WELCOME

Minggu, 10 April 2011

AHLUSSUNNAH SALAF DAN KHLAF


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kehadiran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan bathin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kejidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.
Berbagai pemikiran yang tumbuh dalam masyarakat Muslim mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Keterbukaan yang demikian lebar untuk menerima berbagai pendapat menjadikan Ahlussunnah wal Jama'ah memiliki kemampuan untuk meredam berbagai konflik internal umat. Corak ini sangat tampak dalam wacana pemikiran hukum Islam yang paling realistik dan paling banyak menyentuh aspek relasi sosial.
Dalam diskursus sosial-budaya, Ahlussunnah wal Jama'ah banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek kebudayaan dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama'ah tidaklah memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam tradisi kaum Sunni terkesan hadirnya wajah kultur Syi'ah atau bahkan Hinduisme.
Sikap toleran Ahlussunnah wal Jama'ah yang demikian telah memberikan makna khusus dalam hubungannya dengan dimensi kemanusiaan secara lebih luas. Hal ini pula yang membuatnya menarik banyak kaum muslimin di berbagai wilayah dunia. Pluralistiknya pikiran dan sikap hidup masyarakat adalah keniscayaan dan ini akan mengantarkannya kepada visi kehidupan dunia yang rahmat di bawah prinsip ketuhanan.[1]
Pada masa Ahlu Sunnah salaf dan khalaf banyak terjadi perselisihan antara ulama-ulama pada saat itu, yang paling signifikan adalah masalah tentang Ilmu kalam, dimana ulama-ulama pada saat itu menggunakan kerangka dan pola pikir mereka yang berbeda satu dengan lainnya dalam memahami masalah ayat mutasyabihat dan lain sebagainya, sehingga menumbuhkan atau kata lain menimbulkan pemahaman yang berbeda pula.
Diantara tokoh-tokohnya ialah Imam Ahmad bin Hambal, Ibn Taimiyah, Az-Zuhri, Ja’far Ash-Shadiq yang mana mereka dikategorikan dari golongan Salaf dan Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi yang mana keduanya masuk pada golongan ulama Khalaf.
Ulama-ulama tersebut itu adalah ulama yang sangat berjasa untuk Islam pada masa mereka dan berlanjut sampai sekarang, masa yang penuh dengan kecamuk orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam menyampaikan pendapat mereka.
B. RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan pokok masalah yang dibicarakan tentang, “Aliran As-salaf & Al-Khalaf” maka rumusan masalah ini difokuskan pada :
  1. Apa yang dimaksud dengan As-salaf itu ?
  2. Dan siapa Al-Khalaf itu ?
  3. Apa hubungannya Al-Khalaf dengan As-salaf ?


