WELCOME

Senin, 31 Oktober 2011

MANUSIA, PEMBAWAAN DAN LINGKUNGAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Berbicara tentang manusia berarti kita berbicara tentang dan pada diri kita sendiri makhluk yang paling unik di bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah disampaikan lewat wahyu yaitu kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan makhluk yang lain. Menurut Ismail Rajfi manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan.[1]
Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah dikaruniainya akal. Dengan dikarunia akal, manusia dapat mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya serta mampu mengatur dan mengelola alam semesta ciptaan Allah adalah sebagai amanah. 
Selain itu manusia juga dilengakapi unsur lain yaitu qolbu (hati). Dengan qolbunya manusia dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran Ilahi secara spiritual.[2]
Pemahaman tentang manusia merupakan bagian dari kajian filsafat. Tak mengherankan jika banyak sekali kajian atau pemikiran yang telah dicurahkan untuk membahas tentang manusia . walaupun demikian, persoalan tentang manusia ajan menjadi misteri yang tek terselesaikan. Hal ini menurut Husein Aqil al-Munawwar dalam Jalaluddin[3] karena keterbatasan pengetahuan para ilmuan untuk menjangkau segala aspek yang terdapat dalam diri manusia. Lebih lanjut Jalaluddin  mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk Allah yang istimewa agaknya memang memiliki latar belakang kehidupan yang penuh rahasia.
Dengan demikian, memang yang menjadi keterbatasan untuk mengetahui segala aspek yang terdapat pada diri manusia itu adalah selain keterbatan para ilmuan untuk mengkajinya, juga dilatarbelakangi oleh faktor keistimewaan manusia itu sendiri. 
Para ahli banyak menyimpulkan bahwa faktor pembawaan dan juga lingkungan sangat mempengaruhi karakter manusia dan juga kisah hidupnya yakni perjalanan hidupnya dimasa kelak karena karena dua faktor inilah manusia menjadi manusia, dengan kedua faktor inilah manusia bisa menjadi dewasa dengan kepribadiannya yang sangat luar biasa dalam kehidupan di dunia ini.
Dalam makalah ini kami berupaya untuk menguraikan secara sederhana tentang hakikat manusia dan kedudukannya di alam semesta. Yang sudah tentu hal ini merupakan kajian untuk mempejari penciptaan manusia. Dan juga membicarakan tentang faktor pembawaan dan lingkungan disekitarnya yang membentuk kepribadian manusia.
B.     Rumusan Masalah
Setelah membaca dan memahami dari latar belakang masalah yang dipaparkan diatas maka kami membatasi dan merumuskan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dan konsep manusia.?
2.      Bagaimana pengaruh pembawaan dan lingkungan terhadap perkembangan manusia ?

C.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membuka wawasan psikologi umum tentang manusia, dan juga tentang segala faktor yang mempengaruhi dari segi pembawaan baik itu lahir maupun bathin, dan juga faktor lingkungan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan manusia mulai lahir sampai dewasa. Dan yang paling utama sebagai pemenuhan tugas Psikologi umum pada semester III ini, semoga manfaat!!!.
D.     Metode Penulisan
Metode penulisan yang kami gunakan adalah metode kepustakaan dan juga mencari bahan di internet yang relevan dalam masalah yang kami bicarakan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Manusia
1.      Konsep al-Basyr
Penelitian terhadap kata manusia yang disebut al-Qur’an dengan menggunakan kata basyar menyebutkan, bahwa yang dimaksud manusia basyar adalah anak turun Adam, makhluk fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat pengertian basyar mencakup anak turun Adam secara keseluruhan.[4] Menurut Abdul Mukti Ro’uf,[5] kata basyar disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk mutsanna.
