita dapat mencari dimana letak pribadi kita dulu yang terutama demi tercapainya keharmonisan sosial kita bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Sabri, M.Alisuf, Psikologi Umum dan Perkembangan, CV. Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1993.
Fauzi, H.Ahmad, Psikologi Umum, Pustaka Setia,2008,cetakan II.
Ahmadi, H.Abu, Psikologi Umum,Kineka Cipta.2009.
Kartono, Kartini, Psikologi Umum, Mandar Maju,cetakan II,1990.






[1] Drs.M.Alisuf Sabri,Psikologi Umum dan Perkembangan,CV.Pedoman Ilmu Jaya,Jakarta,1993,hlm.40.
[2] Drs.H.Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, Pustaka Setia,2008,cetakan II,hlm.140-141.
[3] Drs.H.Abu Ahmadi, Psikologi Umum,Kineka Cipta.2009.hlm.114.
[4] Ibid,hlm.113.
[5] Dr.Kartini Kartono, Psikologi Umum, Mandar Maju,cetakan II,1990.hlm.99.
[6] Drs.M.Alisuf Sabri.op,cit.hlm.40-41.
[7] Drs.H.Abu Ahmadi.op,cit.hlm.114-115.
[8] Drs.H.Ahmad Fauzi.op,cit.hlm.141-144.
[9] Drs.Abu Ahmadi.op,cit.hlm.115.
[10] Dr.Kartini Kartono.op,cit.hlm.99
[11] Drs.Abu Ahmadi.op,cit.hlm.116.
[12] Dr.Kartini Kartono.op,cit.hlm.100.
[13] Drs.Abu Ahmadi.op,cit.hlm.118.
[14] Dr.Kartini Kartono.op,cit.hlm.100.
[15] Drs.Abu Ahmadi.op,cit.hlm.120.
[16] Dr.Kartini Kartono.op,cit.hlm.100-101.
[17] Drs.Abu Ahmadi.op,cit.hlm.120.
[18] Dr.Kartini Kartono.op,cit.hlm.101-102.
[19] Drs.Abu Ahmadi.op,cit.hlm.121.
[20] Drs.Abu Ahmadi.op,cit.hlm.121.
[21] Dr.Kartini Kartono.op,cit.hlm.102-104. dan Drs.Abu Ahmadi.op,cit.hlm.122.
[22] Drs.Abu Ahmadi.op,cit.hlm.122.
[23] Dr.Kartini Kartono.op,cit.hlm.104.
[24] Drs.Abu Ahmadi.op,cit.hlm.123.
[25] Dr.Kartini Kartono.op,cit.hlm.104-108.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Tinggalkan Koment yaaaa...!!! _^-^_