C. TUJUAN
Tujuan merupakan arah terakhir dari suatu kegiatan, tanpa tujuan yang telah ditentukan sebelumnya makalah ini tidak akan sampai pada tujuan. Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah :
  1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
  2. Dengan mempelajari Aliran As-salaf & Al-Khalaf sehingga kita dapat mengetahui ulama-ulama pada masa Salaf dan Khalaf dan juga kita akan mengerti serta memahami Misi dari kedua aliran tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran As-Salaf
Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan dalam istilah syari’ah Islamiyah
as-salaf itu ialah orang-orang pertama yang memahami, mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi salallahu 'alaihi wa sallam, para tabi'in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari para shahabat) dan para tabi'it tabi'in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman / murid dari tabi'in). istilah yang lebih lengkap bagi mereka ini ialah as-salafus shalih. Selanjutnya pemahaman as-salafus shalih terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan orang Islam yang ikut pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada pemahaman ini dinamakan dakwah salafiyyah.
Suatu golongan dari ummat Islam yang mengambil filsafat sebagai patokan amalan agama dan mereka ini meninggalkan jalannya as-salaf dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits. Awal mula timbulnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak diketahui secara pasti kapan dan dimana munculnya karena sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah mulai dipopulerkan oleh para ulama salaf ketika semakin mewabahnya berbagai bid'ah dikalangan ummat Islam.
Yang jelas wabah bid'ah itu mulai berjangkit pada jamannya tabi'in. dan jaman tabi'in ini yang bersuasana demikian dimulai di jaman khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya juz 1 hal.84, Syarah Imam Nawawi bab Bayan Amal Isnad Minad Din dengan sanadnya yang shahih bahwa Muhammad bin Sirrin menyatakan, "Dulu para shahabat tidak pernah menanyakan tentang isnad (urut-urutan sumber riwayat) ketika membawakan hadits Nabi salallahu 'alaihi wa sallam. Maka ketika terjadi fitnah yakni bid'ah mereka menanyakan, 'sebutkan para periwayat yang menyampaikan kepadamu hadits tersebut.' Dengan cara demikian mereka dapat memeriksa masing-masing para periwayat tersebut, apakah mereka itu dari ahlus sunnah atau ahlul bid'ah. Bila dari ahlus sunnah diambil dan bila ahlul bid'ah ditolak."
Riwayat yang sama juga dibawakan oleh Khalid Al-Baghdadi dengan sanadnya dalam kitab beliau. Riwayat ini memberitahukan kepada kita bahwa pada jaman Muhammad bin Sirrin sudah ada istilah ahlus sunnah dan ahlul bid'ah. Muhammad bin Sirrin lahir pada tahun 33 H dan meniggal pada tahun 110 H. kemudian istilah ini juga muncul pada jaman Imam Ahmad bin Hambal (lahir 164 dan meninggal 241 H) khususnya ketika terjadi fitnah pemahaman sesat yang
menyatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, bertentangan dengan ahlus sunnah yang menyatakan bahwa Al-Qur'an itu Kalamullah.
Fitnah terjadi di jaman pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun Al-Abbasi. Imam Ahmad pada masa fitnah ini adalah termasuk tokoh yang paling berat mendapat sasaran permusuhan dan kekejaman para tokoh ahlul bid'ah melalui Khalifah tersebut. Mulai saat itulah istilah ahlus sunnah wal jama'ah menjadi sangat populer hingga kini, Jadi istilah ahlu sunnah timbul dan menjadi populer ketika mulai serunya pergulatan antara as-salaf dan al-khalaf, akibat adanya infiltrasi berbagai filsafat asing ke dalam masyarakat Islam. Ahlus Sunnah wal Jama'ah kemudian menjadi simbol sikap istiqamahnya (tegarnya) para ulama ahlul hadits dalam berpegang dengan as-salafiyah ketika para tokoh ahlul bid'ah meninggalkannya dan ketika berbagai pemahaman dan amalan bid'ah mendominasi masyarakat Islam.
Aliran Salaf muncul sekitar abad ke-IV Hijriyah, dimana para pengikutnya selalu mempertalikan diri dengan pendapat Imam Ahmad ibn Hambal, sehingga aliran salaf ini sering disebut sebagai golongan “Hanabilah“.
Salafiyah adalah salah satu penamaan lain dari Ahlussunnah Wal Jamaah yang menunjukkan ciri dan kriteria mereka. Salafiyah adalah pensifatan yang diambil dari kata Salaf yang berarti mengikuti jejak, manhaj dan jalan Salaf. Dikenal juga dengan nama Salafiyyun. Yaitu bentuk jamak dari kata Salafy yang berarti orang yang mengikuti Salaf. Dan juga kadang kita dengar penyebutan para ulama Salaf dengan nama As-Salaf Ash-Sholeh (pendahulu yang sholeh).
Kata Salaf ini mempunyai dua definisi ; dari sisi bahasa dan dari sisi istilah. Definisi Salaf secara bahasa Berkata Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab : Dan As-Salaf juga adalah orang-orang yang mendahului kamu dari ayah-ayahmu dan kerabatmu yang mereka itu di atas kamu dari sisi umur dan keutamaan karena itulah generasi pertama dikalangan tabiin mereka dinamakan As-Salaf Ash-Sholeh.  Berkata Al-Manawi dalam At-Taarif jilid 2 hal.412 : As-Salaf bermakna At-Taqoddum (yang terdahulu). Jamak dari salaf adalah aslaf.
Pada abad ke- VII Hijriyah, aliran salaf mendapatkan kekuatan baru atas masuknya Ibnu Taimiyah (Taqiyuddin Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taimiyah) lakhir di Harran (Iraq) tahun 661 H. dan wafat sekitar tahun 728 H. di Damsyik (Syiria). Faham salaf berkembang dengan pesat pada abad ke XII H. setelah masuknya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang mendapat dukungan penuh dari raja Saudi Arabia ketika itu, yakni Muhammad ibn Sa’ud, yang akhirnya aliran tersebut terkenal dengan nama “aliran Wahabiyah”.  Sesungguhnya aliran Wahabiyah adalah merupakan kelanjutan dari aliran Salaf yang telah dibangun oleh Ibn Taimiyah beserta pengikut-pengikutnya yang sangat berpegang teguh pada pendapat Imam Ahmad ibn Hambal, baik dalam lapangan fiqih, maupun dalam lapangan teologi. Mereka juga menamakan diri  sebagai “muhjis sunnah“ (pembangun atau penghidup sunnah). Sistem pemikiran yang digunakan adalah tidak percaya kepada metode logika rasional yang dianggap asing bagi Islam, karena metode ini tidak pernah terdapat pada masa sahabat maupun pada masa tabi’in. Jadi jalan untuk mengetahui akidah dengan dalil-dalil pembuktiannya, haruslah dikembalikan  kepada sumber murninya, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah, tanpa embel-embel interpretasi apapun dengan memegangi arti  lakhir atau dengan tafsiran indrawi (sensible interpretation) secara leterlek.
Adapun aliran Wahabiyah dalam mendukung penyiaran faham ini adalah dengan jalan kekerasan dan memandang orang yang tidak mengikuti ajaran-ajarannya dianggap sebagai orang “bid’ah” yang harus diperangi sesuai dengan prinsip “amar ma’ruf nahi munkar”.