Jalaluddin[6] mengatakan bahwa berdasarkan konsep basyr, manusia tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak. Sebagaimana halnya dengan makhluk biologis lain, seperti binatang. Mengenai proses dan fase perkembangan manusia sebagai makhluk biologis, ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, yaitu:
1.      Prenatal (sebelum lahir), proses penciptaan manusia berawal dari pembuahan (pembuahan sel dengan sperma) di dalam rahim, pembentukan fisik (QS. 23: 12-14)
2.      Post natal (sesudah lahir) proses perkembangan dari bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut (QS. 40: 67)
Secara sederhana, Quraish Shihab[7] menyatakan bahwa manusia dinamai basyar karena kulitnya yang tampak jelas dan berbeda dengan kulit-kulit binatang yang lain. Dengan kata lain, kata basyar senantiasa mengacu pada manusia dari aspek lahiriahnya, mempunyai bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama yang ada di dunia ini. Dan oleh pertambahan usianya, kondisi fisiknya akan menurun, menjadi tua, dan akhirnya ajalpun menjemputnya.[8]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia dalam konsep al-Basyr ini dapat berubah fisik, yaitu semakin tua fisiknya akan semakin lemah dan akhirnya meninggal dunia. Dan dalam konsep al-Basyr ini juga dapat tergambar tentang bagaimana seharusnya peran manusia sebagai makhluk biologis. Bagaimana dia berupaya untuk memenuhi kebutuhannya secara benar sesuai tuntunan Penciptanya. Yakni dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier.
2.      Konsep Al-Insan
Kata insan bila dilihat asal kata al-nas, berarti melihat, mengetahui, dan minta izin. Atas dasar ini, kata tersebut mengandung petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan penalarannya. Manusia dapat mengambil pelajaran dari hal-hal yang dilihatnya, dapat mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, serta dapat meminta izin ketika akan menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Berdasarkan pengertian ini, tampak bahwa manusia mampunyai potensi untuk dididik.[9]
Potensi manusia menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi.[10] Jelas sekali bahwa dari kreativitasnya, manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan. Kemudian melalui kemampuan berinovasi, manusia mampu merekayasa temuan-temuan baru dalam berbagai bidang. Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya makhluk yang berbudaya dan berperadaban.
3.      Konsep Al-Nas
Dalam konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial.[11] Tentunya sebagai makhluk sosial manusia harus mengutamakan keharmonisan bermasyarakat. Manusia harus hidup sosial artinya tidak boleh sendiri-sendiri. Karena manusia tidak bisa hidup sendiri.
Jika kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang bermula dari pasangan laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi masyarakat dengan kata lain adanya pengakuan terhadap spesis di dunia ini, menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan. Secara sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia dalam konsep an-naas.


4.      Konsep Bani Adam
Adapun kata bani adam dan zurriyat Adam, yang berarti anak Adam atau keturunan Adam, digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya.[12] Dalam Al-Qur’an istilah bani adam disebutkan sebanyak 7 kali dalam 7 ayat.[13] 
Menurut Thabathaba’i dalam Samsul Nizar, penggunaan kata bani Adam menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, yaitu: Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, di antaranya adalah dengan berpakaian guna manutup auratnya. Kedua, mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak kepada keingkaran. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkanNya. Kesemuanya itu adalah merupakan anjuran sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam dibanding makhluk-Nya yang lain.
Lebih lanjut Jalaluddin[14] mengatakan konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh adalah mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusian.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia dalam konsep Bani Adam, adalah sebuah usaha pemersatu (persatuan dan kesatuan) tidak ada perbedaan sesamanya, yang juga mengacu pada nilai penghormatan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian serta mengedepankan HAM. Karena yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada Pencipta. Sebagaimana yang diutarakan dalam QS. Al-Hujarat: 13).
5.      Konsep Al-Ins
Kata al-Ins dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 18 kali, masing-masing dalam 17 ayat dan 9 surat.[15] Muhammad Al-Baqi dalam Jalaluddin memaparkan al-Isn adalah homonim dari al-Jins dan al-Nufur. Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan jin, maka manusia adalah makhluk yang kasab mata. Sedangkan jin adalah makhluk halus yang tidak tampak.[16]
Sisi kemanusiaan pada manusia yang disebut dalam al-Qur’an dengan kata al-Ins dalam arti “tidak liar” atau “tidak biadab”, merupakan kesimpulan yang jelas bahwa manusia yang insia itu merupakan kebalikan dari jin yang menurut dalil aslinya bersifat metafisik yang identik dengan liar atau bebas.[17]
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa dalam konsep al-ins manusia selalu di posisikan sebagai lawan dari kata jin yang bebas. bersifat halus dan tidak biadab. Jin adalah makhluk bukan manusia yang hidup di alam “antah berantah” dan alam yang tak terinderakan. Sedangkan manusia jelas dan dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada.
