BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Al-Qur'an seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab hidayah, petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil. Dalam Al-Qur'an sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan, Zhulumat (di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dll) kepada sebuah cahaya, Nur petunjuk ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia, dunia-akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah usaha-usaha manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk yang dijanjikan bakal mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Nah dalam upaya penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur'ani yang berdimensi keilahian dan kemanusiaan itulah penafsiran dihasilkan.
Maka dari diktum itu pulalah, konsep tentang manusia dan identitasnya dalam menjabarkan misi kekhalifahan dan ubudiyyah di muka bumi menjadi penentu yang determinan dalam proses mengkaji dan memahami teks suci yang diyakini akan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia.
2. RUMUSAN MASALAH
Dari keterangan diatas maka akan dibahas:
1. Apa pengertian Tafsir, Takwil dan Terjemah?
2. Bagaimana pembagian tafsir?
3. Apa metodologi yang digunakan dalam tafsir?
4. Apa macam-macam takwil dan macam-macam terjemah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. TAFSIR
1. Sejarah Tafsir Al-Qur'an
Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah SAW masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur'an
Al-Qur'an itu sendiri karena terkadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’y maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah , Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits.
Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha ibn Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka’ab dengan murid-murid Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi dan Zaid ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibn Mas’ud dengan murid-murid al-Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah ibn-Di’amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn Majah, Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi al-Matsur.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ray yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah.
2. Pengertian Tafsir
Tafsir dalam disiplin ilmu Al-Quran tidak sama dengan interpretasi teks lainnya; baik itu teks karya sastra maupun teks suatu kitab yang dianggap sebagai kitab suci agama tertentu. Ketika kita membahas tafsir Al-Quran, maka pengertiannya harus merujuk pada pengertian yang sesuai dengan sudut pandang (worldview) Islam. Dalam bahasa Arab, kata tafsir (التفسير) berarti (الإيضاح والتبيين) “menjelaskan”.([1]) Lafal dengan makna ini disebutkan di dalam Al-Quran,
وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik tafsirnya.” (QS Al-Furqan: 33)
Selain itu, kata tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru (الفسر) yang berarti (الإبانة والكشف) “menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.([2])
Tafsir atau At-Tafsir menurut bahasa mengandung arti antara lain:
a. Menjelaskan, menerangkan, yakni: ada sesuatu yang semula belum atau tidak jelas memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga terang dan jelas.
b. Keterangan sesuatu, yakni : perluasan dan pengembangan dari ungkapan-ungkapan yang masih sangat umum, sehingga menjadi lebih terperinci, mudah difahami serta dihayati.
c. Tafsiroh, yakni alat kedokteran yang mengungkap penyakit seseorang pasien, maka tafsir bisa dikatakan dapat makna yang tersimpan dari Al-Qur’ an.
Tafsir menurut istilah, para ulama memberikan rumusan-rumusan yang berbeda, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Menurut Syaikh Thahir al-Jazairy, dalam at-Taujih: “Tafsir pada hakekatnya ialah menerangkan lafazh yang sukar difahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksud baginya, baik dengan mengemukakan sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim itu, atau dengan mengemukakan uraian yang mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalalah”.
2. Menurut Syaikh Al-Jurjani dalam Al-Ta’riifat: “Pada asalnya, tafsir berarti membuka dan melahirkan. Dalam pengertian syara’ ialah menjelaskan makna ayat : dari segala persoalannya kisahnya, sababunnujulnya dengan menggunakan lafazh yang menunjukkan kepadanya secara terang”.
3. Menurut az-Zarkasyi adalah sebagai berikut: “Tafsir adalah ilmu yang mengakji tentang pemahaman kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw, menerangkan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum yang dikandungnya serta ilmu-ilmu yang ada di dalamnya”.
Dari beberapa ta’rif tersebut di atas dapat dilihat bahwa rumusan-rumusan yang dikemukakan oleh para ulama tersebut adalah berbeda dalam titik perhatiannyaa yakni menjelaskan, ada yang titik perhatiannya pada lafazh, ada yang pada ayat dan ada pula yang langsung kepada kitabullah.