Dijelaskan di bawah ini beberapa ulama salaf dengan beberapa pemikirannya, terutama yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kalam;
I. IMAM AHMAD BIN HAMBAL
1. Sejarah Singkat Imam Ahmad bin Hambal
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy Syaibani. Beliau lahir di kota Baghdad pada bulan rabi’ul Awwal tahun 164 H (780 M), pada masa Khalifah Muhammad al Mahdi dari Bani abbasiyyah ke III. Nasab beliau yaitu Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hajyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzahal Tsa’labah bin akabah bin Sha’ab bin Ali bin bakar bin Muhammad bin Wail bin Qasith bin Afshy bin Damy bin Jadlah bin Asad bin Rabi’ah bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Jadi beliau serumpun dengan Nabi karena yang menurunkan Nabi adalah Muzhar bin Nizar.Menurut sejarah beliau lebih dikenal dengan Ibnu Hanbal (nisbah bagi kakeknya). Dan setelah mempunyai beberapa orang putra yang diantaranya bernama Abdullah, beliau lebih sering dipanggil Abu Abdullah. Akan tetapi, berkenaan dengan madzabnya, maka kaum muslimin lebih menyebutnya sebagai madzab Hanbali dan sama sekali tidak menisbahkannya dengan kunyah tersebut.[2]
Sejak kecil, Imam Ahmad kendati dalam keadaan yatim dan miskin, namun berkat bimbingan ibunya yang shalihah beliau mampu menjadi manusia yang teramat cinta pada ilmu, kebaikan dan kebenaran. Dalam suasana serba kekurangan, tekad beliau dalam menuntut ilmu tidak pernah berkurang. Bahkan sekalipun beliau sudah menjadi imam, pekerjaan menuntut ilmu dan mendatangi guru-guru yang lebih alim tidak pernah berhenti. Melihat hal tersebut, ada orang bertanya, Sampai kapan engkau berhenti dari mencari ilmu, padahal engkau sekarang sudah mencapai kedudukan yang tinggi dan telah pula menjadi imam bagi kaum muslimin ? Maka beliau menjawab, Beserta tinta sampai liang lahat.
Beliau menuntut ilmu dari banyak guru yang terkenal dan ahli di bidangnya. Misalnya dari kalangan ahli hadits adalah Yahya bin Sa’id al Qathan, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, sufyan bin Uyainah dan Abu Dawud ath Thayalisi. Dari kalangan ahli fiqh adalah Waki’ bin Jarah, Muhammad bin Idris asy Syafi’i dan Abu Yusuf (sahabat Abu Hanifah ) dll. dalam ilmu hadits, beliau mampu menghafal sejuta hadits bersama sanad dan hal ikhwal perawinya.
Meskipun Imam Ahmad seorang yang kekurangan, namun beliau sangat memelihara kehormatan dirinya. Bahkan dalam keadaan tersebut, beliau senantiasa berusaha menolong dan tangannya selalu di atas. Beliau tidak pernah gusar hatinya untuk mendermakan sesuatu yang dimiliki satu-satunya pada hari itu. Disamping itu, beliau terkenal sebagai seorang yang zuhud dn wara”. Bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan serta menyibukkan diri dengan dzikir dan membaca Al Qur’an atau menghabiskn seluruh usianya untuk membersihkan agama dan mengikisnya dari kotoran-kotoran bid’ah dan pikiran-pikiran yang sesat.
Salah satu karya besar beliau adalah Al Musnad yang memuat empat puluh ribu hadits. Disamping beliau mengatakannya sebagai kumpulan hadits-hadits shahih dan layak dijadikan hujjah, karya tersebut juga mendapat pengakuan yang hebat dari para ahli hadits. Selain al Musnad karya beliau yang lain adalah : Tafsir al Qur’an, An Nasikh wa al Mansukh, Al Muqaddam wa Al Muakhar fi al Qur’an, Jawabat al Qur’an, At Tarih, Al Manasik Al Kabir, Al Manasik Ash Shaghir, Tha’atu Rasul, Al ‘Ilal, Al Wara’ dan Ash Shalah.[3]
Ujian dan tantangan yang dihadapi Imam Ahmad adalah hempasan badai filsafat atau paham-paham Mu”tazilah yang sudah merasuk di kalangan penguasa, tepatnya di masa al Makmun dengan idenya atas kemakhlukan al Qur’an. Sekalipun Imam Ahmad sadar akan bahaya yang segera menimpanya, namun beliau tetap gigih mempertahankan pendirian dan mematahkan hujjah kaum Mu’tazilah serta mengingatkan akan bahaya filsafat terhadap kemurnian agama. Beliau berkata tegas pada sultan bahwa al Qur’an bukanlah makhluk, sehingga beliau diseret ke penjara. Beliau berada di penjara selama tiga periode kekhlifahan yaitu al Makmun, al Mu’tashim dan terakhir al Watsiq. Setelah al Watsiq tiada, diganti oleh al Mutawakkil yang arif dan bijaksana dan Imam Ahmad pun dibebaskan.
Imam Ahmad  lama mendekam dalam penjara dan dikucilkan dari   masyarakat, namun berkat keteguhan dan kesabarannya selain mendapat penghargaan dari sultan juga memperoleh keharuman atas namanya. Ajarannya makin banyak diikuti orang dan madzabnya tersebar di seputar Irak dan Syam. Tidak lama kemudian beliau meninggal karena rasa sakit dan luka yang dibawanya dari penjara semakin parah dan memburuk. Beliau wafat pada 12 Rabi’ul Awwal 241 H (855). Pada hari itu tidak kurang dari 130.000 Muslimin yang hendak menshalatkannya dan 10.000 orang Yahudi dan Nashrani yang masuk Islam.
2. Pemikiran Teologi Ahmad ibn Hambal
a. Tentang Ayat-ayat Mutsyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, Ibn Hambal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan ayat-ayat yang Mutasyabihat. Hal ini terbukti dengan penafsiran ayat berikut:
الرحمن على العرش استوى (طه)
Artinya: “(yaitu) Tuhan yang maha pemurah, yang bersemayam di atas Arsy”. (Q.S. Thoha: 5)
Dalam hal ini Ibn Hambal menjawab:
إ ستوى على العرش كيف شاء وكما شاء بلا حد ولاصفة يبلغها واصف
Artinya: “Istiwa di atas Arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.
b. Tentang Status Al-Qur’an
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hambal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentang status Al-Qur’an, apakah diciptakan yang karena hadis ataukah tidak diciptakan yang karenanya qadim? Faham yang dianut pemerintah pada saat itu adalah Mu’tazillah yakni mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah tidak bersifat qadim, tetapi baru diciptakan.
Ibnu Hambal tidak sependapat dengan pernyataan seperti itu oelh karena itu, ia kemudian di uji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangan status Al-Qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak;
Ishaq               : Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ibn Hambal     : Sabda Tuhan
Ishaq               : Apakah ia diciptakan?
Ibn Hambal     : Sabda Tuhan. Saya tidak mengatakan lebih dari itu.
Ishaq               : Apa arti ayat : Maha Mendengar (sam’i) dan Maha melihat (Basir) ?         (Ishaq ingin menguji Ibn Ahmad tentang faham anthropomorphisme).
Ibn Hambal     : Tuhan menyifatkan dirinya (dengan kata-kata itu)
Ishaq               : Apa artinya?
Ibn Hambal     : Tidak tahu. Tuhan Adalah sebagimana Ia sifatkan pada dirinya.
            Ibn hambal bersdasarkan dialog di atas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirannya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya.[4]