6.      Konsep Abd. Allah
M. Quraish Shihab dalam Jalaluddin, seluruh makhluk yang memiliki potensi berperasaan dan berkehendak adalah Abd Allah dalam arti dimiliki Allah. Selain itu kata Abd juga bermakna ibadah, sebagai pernyataan kerendahan diri.
Menurut M.Quraish Shihab, Ja’far al-Shadiq memandang ibadah sebagai pengabdian kepada Allah baru dapat terwujud bila seseorang dapat memenuhi tiga hal, yaitu:
1. Menyadari bahwa yang dimiliki termasuk dirinya adalah milik Allah dan berada di bawah kekuasaan Allah.
2. Menjadikan segala bentuk sikap dan aktivitas selalu mengarah pada usaha untuk memenuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
3. Dalam mngambil keputusan selalu mengaitkan dengan restu dan izin Allah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam konsep Abd Allah, manusia merupakan hamba yang seyogyanya merendahkan diri kepada Allah. Yaitu dengan menta’ati segala aturan-aturan Allah.
7.      Konsep Khalifah Allah
Pada hakikatnya eksistensi manusia dalam kehidupan dunia ini adalah untuk melaksanakan kekhalifahan, yaitu membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini., sesuai dengan kehendak Penciptanya. Menurut Jalaluddin peran yang dilakonkan oleh manusia menurut statusnya sebagai khalifah Allah setidak-tidaknya terdiri dari dua jalur, yaitu jalur horizontal dan jalur vertikal.
Peran dalam jalur horizontal mengacu kepada bagaimana manusia mengatur hubungan yang baik dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Sedangkan peran dalam jalur vertikal menggambarkan bagaimana manusia berperan sebagai mandataris Allah. Dalam peran ini manusia penting menyadari bahwa kemampuan yang dimilikinya untuk menguasai alam dan sesama manusia adalah karena penegasan dari Penciptanya.[18]
8.      Manusia Dalam Perspektif Filsafat
Para ahli pikir filsafat mencoba memaknai hakikat manusia. Mereka mencoba manamai manusia sesuai dengan potensi yang ada pada manusia itu. 
Berdasarkan potensi yang ada, para ahli pikir dan ahli filsafat tersebut memberi nama pada diri manusia di muka bumi ini, para ahli pikir dan ahli filsafat tersebut memberi nama pada diri manusia dengan sebutan-sebutan sebagai berikut:
a. Homo Sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi.
b. Animal Rational, artinya binatang yang berpikir.
c. Homo Laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun.
d. Homo Faber, yaitu makhluk yang terampil, pandai membuat perkakas, atau disebut juga tool making animal, yaitu binatang yang pandai membuat alat.
e. Aoon Politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
f. Homo Economicus, yaitu makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis.
g. Homo Religius, yaitu makhluk yang beragama.
Dalam perspektif filsafat, konsep manusia menurut Jalaluddin[19] juga mencakup ruang lingkup kosmologi (bagian dari alam semester), antologi (pengabdi Penciptanya), philosophy of mind (potensi), epistemology (proses pertumbuhan dan perkembangan potensi) dan aksiologi (terikat nilai-nilai).
B.     Pembawaan dan Lingkungan 
1. Pembawaan 
Pembawaan adalah suatu konsep yang dipercayai/dikemukakan oleh orang-orang yang mempercayai adanya potensi dasar manusia yang akan berkembang sendiri atau berkembang dengan berinteraksi dengan lingkungan. Ada pula istilah lain yang biasa diidentikkan dengan pembawaan, yakni istilah keturunan dan bakat. Sebenarnya ketiga istilah tersebut tidaklah persis sama pengertiannya. Pembawaan ialah seluruh kemungkinan atau kesanggupan (potensi) yang terdapat pada suatu individu dan yang selama masa perkembangan benar-benar dapat diwujudkan (direalisasikan). 
Pembawaan adalah seluruh potensi yang terdapat pada individu dan pada masa perkembangannya benar-benar dapat diwujudkan.