Maka berdasarkan rumusan-rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa: “Tafsir adalah usaha yang bertujuan menjelaskan Al-Qur’an atau ayat-ayatnya atau lafazh-lafazhnya agar yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar-samar menjadi terang, yang sulit difahami menjadi mudah difahami, sehingga Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia benar-benar dapat difahami, dihayati dan diamalkan, demi tercapainya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.”
Unsur-unsur pokok untuk memahami pengertian tafsir adalah sebagai berikut:
1. Hakekatnya ialah menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur’an, yang sebagian besar masih dalam bentuk yang sangat global.
2. Tujuannya untuk memperjelas apa yang sulit difahami dari Al-Qur’an itu sendiri.
3. Sasarannya agar Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan hidayah dari Allah benar-benar berfungsi sebagaimana Al-Qur’an itu diturunkan.
4. Sarana pendukung pekerjaan menafsirkan Al-Qur’an itu meliputi berbagai ilmu yang berhubungan dengan itu.
5. Bahwa upaya menafsirkan Al-Qur’an bukaan untuk memastikan-demikianlah yang dikehendaki Tuhan- namun pencaharian makna itu hanyalah menurut kadar kemampuan manusia dengan keterbatasan ilmunya.([3])
3. Bentuk Tafsir Al-Qur'an
Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:
1. Tafsir bi al-ma’tsur
Tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabi’in. Dengan kata lain yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat Al Qur’an dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in.
Semua ayat-ayat al Qur`an telah dijelaskan oleh nabi Muhammad saw., sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam menafsirkan al Qur`an setelah al Qur`an itu sendiri, kepada para sahabat. Oleh karena itu, untuk menafsirkan al Qur`an maka metode yang tepat adalah mencari hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut setelah tidak didapatkan ayat al Qur`an yang lain yang menjelaskan ayat tersebut. Apabila memang tidak ada ayat dan atau hadis nabi Muhammad saw. yang dapat menafsirkan sebuah ayat al Qur`an maka yang digunakan adalah pendapat-pendapat para sahabat karena mereka lebih tahu tentang asbaabun nuzuul dan tingkat keimanan juga intelektualitasnya adalah yang tertinggi di kalangan pengikut Rasulullah saw.
Dalam pertumbuhannya, tafsir bil ma’tsur menempuh tiga periode, yaitu:
1. Periode I, yaitu masa Nabi, Sahabat, dan permulaan masa tabi’in ketika belum tertulis dan secara umum periwayatannya masih secara lisan (musyafahah).
Dalam pertumbuhannya, tafsir bil ma’tsur menempuh tiga periode, yaitu:
1. Periode I, yaitu masa Nabi, Sahabat, dan permulaan masa tabi’in ketika belum tertulis dan secara umum periwayatannya masih secara lisan (musyafahah).
2. Periode II, bermula dengan pengodifikasian hadits secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abd Al-Aziz (95-101). Tafsir bil Ma’tsur ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadits dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadits.
3. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab Tafsir bil Ma’tsur yang secara khusus dan berdiri sendiri.([4])
Tafsir bil ma’tsur inilah yang wajib diikuti, diambil dan dipegangi, karena tafsir inilah jalan ma’rifah yang sahih dan metode yang dikenal. Inilah tafsir yang tidak mungkin menyelewengkan dalam kitabullah.
Beberapa kitab tafsir bil ma`tsuur yang terkenal diantaranya tafsir Ibnu Abbas dengan judul Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibn Abbas, tafsir at Thabari dengan judul Jamii’ul Bayaan fii Tafsiiril Qur`an, tafsir Ibnu ‘Atiyyah dengan judul Muharrarul Wajiiz fi Tafsiiril Kitaabil ‘Aziz, dan tafsir Ibnu Katsir dengan judul Tafsiirul Qur`aanul ‘Azhiim.([5])
Setelah tafsir resmi menjadi disiplin ilmu yang otonom, maka ditulis dan terbitlah karya-karya tafsir yang secara khusus memuat tafsir bi al-Ma’tsur lengkap dengan jalur sanad sampai kepada nabi SAW, kepada para sahabat, tabi’in dan tabi’i al-tabi’in. diantara contohnya
a. Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. (al-Ma’idah ; 1)
Dijelaskan oleh firman Allah
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, (al-Ma’idah ; 3)
b. Tafsir al-Qur’an dengan as-Sunnah
Jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (al-Fatihah:7)
Disini Rosulullah menafsirkan al-Maghdhubi dan adh-Dholin adalah Yahudi dan Nashrani.