II. IBN TAIMIYAH
1. Sejarah Singkat Ibn Taimiyah
Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Syihabuddin Abdul Halim bin Abdul  Salam bin Abdullah bin Al-Hadhar bin Muhammad bin al-Hadhar bin Ali bin Abdullah ibnu Taimiyah al-Harrani, dilahirkan pada hari senin 10 Rabiul Awwal 661 H/1263 M di Harran. Tidak lama setelah ia dilahirkan, pada tahun 667 H ia dibawa orang tuanya pindah ke Damaskus.[5]
Di Damaskus ia mulai memasuki dunia pendidikan agama hingga berumur 17 tahun, atas berkat kecerdasannya ia telah menguasai ilmu-ilmu keislaman, seperti tafsir, hadis, fiqh, tata bahasa, dan sebagainya. Setelah itu ia mulai mengumpulkan berbagai tulisan dan kitab dan ia mulai menulis.
Setelah ayahnya meninggal dunia pada tahun 671 H ia menggantikannya mengajar fiqh Mazhab Hambali dan segera terkenal sebagai tokoh ulama Hambali, padahal umurnya baru sekitar 21 tahun.
Pusat Mazhab Hambali yang semula di Baghdad karena Ahmad bin Hambal hidup di kota termasyhur ini, namun setelah Ibnu Taimiyah bangkit dan terkenal pusat itu bergeser ke Damaskus.
Pemikiran-pemikiran dan fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah demikian menggegerkan umat Islam yang sedang beku, hingga tidak jarang terjadi polemik antara dia dengan masyarakat atau antara dia dengan pemerintah, karenanya juga dia sering keluar masuk penjara karena fitnah dari orang-orang yang dengki kepadanya. Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibnu Taimiyah sebagai klenik antropomorpisme.
Ia menganjurkan dan mengajarkan agar kaum muslimin kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ia menegaskan bahwa keimanan dan amal ibadah di luar dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah adalah bid’ah.
Tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah banyak sekali hampir mencapai 500 buah, sedang yang berkenaan dengan tasawuf, antara lain: Tauhid al-Uluhiyah, al-Sufiyah wa al-Fuqara, al-Furqan Baina Aulia al-Rahman wa Aulia al-Syaithan, dan banyak lagi yang lainnya.
Ia meninggal dunia di dalam penjara Damakus pada hari Senin tanggal 26 Desember 1328 M atau 20 Zulka’dah 808 H.[6]