            Manusia itu sejak dilahirkan telah mempunyai kesanggupan untuk dapat berjalan, mempunyai potensi untuk berkata-kata dan lain-lain. Potensi-potensi yang bermacam-macam yang ada pada anak itu tentu saja tidak begitu saja dapat diwujudkan. Untuk dapat diwujudkan menjadi sebuah kenyataan, potensi-potensi tersebut harus mengalami perkembangan serta membutuhkan latihan-latihan. Tiap-tiap potensi mempunyai masa kematangan sendiri-sendiri.[20]
Pembawaan tersebut berupa sifat, ciri, dan kesanggupan yang biasa bersifat fisik atau bisa juga yang bersifat psikis (kejiwaan). Warna rambut, bentuk mata, dan kemampuan berjalan adalah contoh sifat, ciri, dan kesanggupan yang bersifat fisik. Sedangkan sifat malas, lekas marah, dan kemampuan memahami sesuatu dengan cepat adalah sifat-sifat psikis yang mungkin berasal dari pembawaan. Pembawaan yang bermacam-macam itu tidak berdiri sendiri-sendiri, yang satu terlepas dari yang lain. Seluruh pembawaan yang terdapat dalam diri seseorang merupakan keseluruhan yang erat hubungannya satu sama lain; yang satu menentukan, mempengaruhi, menguatkan atau melemahkan yang lain. Manusia tidak dilahirkan dengan membawa sifat-sifat pembawaan yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri, tetapi merupakan struktur pembawaan. Struktur pembawaan itu menentukan apakah yang mungkin terjadi pada seseorang. 

2. Lingkungan (Environment) 
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata lingkungan berarti “semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia dan hewan``
Dalam konteks pendidikan, objek pengaruh tentu saja dibatasi hanya pada pertumbuhan manusia, tidak mencakup pertumbuhan hewan. Oleh karena itu, M. Ngalim Purwanto menyatakan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan di dalam pendidikan ialah setiap pengaruh yang terpancar dari orang-orang lain, bintang, alam, kebudayaan, agama, adat-istiadat, iklim, dsb, terhadap diri manusia yang sedang berkembang.
Menurut penulis, mungkin yang dimaksud Ngalim dalam definisi di atas adalah pengaruh lingkungan (bukan lingkungan). Dengan asumsi ini maka lingkungan adalah segala sesuatu yang mempengaruhi perkembangan diri manusia, yakni orang-orang lain (individu atau masyarakat), binatang, alam, kebudayaan, agama, adat- istiadat, iklim, dsb.
Kata lingkungan dalam pengertian umum, berarti segala sesuatu yang ada disekitar kita.[21] Sedangkan dalam lingkup pendidikan, arti lingkungan sangat luas yaitu segala sesuatu yang berada di luar diri manusia dan yang mempunyai arti bagi perkembangannya serta senantiasa memberikan pengaruh terhadap dirinya.[22]  Jika lingkungan tersebut berupa faktor yang dengan sengaja diciptakan oleh pendidik, maka disebut lingkungan pendidikan.
Lingkungan ini mengitari manusia sejak dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Antara lingkungan dan manusia ada pengaruh yang timbal balik, yang keduanya tidak dapat dipisahkan.
Dalam ilmu psikologi, lingkungan disebut dengan environment (Milieu).[23] Jadi bukan surrounding yang berarti keadaan sekeliling saja. Karena kata environment mencakup semua faktor di luar diri manusia yang mempunyai arti bagi dirinya, dalam arti memungkinkan untuk memberikan reaksi pada diri manusia tersebut. Jadi antara kita (manusia) dan lingkungan terjadi interaksi yang terus menerus.
Lingkungan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
a. Lingkungan fisik (physical environment)
Yaitu lingkungan / segala sesuatu di sekitar kita yang berupa benda mati, misalnya: rumah, kendaraan, udara, air dan sebagainya.
b. Lingkungan biologis
Yaitu lingkungan yang berupa makhluk hidup, lingkungan ini dibedakan menjadi 2, yaitu lingkungan tumbuh-tumbuhan dan lingkungan hewan.