Di antara keistimewaan tafsir bil Ma’tsur ini seperti yang dicatat oleh Quraisy Syihab, yaitu sebagai berikut;
1. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an.
2. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
3. Mengikat muufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan.
Diantara keistimewaannya, Tafsir-tafsir bi al-ma’tsur juga mempunyai kelemahan antara lain;
1. Terjadinya pemalsuan dalam tafsir yang mana terjadi pada tahun-tahun ketika terjadi perpecahan dikalangan umat islam yang menumbulkan beberapa aliran seperti Syi’ah, Khawarij dan Murji’ah. Diantaranya karena fanatisme, politik, dan usaha-usaha umat islam. Penganut-penganut Syi’ah amat tertarik hatinya untuk mengumpulkan makna-makna al-Qur’an sesuai dengan keinginan mereka.
2. Masuknya unsur Israiliyyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur Yahudi dan Nashrani yang masuk ke dalam penafsiran al-Qur’an, persoalan Israiliyyat sebenarnya sudah ada sejak Nabi masih ada. Namun pada masa itu Israiliyyat belum menjadi persoalan yang parah, mengingat yang dilakukan para sahabat masih berada dalam batas-batas kewajaran. Israiliyyat menjadai persoalan serius ketika berada pada masa tabi’in. pada masa itu, Israiliyyat tidak saja telah bercampur antara yang sahih dan yang batil, tetapi juga banyak yang merusak akidah umat. Dalam sejarah, Israiliyyat semacam itu masuk dan tersebar melalui tafsir bi al-ma’tsur. Riwayat-riwayatnya yang shahih didalamnya dicampurkan dengan yang tidak shahih dan karena orang-orang Yahudi dan orang-orang Parsi yang Zindik telah banyak membuat hadits-hadits palsu yang kemudian diambil oleh ahli-ahli tafsir tanpa disaring.
3. Eksistensi sanad yang menjadi salah satu kualifikasi keakuratan sebuah riwayat, ternyata pada sebagian tafsir bi al-ma’tsur tidak ditemukan lagi.
4. Terjerumusnya sang mufassir kedalam uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur’an menjadi kabur.
5. Sering konteks turunnya ayat atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipaham dari uraian (nasikh mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun di tengah-tengah masyarakat yang hampa budaya.([6])
Tafsir bi al-ma’tsur dengan keindahan istinbath dan kemampuan mentarjih, adalah tafsir yang pertama untuk dihargai. Namun demikian kita tidak boleh membatasi diri pada kemampuan mentarjihkan. Untuk mentakwilkan ayat atau beberapa ayat, kita harus kembali kepada beberapa macam tafsir.
Pada masa kini menggunakan corak bi al-ma’tsur membutuhkan pengembangan, disamping seleksi yang cukup ketat. Pengembangan yang dimaksud adalah tidak sekedar mengover alih apa adanya produk penafsiran bi al-ma’tsur karya klasik, tetapi yang lebih penting lagi adalah menyeleksi mana yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan masa kini dan mana yang tidak. Perbedaan sosial kultural yang dihadapi para mufassir sekarang tentu saja menjadikan sebagian hasil penafsiran klasik tidak berhasil menjawab persoalan kekinian. Ini bertolak dari asumsi bahwa pemafsiran al-Qur’an pada dasarnya adalah usaha mufassir pada sekat tertentu untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dengan demikian, tafsir seharusnya bersifat dinamis seiring dengan dinamika perkembangan sosio-kultural masyarakat.