2. Pemikiran Teologi Ibn Taimiyah
Pikiran-pikiran Ibn Taimiyah, seperti yang dikatakan oleh Ibrahim madkur adalah sebagai berikut;
a. Sangat berpegang teguh pada nas (teks Al Qur’an dan Al Hadist).
b. Tidak memberikan ruang gerak yang bebas pada akal.
c. Berpendapat bahwa Al Qur’an mengandung semua ilmu agama.
d. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in , dan tabi’i tabi’in).
e. Allah tidak memiliki sifat yang bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkannya.
Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hambali dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah itu qadim, kalamnya pasti qadim pula.
Pandangan Ibn Taimiyah tentang sifat-sifat Allah.
a. Percaya sepenuh hati tentang sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau Rasul-Nya mensifati.
b. Percaya sepenuh hati pada nama-nama-Nya yang Allah atau Rasul-Nya sebutkan.
c. Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah.[7]
Berdasarkan argumentasi di atas Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menurutnya, ayat atau hadis yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan seadanya, dengan tidak menyerupakannya dengan makhluk.
Ibn Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar manusia, yaitu :
a. Allah pencipta segala sesuatu.
b. Hamba pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna.
c. Allah meridhoi perbuatan baik dan tidak meridhai perbuatan buruk.[8]
FATWA PERTAMA IBNU TAIMIYAH YANG BERTENTANGAN DENGAN FATWA AHLUSSSUNNAH WAL JAMAAH:
Allah SWT duduk di atas Arasy sebagaimana Ibnu Taimiyah duduk. Ibnu Taimiyah menfatwakan bahwa Allah SWT duduk bersila di atas Arasy serupa duduk bersilanya Ibnu Taimiyah sendiri. Faham ini beberapa kali diulangnya di tas mimbar Umaiyah di Damsyik, Syria dan di Mesir. [9]
Ia mengawalkan dalil ayat Quran yang diartikannya semuanya saja, dan sebagai yang tersurat saja tanpa memperhatikan yang tersirat dari ayat-ayat itu. Jadi, Ibnu Taimiyah boleh digolongkan kepada kaum Zahirriyah yaitu “kaum Zahir” yang mengartikan Quran dan Hadis secara zahirnya saja. Misalnya firman Allah SWT: “Ar Rahman bersila di tas Arasy.” (Surah Taha: 5) Dan di jelaskan lagi firman-Allah : "Kemudian Ia duduk bersila di atas Arasy,” (Surah Al A’raf : 54)
Dan ayat-ayat Quran serupa dengannya, yang tersebut dalam 7 buah surah dalam Quran yaitu pada surah: Yunus:3 Ar Raad:2 Al Furqan: 59 As Sajadah: 4 Al Hadid:4 Ibnu Taimiyah mengartikan maksud “istawa” yang ada dalam Quran dengan maksud “duduk bersila serupa duduknya.” Fatwa dan i’tiqad Ibnu Taimiyah yang semacam ini ditolak oleh Ahlussunnah wal Jamaah, bukan saja ditolak dengan lisan dan tulisan tetapi juga sampai dibawa ke awal pengadilan dan akhirnya dihukum sampai mati dalam penjara. Kaum Ahlussunnah wal Jamaah, baik kaum Salaf dan Khalaf, tidak mentafsirkan maksud “istawa” dalam ayat-ayat itu dengan “duduk bersila serupa duduknya manusia.
Ada 2 aliran dalam Ahlussunnah wal Jamaah dalam menafsirkan perkataan “istawa”yaitu: Aliran Salaf atau ulama-ulama Islam yang hidup dalam 300 tahun sesudah tahun Hijrah. Aliran Khalaf yaitu ulama Islam yang hidup dari awal 300 tahun sesudah Hijrah samapai sekarang. Ulama salaf menafsirkan maksud hakiki perkataan “istawa” itu kepada Allah. Memang dalam bahasa Arab, istawa artinya duduk tetapi ayat-ayat sifat “istawa” lebih baik dan lebih aman bagi kita tidak diartikan, hanya diserahkan artinya kepada Allah SWT sambil kita i’tiqadkan bahwa Allah SWT tidak duduk seperti makhluk. Ulama-ulama khalaf mentaqwilkan perkataan “istawa” itu dengan “istaula” yakni menguasai atau memerintah. Namun, kedua aliran ini menentang cara-cara Ibnu Taimiyah yang menyerupakan duduknya Allah SWT dengan cara duduknya sendiri.
Karena itu Ibnu Taimiyah bukan pengikut ulama-ulama Salaf atau Khalaf. Kalau diteliti secara mendalam, ulama Salaf dan Khalaf sama-sama mentaqwilkan ayat-ayat Mutasyabbih cuma caranya berbeda. Ulama-ulama Salaf mengakui memang arti “istawa” itu adalah duduk cuma duduknya Allah SWT tidak sama dengan duduknya makhluk. Ulama Khalaf juga begitu, cuma mereka mengakui bahwa arti “istawa’ adalah duduk tetapi ia lebih bersifat simbolik kepada menguasai.
Sepanjang sejarah, Imam Malik bin Anas r.a pernah ditanya tentang maksud ayat Taha ayat 5, maka beliau menjawab: ” Perkataan Istawa sudah diketahui setiap orang artinya, tetapi caranya tidak diketahui, bertanya-tanya dalam soal ini adalah bid’ah.” Demikian jawaban seorang ulama salaf yang juga pengasas Mazhab Maliki Tersebut, juga dalam kitab Tafsir yang muktabar Dalam tafsir Jalalain jilid 3, halaman 82 tertulis: “yang dimaksud ialah menguasai dan memerintah” Dalam tafsir Farid Wajdi jilid 3, halaman 412: Istawa artinya memerintah atau menguasai” 3. Dalam tafsir Ruhul Bayan, jilid 5 halaman 363 tertulis: “Yang dimaksud istawa ialah menguasai.”
Ulama Khalaf menganggap bahwa mentaqwilkan Istawa dengan Istaula adalah lebih aman buat i’tiqad karena tidak akan ada sedikit juga lagi bertentengan dengan ayat dalam Surah As-Syura ayat 11 yang bermaksud: Tiada menyerupai Dia sesuatu juga. Kalau dikatakan Allah SWT bersila seperti makhluk, maka sudah bertentangan dengan ayat ini. pengartian macam ini bagi perkataan istawa terpakai dalam bahasa Arab.
Maksud istawa dalam ayat ini berlabuh, bukan bersila karena perahu tidak dapat bersila. Dan lagi firman Allah SWT: “Kemudian Allah SWT istawa (membuat) langit, lalu dibuatnya 7 langit.” (Al Baqarah:29)
29. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Kalau diartikan duduk bersila dalam ayat ini sebagai faham Ibnu Taimiyah, maka terjadilah kepincangan yaitu Allah SWT duduk bersila di atas langit yang sedang dijadikan-Nya. Subhanallah! Dan lagi contoh lain: istawa (tegak) di tas batangnya.” (Al Fath:29) Perkataan istawa dalam ayat ini ialah tegak bukan duduk bersila.
Nampaklah bahwa dalam ayat suci banyak perkataan istawa yang tidak bermaksud duduk bersila. Maka heranlah kita kepada Ibnu Taimiyah yang memaksa dirinya untuk menafsirkan istawa dalam surah Taha: 5 dan lain-lain itu dengan duduk bersila serupa duduk bersilanya dia yang menyebabkan dia termasuk dalam golongan Musyabbihat yaitu orang yang menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Jadi dapat dibuat kesimpulan bahwa faham Ibnu Taimiyah itu adalah faham yang sesat dan menyesatkan, karena bertentangan dengan sifat Allah SWT yaitu: “Makhalafatuhu ta’ala lil hawaditsi” (berlainan dengan perkara yg baru/makhluk).[10]
B.  Aliran Al-Khalaf
AHLUSSUNAH KHALAF (AL-ASY’ARY DAN AL-MATURIDI)
Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf.
Ahlusunnah (sunni) ada dua pengertian:
1. Secara umum, Sunni adalah lawan kelompok syiah
2. Secara khusus, Sunni adalah mazhab yang berada dalam barisan asy’ariyah dan merupakan lawan mutazilah. Dua aliran yang menentang ajaran-ajaran mutazilah. Harun Nasution dengan meminjam keterangan Tasi Kurbazadah, menjelaskan bahwa aliran ahlu sunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Hasan Al-asy’ari sekitar tahun 300 H.[11]
I. AL-ASY’ARI
1. Latar Belakang Kemunculan Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-asy’ari. Ia lahir di Bashrah pada tahun 260H/875M. Ketika berusia 40 tahun, ia hijrah ke kota Bagdad dan wafat di sana pada tahun 324H/935M.
Ayah al-asy’ari adalah seorang yang berfaham ahlusunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-asy’ari masih kecil. Sebelum wafat ia berwasiat kepada sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As- saji agar mendidik Al-asy’ari. Berkat didikan ayah tirinya, Al-asy’ari kemudian menjadi tokoh mutazilah. [12]
Menurut Ibnu asakir, Al-asy’ari meninggalkan faham mutazilah karena ia telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebanyak tiga kali yaitu pada malam ke-10, 20 dan 30 bulan Ramadhan. Dalam mimpinya Rasulullah mengingatkan agar meninggalkan faham mutazilah dan beralih kepada faham yang telah diriwayatkan dari beliau.
2. Doktrin-doktrin Teologi Al-asy’ari
Corak pemikiran yang sintesis ini menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab (w 854 M).
Pemikiran-pemikiran Al-asy’ari:
a. Tuhan dan sifat-sifatnya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok mujasimah (antropomorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut harti harfiyahnya. Kelompok mutazilah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah esensi-esensinya. Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah, sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. [13]
Mengahdapi dua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya ia berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
Pendapat kaum Asy’ariyah berlawanan dengan paham Mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut al-Asy’ari, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatannya. Ia juga mengatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya di samping mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya. Sementara itu, Al-Baghdadi melihat adanya konsesus di kalangan kaum Asy’ariyah bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan, dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat-sifat ini, kata Al-Ghazali, tidaklah sama dengan esensi Tuhan, malahan lain dari esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri.
Asyáriyah sebagai aliran kalam tradisional yang memberikan daya yang kecil kepada akal juga menolak faham Tuhan yang mempunyai sifat-sifat jasmani bila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat manusia. Namun, ayat-ayat Al-Qurán kendatipun menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani, tidak boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana makna harfinya.
b. Kebebasan dalam berkehendak (free will)
Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni jabariah dan fatalistik dan penganut faham pradterminisme semata-mata dan mutazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu Aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah daripada faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari memakai teori Al-kasb (acquisition, perolehan), segala sesuatu terjadi dengan perentaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan dari muktasib (yang memperoleh kasb) untuk melakukan perbuatan, dimana manusia kehilangan keaktifan, yang mana manusia hanya bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Untuk membela keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-qur’an sebagai berikut:
والله خلقكم وما تعملون (الصافا ت)
Artinya : “Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat” (Q.S. Ash-shaffat : 96)
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya, dengan demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang mutazilah mengakui pentingnya akan dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal.
 d. Qadimnya Al-Qur'an
Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur'an bagi Al-asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat:
http://alquran.babinrohis.esdm.go.id/images/16/16_40.png