c. Lingkungan abstrak
Semua hal yang abstrak juga bisa dimasukkan dalam lingkungan, jika hal tersebut telah menyatu dengan manusia. Termasuk semua hal yang abstrak, misalnya: pengetahuan, kesenian, kebudayaan, nilai kehidupan seperti aturan-aturan pergaulan, tata krama, sopan santun dan sebagainya.[24]
Sedangkan Sartain membagi lingkungan itu menjadi 3 bagian, yaitu sebagai berikut:
1.      Lingkungan alam/luar ( external or physical enviroment ),
2.      Lingkungan dalam ( internal enviroment ), dan
3.      Lingkungan sosial/masyarakat ( social enviroment ).[25]
Selanjutnya para ahli membagi dua faktor dalam membentuk kepribadian manusia, yang pertama, faktor endogen ialah faktor atau sifat yang dibawa oleh individu hingga sejak dalam kandungan hingga kelahiran. Jadi faktor endogen merupakan faktor keturunan atau faktor pembawaan. Oleh karena itu individu terjadi dari bertemunya ovum dari ibu dan sperma dari ayah, maka tidaklah mengherankan kalau faktor endogen yang dibawa oleh individu itu mempunyai sifa-sifat seperti orang tuanya. Seperti pepatah indonesia yang mengatakan : “ air dicucuran akhirnya jatuh kepelimpahan juga “ ini berarti bahwa keadaan atau sifat-sifat dari oran tua itu akan menurun pada anaknya.
            Tetapi faktor endogen dalam perkembangan selanjutnya dipengaruhi oleh faktor eksogen. Kenyataan menunjukkan bahwa sewaktu individu itu dilahirkan telah ada sifat-sifat yang tertentu terutama sifat-sifat yang berhubungan dengan faktor kejasmanian, misalnya: kulitnya putih, hitan atau coklat, keadaan rambutnya hitam, pirang dan sebagainya. Sifat-sifat ini merupakan sifat-sifat yang mereka dapatkan karena faktor keturunan, seperti yang dikenal dengan hukum Mendel.
            Faktor pembawaan yang berhubungan dengan keadaan jasmani pada umumnya tidak dapat diubah. Orang yang ingin mempunyai warna kulit yang putih bersih, tidak akan mungkin tercapai kalau faktor keturunannya kulitnya berwarna coklat, demikian pula halnya dengan yang lain-lain.
            Di samping itu individu juga mempunyai sifat-sifat pembawaan psikologik yang erat hubungan dengan keadaan jasmani yaitu temperamen. Temperamen merupakan sifat-sifat seseorang yang erat hubungannya dengan struktur kejasmanian seseorang, yaitu yang berhubungan dengan fungsi-fungsi fisioligik seperti darah, kelenjar-kelenjar, cairan-cairan lain, yang terdapat pada diri manusia.
            Ada beberaapa tife temperamen dari manusia yaitu : “ sanguinicus, flegmaticus, cholericus, melancholicus “. Temperamen berbeda dengan karakter atau watak, yang kadang-kadang kedua pengertian itu dipersamakan satu dengan yang lain. Karakter atau watak yaitu keseluruhan dari sifat seseorang yang nampak dalam perbuatannya sehari-sehari, sebagai hasil pemabwaan maupun lingkungan.
            Temperamen pada umumnya bersifat tidak konstan, dapat berubah-ubah sesuai dengan pengaruh lingkungan. Seperti apa yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa pada individu ada bagian yang dapat berubah dan ada yang tidak dapat berubah. Yang tidak dapat berubah inilah yang lebih bersifat konstan yaitu yang berhubungan dengan temperamen.
            Di samping individu mempunyai pembawaan-pembawaan yang berhubungan dengan sifat-sifat kejasmanian dan temperamen, maka individu masih mempunyai sifat-sifat pembawaan yang berupa bakat ( aptitude ). Bakat bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang dibawa individu sewaktu dilahirkan, melainkan hanya merupakan salah satu faktor yang dibawa sewaktu dilahirkan. Bakat merupakan potensi-potensi yang berisi kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang kesesuatu arah. Bakat bukanlah sesuatu yang telah jadi, yang telah berbentuk pada waktu individu dilahirkan, tatapi baru merupakan potensi-potensi saja.