2. al-Tafsir bi al-Ra’yi
Cara penafsiran bil ma’qul atau lebih populer lagi bir ra`yi menambahkan fungsi ijtihad dalam proses penafsirannya, di samping menggunakan apa yang digunakan oleh tafsir bil ma`tsuur. Penjelasan-penjelasannya bersendikan kepada ijtihad dan akal dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip bahasa Arab dan adat-istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya.
Husayn al Dhahaby menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bir ra`yi adalah penafsiran al Qur`an atas dasar ijtihadnya yang berlandaskan pengetahuannya tentang penuturan bangsa Arab dan arah pembicaraan mereka serta pengetahuannya tentang lafal bahas Arab dan makna yang ditunjukkannya dengan menjadikan syair jahily sebagai acuan dan panduannya. Meskipun demikian, lanjut al Dhahaby, asbaabun nuzuul, naasikh wa mansuukh, dan alat bantu lainnya merupakan pengetahuan-pengetahuan yang tetap harus dikuasai dan digunakan dalam penafsiran ini.([7])
Ulama’ berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya metode tafsir bi Al - Ro’yi. Sebagian ulama’ melarang penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan metode ini, sebagian yang lain memperbolehkannya. Rincian dari perbedaan ini hanyalah sebatas pada lafadz bukan hakikatnya. Dan golongan pertama tidak sampai melewati batas-batas ketentuan penafsiran. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa tiap-tiap golongan telah melewati batas, dengan alasan bahwa meniadakan ma’na dalam lafadz yang manqul adalah suatu hal yang berlebihan dan membahas penafsiran bagi semua orang adalah suatu perbuatan yang tercela. Akan tetapi kalau kita kaji lebih dalam perbedaan-perbedaan mereka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semuanya sepakat tidak di perbolehkannya menafsiri Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pendapat pribadi.
Mengenai keabsahan tafsir bi al-ra’yi, para ulama terbagi ke dalam dua kelompok
1. kelompok yang melarangnya. Bahkan menjelang abad ke II H., “corak” penafsiran ini belum mendapat legitimasi yang luas dari para ulama yang menolaknya. Diantara argumentasi-argumentasinya;
a. Menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ra’yi berarti membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian hasil penafsirannya hanya bersifat pikiran semata. Padahal Allah berfirman;
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. al-Isra’ : 36)
b. Yang berhak menjelaskan Al-Qur’an adalah Nabi, berdasarkan firman Allah:
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (QS. Al Nahl: 44)
c. Rosulullah bersada:
“Siapa saja menafsirkan Al-Qur’an atas dasar pikirannya semata, atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya, maka persiapkanlah mengambil tempat di neraka”
d. Sudah merupakan tradisi di kalangan sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketuka berbicara tentag penafsiran Al-Qur’an
2. Kelompok yang mengizinkannya.diantara argumentasiya
a. Di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan Al-Qur’an. Misalnya firman Allah;
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? (QS:Muhammad:24)
b. Seandainya tafsir bi al-Ra’yi dilarang, mengapa ijtihad diperbolehkan, nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat Al-Qur’an
c. Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat.
Menurut Manna’ Khalil Qaththan menafsirkan al qur`an dengan akal dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Menurutnya, cara penafsiran seperti ini dilakukan oleh mayoritas ahli bid’ah dan madzhab batil dalam rangka melegitimasi golongannya dengan memelintir ayat-ayat al Qur`an agar sesuai dengan kehendak hawa nafsunya.
Corak Tafsir dengan ra’yi (pikiran) dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
Corak Tafsir dengan ra’yi (pikiran) dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Tafsir dengan pikiran yang tercela (madzum / mardud).
Ialah bila mufassir dalam memahami pengertian kalimat yang khas dan ministimbatkan hukum hanya dengan menggunakan pikirannya saja dan tidak sesuai dengan ruh syari’at. Yang banyak menggunakan penafsiran bentuk ini ialah tokoh-tokoh bid’ah yang menurut pikiran mereka saja. Umpamanya tafsir Jabba’i, Rummani, Qadhi Abdul Jabbar, Zamakh Syari, dan Abdul Rahman bin Kisan Ashmi.