Artinya:
“ Jika kami menghendaki sesuatu, kami bersabda, “ terjadilah“ maka ia pun terjadi”.
e. Melihat Allah
Al-asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat dengan mutazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akherat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.
f. Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Al-asy’ari tidak sependapat dengan mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlaq.
g. Kedudukan orang berdosa
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari sebagai wakil ahli As-Sunnah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar.
Menurut aliran ini para pelaku dosa besar tidak kafir melainkan tetap mukmin akan tetapi juka dosa besar itu dilakukan dengan anggapan bahwa hal itu dibolehkan dan tidak meyakini keharamannya, maka ia telah di pandang kafir. Adapun balasan bagi mereka di akhirat kelak bergantung pada kebijakan tuhan yang maha berkehendak mutlak (bisa masuk surga dan bisa masuk neraka).
Menurut Al-asy’ari mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur. [14]

II. AL-MATURIDI
1. Latar Belakang Kemunculan Al-Maturidi
Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturid, di wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. gurunya dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M.[15]
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’I, Al-Jadl, Ushul fi Ushul Ad-Din, Maqalat fi Al-Ahkam Radd Awa’il Al-Abdillah li Al-Ka’bi, dll. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi, yaitu Risalah fi Al-aqaid dan syarh Fiqh Al-akbar.

2. Doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi
a. Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya. [16]
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu;
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu dengan akal, Al maturidi sependapat dengan Mu’tazillah. Hanya saja bila Mu’tazillah mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada pengetahuan akal, Al maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu saja. Dalam persoalan ini Maturidi berbeda pendapat dengan Asy’ari yang mengatakan bahwa baik atau buruk itu tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri.
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.
b. Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.
Mengenai perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariyah. Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian posisinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.[17]
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.
c. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Sekalipun golongan ini tidak se ekstrem Asy’ariyah, yang memiliki paham yang dekat dengan Asy’ariyah. Golongan maturidiyyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, namun kemutlakannya tidak semutlak paham yang dianut oleh Asy’ariyah kemudian kelompok Maturidiyyah ini terbagi menjadi Maturidiyyah Bukhara dan Maturidiyyah Samarkand Maturidiyyah Bukhara berpendapat bahwa:
Tuhan tidak mungkin melanggar janji-janji-Nya memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat jahat. Pendapat al-Bazdawi ini menunjukkan bahwa kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya sebagaimana pendapat Asy’ariyah sebab masih terkandung adanya kewajiban Tuhan, yaitu kewajiban menepati janji.
Kalau Maturidiyyah Bukhara lebih dekat kepada pemikiran Asy’ariyah. Maturidiyyah Samarkan lebih dekat kepada pemikiran Mu’tazilah sekalipun tidak seekstrim Mu’tazilah. Bagi golongan ini, Tuhan memang memiliki kekuasaan mutlak, namun kekuasaan-Nya dibatas oleh batasan yang diciptakan-Nya sendiri. Batasan-batasan tersebut, menurut Prof. Dr. Harun Nasution adalah:
a. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang, menurut pendapat mereka, ada pada manusia.
b. Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergenukan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya utnuk berbuat baik atau berbuat jahat.
c. Keadaan hukuman-hukuman tuhan, sebagai kata al-Bazdawi, tak boleh tidak mesti terjadi.
Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya sendiri.
d. Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan pemikiran antara Al-Maturidi dan Al-Asy’ari, seperti dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’, bashar, dan sebagainya. Kaum Maturidiah Bukhara, yang juga mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.
Sementara itu, Maturidiyah Bukhara, yang juga mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal mereka selesaikan dengan mengatakan sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri.
Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mu’tazillah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
e. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23. namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.
f. Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist).
Menurut Al-Maturidi, Mu’tazillah memandang Al-Qur’an sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandangnya dari segi makna abstrak. Pendapat ini diterima Al-Maturidi, hanya saja Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadis sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Qur’an.
g. Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri.
Mengenai perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariya. Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian posisinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.[18]
h. Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang dibebani kepada manusia. Oleh karena itu, menurut Al-Maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul manusia telah membebankan akalnya kepada sesuatu yang di luar kemampuan akalnya.
Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
i. Pelaku dosa besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat.
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan di dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat menurut apa yang dilakukannya di dalam dunia. Segala keputusan diserahkan hanya kepada Allah SWT.
Aliran ini berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. Hal ini karena tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di neraka merupakan balasan bagi orang kafir.[19],[20]



BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan
dalam istilah syari’ah Islamiyah as-salaf itu ialah orang-orang pertama yang
memahami, mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi salallahu 'alaihi wa sallam, para tabi'in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari para shahabat) dan para tabi'it tabi'in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman / murid dari tabi'in). istilah yang lebih lengkap bagi mereka ini ialah as-salafus shalih.
Selanjutnya pemahaman as-salafus shalih terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan orang Islam yang ikut pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada pemahaman ini dinamakan dakwah salafiyyah.
Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf.
Ahlusunnah (sunni) ada dua pengertian:
1. Secara umum, Sunni adalah lawan kelompok syiah
2. Secara khusus, Sunni adalah mazhab yang berada dalam barisan asy’ariyah dan merupakan lawan mutazilah. Dua aliran yang menentang ajaran-ajaran mutazilah. Harun Nasution dengan meminjam keterangan Tasi Kurbazadah, menjelaskan bahwa aliran ahlu sunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Hasan Al-asy’ari sekitar tahun 300 H.
Diantara ulama salaf adalah Imam Ahmad bin Hambal dan Ibn Taimiyah dengan peemikiran keduanya yang menuju kepada faham bisa dikatakan ekstrim, selanjutnya diantara ulama khalaf adalah Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi yang menjadi cikal bakal ulama yang menjadi anutan Ahlu Sunnah yang murni.
B. SARAN
            Semua yang tersebut di dalam makalah ini adalah sebagian kecil dari sejarah ulama salaf dan ulama khlaf yang ada pada zamannya, bahkan kami hanya memaparkan masing-masing dua dari tiap zamannya yakni salaf dan khalaf.
            Kita harus mengambil suri teladan yang baik kepada ulama-ulama yang tersebut di atas, khususnya ulama pada masa khalaf, karena kedua ulama tersebut sangat cocok dengan pemikiran Ahlu Sunnah yang sekarang Insya Allah kita anut. Kita harus memperdalam ilmu atas segala apa yang keduanya sampaikan agar kita bisa menjadi manusia yang ASWAJA TULEN.
DAFTAR PUSTAKA

Rozak, Abdul. Anwar, Rosihan 2006, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung.

Mansur, Laily, 2002, Ajaran Para Sufi, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Hasyim umar, 1982 “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah”Malaysia: PT Bina Ilmu
Aqidah ahlussunnah wal jama’ah, hj said, hj ibrahim dan darul ma’rifat kuala lumpur
Hanafi, 1982, Teologi Islam, Bulan Bintang Jakarta.
Nasution, Harun, 1987, Teologi Islam, UI Press, Jakarta.
Nasution, Harun, 1986, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan (Cet. Ke-5; Jakarta.







[1] -Aqidah ahlussunnah wal jama’ah, hj said, hj ibrahim dan darul ma’rifat kuala lumpur

[2] Mansur, Laily, 2002, Ajaran Para Sufi, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

[3] Hanafi, 1982, Teologi Islam, Bulan Bintang Jakarta.

[4] Rozak, Abdul. Anwar, Rosihan 2006, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung.

[5] Mansur, Laily, 2002, Ajaran Para Sufi, RajaGrafindo Persada, Jakarta.


[6] Nasution, Harun, 1987, Teologi Islam, UI Press, Jakarta.
[7] Rozak, Abdul. Anwar, Rosihan 2006, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung.

[8] Nasution, Harun, 1987, Teologi Islam, UI Press, Jakarta.
[9] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan (Cet. Ke-5; Jakarta : UI Press, 1986)

[10] Hasyim umar, 1982 “Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah”Malaysia: PT Bina Ilmu
[11] Rozak, Abdul. Anwar, Rosihan 2006, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung.
[12] Rozak, Abdul. Anwar, Rosihan 2006, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung.

[13] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan (Cet. Ke-5; Jakarta : UI Press, 1986)

[14], Rozak, Abdul. Anwar, Rosihan 2006, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung.

[15] Rozak, Abdul. Anwar, Rosihan 2006, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung.

[16] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan (Cet. Ke-5; Jakarta : UI Press, 1986)

[17] Rozak, Abdul. Anwar, Rosihan 2006, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung.

[18] Rozak, Abdul. Anwar, Rosihan 2006, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung.

[19] Nasution, Harun, 1987, Teologi Islam, UI Press, Jakarta.
[20] Rozak, Abdul. Anwar, Rosihan 2006, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Tinggalkan Koment yaaaa...!!! _^-^_