            Agar potensi ini menjadi wujud yang nyata dibutuhkan kesempatan untuk dapat mewujudkan bakat-bakat tersebut. Karena itu kemungkinan ada bakat yang tidak dapat berkembang atau tidak dapat berwujud karena kesempatan tidak atau kurang memungkinkan. Untuk mewujudkan bakat, diperlukan lingkungan yang baik, yang mendukung di sinilah letak peranan lingkungan dalam perkembangan individu. Karena itu langkah yang baik ialah kesempatan untuk mengembangkan bakat sebaik-baiknya. Untuk dapat mengetahui bakat seseorang umumnya dipergunakan test bakat ( aptitude test ).
            Yang kedua adalah faktor eksogen ialah faktor yang datang dari luar dari individu, yang berupa pengalaman-pengalaman, alam sekitar, pendidikan dan sebagainyayaitu sering dikemukakan dengan pengertian “ milieu “. Pengaruh pendidikan dan pengaruh lingkunga sekitar itu sebenarnya dapat perbedaan. Pada umunya pengaruh lingkungan bersifat fasif, dalam arti bahwa lingkungan tidak memberikan suatu paksaan kepada individu. Lingkungan memberikan kemungkinan-kemungkinan atau kesempatan-kesempatan kepada individu. Bagaimana individu mengambil manfaat dari kesempatan yang diberikan oleh lingkungan tergantung kepada individu yang bersangkutan. Tidak demikian halnya dengan pendidikan. Pendidikan dijalankan dengan penuh kesadaran dan dengan cara sistematik untuk mengembangkan potensi-potensi ataupun bakat-bakat yang ada pada individu sesuai dengan cita-cita atau tujuan pendidikan. Dengan demikian pendidikan itu bersifat aktif, penuh tanggung jawab dan ingin mengarahkan perkembangan individu ke suatu tujuan tertentu.[26]
C.     Teori-teori mengenai Pembawaan dan Lingkungan 
1. Empirisme 
Empirisme adalah suatu aliran atau paham yang menganggap bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia timbul dari pengalaman (empiri) yang masuk melalui indera, Menurut penganut aliran ini, pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari terdiri dari stimulan-stimulan dari alam bebas dan yang diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan. Jadi, yang menentukan perkembangan anak (manusia) adalah semata-mata faktor-faktor eksternal (lingkungan). 
John Locke (1632-1714 M), salah seorang tokoh aliran emprisme, terkenal dengan Teori Tabularasanya. Menurut teori ini, anak yang baru dilahirkan dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih yang belum ditulisi (a sheet of white paper avoid of all characters). Artinya bahwa anak sejak lahir tidak mempunyai pembawaan apa-apa (netral), tidak punya kecenderungan untuk menjadi baik atau menjadi buruk. Dengan demikian anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Dengan kata lain, hanya pendidikan (atau lingkungan) yang berperan atas pembentukan anak. 
Pengaruh aliran ini tampak juga pada salah satu mazhab psikologi yang disebut sebagai behaviorisme (aliran tingkah laku). Para tokoh aliran ini, seperti Thorndike, I. Pavlov, J.B. Watson, dan F. Skinner berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang pasif dan dapat dimanipulasi, umpama melalui modifikasi tingkah laku. Mereka memandang manusia sebagaimakhluk reaktif (tidak aktif). Manusia hanyalah objek, benda hidup yang hanya dapat memberi respons kepada perangsang yang berasal dari lingkungannya. Jadi dalam hubungannya dengan lingkungan, seseorang hanya dapat bersifat autoplastis, tidak dapat bersifat alloplastis. 
Dengan demikian empirisme berpandangan bahwa pendidik memegang peranan yang sangat menentukan dalam proses pendidikan. Pendidiklah yang menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak didik dan akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman. Kemudian dari pengalaman-pengalaman akan dapat terbentuk susunan kebiasaan yang membentuk pribadi seseorang. 
2. Nativisme 
Sebagai reaksi terhadap empirisme, muncul nativisme. Istilah nativisme berasal dari kata nativus (latin) yang berarti karena kelahiran. 