2. Tafsir dengan menggunakan pikiran yang terpuji (mahmudah / maqbul)
a) Ialah bila tidak bertentangan dengan tafsir maktsuur
b) Ia berbentuk ijtihad muqayyad atau yang dikaitkan dengan satu kait berpikir mengenai kitab Allah menurut hidayah sunnah Rasul yang mulia.
Sedangkan menurut Imam Al-Dzahabi dalam menanggapi permasalahan ini beliau berkata: Tafsir bi Al-Ro’yi ada dua:
1. Dengan menggunakan kaidah bahasa arab, akan tetapi tetap mengikuti Al-Kitab dan sunnah serta tetap mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini diperbolehkan.
2. Tidak memakai kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah ilmu syari’at serta tidak mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini sangat dibenci dan tidak di terima oleh para ulama’, seperti yang di sampaikan oleh Ibnu Mas’ud: “akan ada suatu kaum yang mengajak untuk memahami Al-Qur’an, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Maka wajib bagi kalian untuk mendalami Al-Qur’an, dan menjauhi segala bentuk bid’ah”.
Kitab-kitab tafsir bir ra`yi diantaranya tafsir ar Razi yang berjudul Mafaatihul Ghaib, tafsir Ibnu Hayyan yang berjudul Al Bahrul Muhiit, dan tafsir az Zamakhsyari yang berjudul Al Kasysyaf ‘an Haqaa`iqit Tanziil wa ‘Uyuunil Aqaawiil fii Wujuuhit Tanwiil.([8])
3. al-Tafsir al-Isyari
Tafsir bil-isyarah atau tafsirul isyari: adalah takwil Al Qur’an berbeda dengan lahirnya lafal atau ayat, karena isyarat-isyarat yang sangat rahasia yang hanya diketahui oleh sebagian ulul ‘ilmi yang telah diberi cahaya oleh Allah swt dengan ilhamNya. Atau dengan kata lain, dalam tafsirul isyari seorang Mufassir akan melihat makna lain selain makna zhahir yang terkandung dalam Al Qur’an. Namun, makna lain itu tidak tampak oleh setiap orang, kecuali orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah SWT.
Hukum Tafsir bil-isyarah: Telah berselisih para ulama dalam menghukumi tafsir isyari, sebagian mereka ada yang memperbolehkan (dengan syarat), dan sebagian lainnya melarangnya.
Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Al Qur’an itu mengandung banyak ancaman dan janji, meliputi yang lahir dan bathin. Tidak pernah terkuras keajaibannya, dan tak terjangkau puncaknya. Barangsiapa yang memasukinya dengan hati-hati akan selamat. Namun barangsiapa yang memasukinya dengan ceroboh, akan jatuh dan tersesat. Ia memuat beberapa khabar dan perumpamaan, tentang halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, zhahir dan batin. Zhahirnya adalah bacaan, sedang bathinnya adalah takwil. Tanyakan ia pada ulama, jangan bertanya kepada orang bodoh.
Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat
Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina."
Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.([9])
B. TAKWIL
Ta’wil secara bahasa berasal dari kata ‘ail’ yang berarti ke asal, ada juga yang mengatakan bahwa ta’wil berasal dari kata ‘aul’ yang berarti memalingkan, memalingkan ayat dari makna yang dhahir kepada suatu makna yang dapat diterima olehnya. Ta’wil pada istilah mempunyai dua makna; pertama, takwil dengan pengertian suatu makna yang kepadanya mutakallim (pembicara) mengembalikan perkataanya, atau suatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan. Kalam ada dua macam, insya’ dan ikhbar.salah satu yang termasuk insya’ adalah amr (kata perintah). ([10])
Ta’wil al amr adalah Esensi perbuatan yang diperintahkan seperti hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA, ia berkata: adalah Rosulullah membaca didalam ruku’ dan sujudnya subhanallah wa bihamdihi Allahummaghfirli. Beliau mentakwilkan (menjalankan perintah) qur’an, yang dimaksud disini adalah Firman Allah SWT
“maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampunlah kepada-Nya, sesungguhnya Dia maha penerima tobat” (QS. An Nasr : 3)
Sedangkan ta’wilul ikhbar adalah esensi dari apa yang diberitakan itu sendiri yang benar-benar terjadi. Misalnya firman Allah:
“Dan sungguh telah mendatangkan kitab (Qur’an) kepada mereka yang kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan kami atas dasar pengetahuan kami, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (al a’raf 52)
Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa Dia telah menjelaskan kitab, dan mereka tidak menunggu-nuggu kecuali ta’wilnya yaitu datangnnya apa yang diberitakan Qur’an akan terjadi, seperti hari kiamat dan tanda-tandanya serta segala apa yang ada di akhirat berupa buku catatan amal, neraca amal, surga, neraka dan lain segalanya.
Menurut pandangan yang masyhur kata Ta’wil sama dengan tafsir yakni menjelaskan dan menerangkan, dengan pengertian kata Ta’wil bisa mempunyai arti;
1. Kembali atau mengembalikan, yakni mengembalikan makna pada proporsi yang sesungguhnya.
2. Memalingkan, yakni memalingkan suatu lafazh tertentu yang mempunyai sifat khusus, dari makna dzohir ke makna bathin karena ada keterkaitan satu diantara yang lainnya.
3. Mensiasati, yakni bahwa dalam lafazh-lafazh tertentu atau kalimat-kalimat yang mempunyai sifat khusus memerlukan siasat yang jitu untuk menemukan makna yang setepat-tepatnya.([11])
Ta’wil dalam arti secara istilah adalah sebagai berikut:
1. Menurut Al-Jurzani: Ta’wil ialah memalingkan lafazh dari maknanya yang dzohir kepada makna lain yang dipunyai lafazh itu, jika makna lain yang dilihat itu sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah.
2. Ta’wil ialah mengembailkan sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan apa yang dimaksudkannya.
3. Menurut ulama salaf ta’wil adalah menjelaskan makna suatu ungkapan, baik yang bersesuaian dengan makna lahirnya ataupun bertentangan.
4. Menurut ulama khalaf ta’wil ialah mengalihkan suatu laazh dari maknanya yang rajih kepada makna yang marjuh karena ada indikasi untuk itu.([12])
Sasaran ta’wil pada lazimya menyangkut ayat yang mutasyabihat atau ayat-ayat yang mempunyai sejumlah kemungkinan makna yang dikandungnya.
Dalam Al-Akhlak wal Wajibat, Al-Maghraby mengemukakan:
”Adapun ta’wil ialah bahwa ayat mempunyai sejumlah kemungkinan makna yang dikanndungnya. Maka ketika engkau sebutkan makna demi makna kepada pendengar, ia menjadi ragu-ragu tidak tahu mana yang harus dipilihnya. Karena itu ta’wil lebih banyak digunakan untuk ayat-ayat mutasyabihat”.([13])
Ayat-ayat mutasyabihat ialah ayat-ayat yang tidak terang maknanya. Menurut ulama mutakallimin adalah ayat-ayat yang di dalamnya disebutkan Dzat atau Sifat Allah SWT. Kebalikan ayat ini adalah ayat Muhakamat yakni ayat-ayat yang telah terang maknanya dan tegas pengertian yang dimaksudnya.
Ta’wil menurut golongan mutaakhirin adalah memalingkan makna lafadz yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah karena ada dalil menghendakinya. Takwil semacam ini banyak digunakan oleh kebanyakan ulama mutaakhirin, dengan tujuan untuk lebih memahasucikan Allah SWT keserupaaannya dengan makhluk seperti yang mereka sangka. Dugaan ini sungguh bathil karena dapat menajtuhkan mereka dalam kekhawatiran yang sama dengan apa yang mereka takuti, atau bahkan lebih dari itu. Misalnya aliran mu’tazilah yang menafsirkan ayat-ayat yang memberikan kesan bahwa Tuhan bersifat jasmani secar teoritis. Dengan kata lain, ayat-ayat alqur’an yang menggambarkan bahwa Tuhan bersifat jasmani diberi takwil oleh muktazilah dengan pengertian yang layak bagi kebesaran dan keagungan Allah. Seperti, kata ‘istawa’ dalam surat Thaha ayat 5 ditakwilkan dengan al istila wa al ghalabah (menguasai dan mengalahkan), kata aini ditakwilkan dalam surat Thaha ayat 39 ditakwilkan dengan ‘ilmi’ (pengetahuan). Kata yad dalam surat shad ayat 75 ditakwilkan dengan al quwwah atau al qudrah. Ayat-ayat alquran yang dijadikan sandaran dalam mendukung pendapat di atas adalah ayat 103 surat al-an’am ayat 23 surat al qiyamah. Hal semacam ini mengandung kontradiktif, seperti kata yad ditakwilkan dengan kekuasaan, karena memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu makna yang serupa dengan makna yang mereka sangka harus ditiadakan, mengingat makhlukpun mempunyai kekuasaan.
C. TERJEMAH
Terjemah menurut bahasa adalah salinan dari suatu bahasa ke bahasa lain atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain. Sedangkan yang dimaksud dengan terjemah al-qur’an adalah seperti yang dikemukakan oleh ash-shabuni; memindahkan al-qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa arab dan mencetak terjemah dalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa arab, sehingga ia dapat memahami kitab Allah.
Kata terjemah dapat dipergunakan pada dua arti
a. Terjemah Maknawiyyah atau Tafsiriyyah, yaitu menerangkan makna atau kalimat pembicaraaan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan klimatnya, melainkan oleh makna dan tujuan aslinya.
b. Terjemah Harfiyyah, yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari satu bahasa ke dalam lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
Terjemah harfiyyah dibagi menjadi dua:
a. Terjemah Harfiyyah bi l-misli, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata dari bahasa asli dengan sinonimnya (murodifnya) ke dalam bahasa baru dan terikat bahasa aslinya.
b. Terjemah harfiyyah bi dzuni al-mitsli, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata bahasa asli ke dalam beberapa bahasa lain dengan memperhaitkan urutan makna dan segi sastranya, menurut kemampuan bahasa baru serta kemampuan penerjemahnya.
Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu mengetahui bahwa terjemah harfiyyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak mungkin dicapai dengan baik. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain dalam hal tertib bagian kalimat-kalimatnya. Contoh, jumlah fi’liyyah dalam bahasa arab dimulai dengan fi’il kemudian fa’il, baik dalam kalimat tanya maupun yang lainnya, mudlaf didahulukan atas mudhof ilaihi, dan mausuf atau sifat, kecuali dengan idhofah tasybih. Yang mana hal itu tidak dimilki oleh bahasa lain.([14])
Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah:
1. Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa terjemahnya;
2. Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa tersebut;
3. Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama;
4. Hendaknya bentuk (sighat) terjemahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah tersebut.
D. Perbedaan Tafsir dengan Ta’wil dan Terjemah
Perbedaan tafsir, ta’wil disatu pihak dan terjemah di pihak lain adalah tafsir dan ta’wil berupaya menjelaskan makna setiap kata di dalam Al-Qur’an, sedangkan terjemah hanya mengalihkan bahasa Al-Qur’an Al-Qur’an yang dari bahasa arab ke bahasa non Arab.
Abu ubaidan dan sekelompok ulama berpendapat bahwa tafsir dan ta’wil adalah sama kata Al-Maturidy tafsir adalah menetapkan apa yang dikehendaki oleh ayat ( lapad ) dan dengan sungguh-sungguh menetapkan, demikianlah yang dikehendaki Allah, maka ada dalil yang membenarkan penetapan itu, dipandanglah tafsir yang shohih. Kalau tidak dipandanglah tafsir yang berdasarkan pikiran yang tidak dibenarkan, ta’wil ialah mentarjihkan salah satu makna yang mungkin diterima ayat ( lapad ), yakini salah satu mutamilad, dengan tidak menyakini bahwa demikianlah yang sungguh-sungguh dikehendaki Allah
Dikatakan tafsir yaitu apa yang terjadi jelas didalam kitabullah atau jelas didalam hadist sohih, artinya itu jelas tampak, ta’wil yaitu apa yang disimpulkan oleh ulama, dalam hal nin ada yang mengatakan bahwa tafsir itu istilah apa yang bersangkut dengan ayat sedangkan ta’wil yaitu, pa yang bersangkutan dengan ilmu pengetahuan
Adapun perbedaan tafsir dan ta’wil itu sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut;
TAFSIR
|
TA’WIL
|
1. Ar-Raghif Al-Ashfahani: lebih umum dan lebih banyak digunakan untuk lafazh dan kosakata dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah dan kitab-kitab lainnya.
|
1. Ar-Raghif Al-Ashfahani: lebih banyak dipergunakan makna dan kalimat dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah saja
|
2. Menerangkan makna lafazh yang tak menerima selain dari satu arti.
|
2. Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil.
|
3. Al-Maturidi: menetapkan apa yang dikehendaki ayat dan menetapkan seperti yang dikehendaki Allah.
|
3. Menyeleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa meyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah.
|
4. Abu Thalib Ats-Tsa’labi: menerangkan makna lafazh baik berupa hakikat atu majaz.
|
4. Abu Thalib Ats: menafsirkan bathin lafazh.
|
Kesimpulannya tafsir adalah pengertian lahiriyah dari ayat Al-Qur’an yang pengertiannya secara tegas mengatakan maksud yang dikehendaki Allah… Azza wa jala… Sedangkan ta’wil pengertian-pengertian tersirat yang diistimbatkan ( diproses ) dari ayat-ayat Al-Qur’an yang memerlukan perenungan dan perkiraan, serta merupakan sarana pembuka tabir.([15])
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari segi istilah, tafsir berbeda dengan terjemah atau takwil. Jika tafsir bermakna menjelaskan maksud dan tujuan ayat-ayat Al-Quran, baik dari sisi makna, kisah, hukum, maupun hikmah, sehingga mudah dipahami oleh umat. Sedangkan, terjemah adalah memindahkan makna sebuah lafaz dari bahasa tertentu ke dalam bahasa lainnya. Dengan kata lain, terjemah adalah memindahkan pembicaraan dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain dengan mengungkapkan makna dari bahasa itu.Begitu juga dengan takwil. Takwil adalah memindahkan lafaz dari makna yang lahir kepada makna lain yang juga dipunyai lafaz tersebut dan makna tersebut sesuai dengan Alquran dan sunah. Dengan demikian, takwil berarti mengembalikan sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan yang dimaksud dari ayat Alquran.
Dari segi tujuan, antara tafsir dan takwil tidak memiliki perbedaan, yakni sama-sama berusaha untuk menjelaskan makna ayat Alquran. Namun demikian, bila ditinjau dari segi kerjanya atau jalan yang ditempuh, keduanya memiliki perbedaan yang jelas.
Perbedaan itu dapat ditegaskan. Tafsir sifatnya lebih umum dari takwil. Tafsir menyangkut seluruh ayat, sedangkan takwil hanya berkenaan dengan ayat-ayat yang mutasyabihat (samar dan perlu penjelasan). Selain itu, tafsir menerangkan makna-makna ayat dengan pendekatan riwayat, sedangkan takwil dengan pendekatan dirayat. Tafsir menerangkan makna ayat yang terambil dari bentuk ibarat (tersurat), sedangkan takwil dari yang tersirat (isyarat-isyarat).
B. Saran
Sebagai kitab suci umat Islam dengan berbagai kemuliannya yang tidak bisa kita ungkiri lagi, dari segi kalimat, bacaan, dan arti yang bervariasi dengan ilmunya masing-masing, dari tafsir, ta’wil, maupun terjemah maka kita sebagai orang yang beriman harus selalu membaca Al-Qur’an sebagai ungkapan rasa syukur kita terhadap kitab suci umat Islam ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon, 2008, Ulumul Qur’an, Bandung; Pustaka Setia.
Syauqi, Rif’at. Hasan, Ali, 1988, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta, Bulan Bintang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Tinggalkan Koment yaaaa...!!! _^-^_