Aliran nativisme berpendapat bahwa tiap-tiap anak dilahirkan dengan membawa sejumlah potensi (pembawaan) yang akan berkembang sendiri menurut arahnya masing-masing. Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya, sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Tokoh nativisme, Schopenhauer (1788-1860) berpendapat bahwa bayi lahir beserta pembawaannya, baik atau buruk. Seorang anak yang mempunyai pembawaan baik, maka dia akan menjadi baik. Sebaliknya, kalau anak mempunyai pembawaan buruk, maka dia akan tumbuh menjadi anak yang jahat. Pembawaan-pembawaan itu tidak akan dapat diubah oleh kekuatan luar (lingkungan
Dengan demikian dapat dipahami bahwa aliran ini berpandangan bahwa keberhasilan pendidikan ditentukan oleh hal-hal yang bersifat internalpada anak didik sendiri. Dengan kata lain, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Pendidikan yang tidak sesuai dengan pembawaan atau bakat anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak tersebut. Oleh karena itu, pendidikan sebenarnya tidak diperlukan, dan inilah yang disebut sebagai pesimisme pedagogis. 

3. Naturalisme 
Pandangan yang mirip dengan pandangan nativisme dikemukakan oleh para penganut paham naturalisme. Sesuai dengan akar kata naturalisme, yakni nature ‘alam’ atau ‘apa yang dibawa sejak lahir’, aliran ini berpandangan bahwa seorang anak telah mempunyai pembawaan sejak lahir. Meskipun kedua aliran sepakat dalam hal adanya pembawaan pada manusia, namun J.J. Rousseau (1712—1778) (tokoh utama naturalisme), berbeda pendapat dengan Schopenhauer (nativisme) tentang pembawaan tersebut. Schopenhauer berpendapat bahwa bayi lahir dengan dua kemungkinan pembawaan, yakni baik atau buruk, sedangkan Rosseau menyatakan bahwa semua anak yang baru dilahirkan hanya mempunyai pembawaan baik. 
Kalau dalam hal keberadaan pembawaan manusia pandangan antara naturalisme dengan nativisme ada kesamaan, maka dalam hal besarnya peranan lingkungan dalam mempengaruhi perkembangan anak, justru pandangan naturalisme memiliki unsur kesamaan dengan empirisme. Hal ini dapat dilihat dalam pernyataan J.J. Rousseau bahwa “semua anak adalah baik pada waktu baru datang dari Sang Pencipta, tetapi semua menjadi rusak di tangan manusia”. 
Jadi, walaupun manusia lahir dengan potensi pembawaan baik, tetapi bagaimana hasil perkembangannya kemudian sangat ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika pengaruh itubaik, akan menjadi baiklah ia, tetapi bilamana pengaruh itu jelek akan jelek pula hasilnya. 
Dengan berasumsi pada teori di atas, maka dalam hal pendidikan Rosseau berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa malahan dapat merusak pembawaan anak yang baik itu. Karena pendapat inilah maka naturalisme juga disebut sebagai negativisme. Mereka berpandangan bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam, inilah yang disebut sebagai “pendidikan alam”. Dengan pendidikan alam, anak dibiarkan berkembang menurut alam (nature)-nya, manusia atau masyarakat jangan mencampurinya agar pembawaan yang baik itu tidak menjadi rusak oleh tangan manusia melalui proses dan kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh manusia. 
Dengan demikian dapat dipahami bahwa naturalisme, sebagaimana nativisme, tidak menganggap perlu diadakannya pendidikan (oleh manusia) bagi manusia. Bahkan dengan anggapan bahwa pendidikan dapat merusak pembawaan baik anak, naturalisme justru dapat dianggap menentang pelaksanaan pendidikan yang dilakukan oleh manusia. 
D.    Pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan
            Tidak semua perubahan yang terjadi pada sel-sel tubuh kita adalah semata-mata sebagai mekanisme hereditas. Kromosom-kromosom yang terdapat di dalam sel-sel “germ “ tidak dipengaruhi oleh setiap perubahan yang terjadi pada sel tubuh. Alam membentuk keajaiban-keajaiban dalam proses hereditas . tiap-tiap “ genes “ di dalam sel-sel “ germ “ berhubungan dengan mekanisme mental.
            Lingkungan sangat besar artinya bagi pertumbuhan pisik. Sejak individu berada dalam konsepsi, lingkungan telah ikut memberi andil bagi proses pembuahan/pertumbuhan. Suhu, makanan, keadaan gizi, vitamin, mineral, kesehatan jasmani, aktivitas dan sebagainya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan.
            Antara hereditas dan lingkunganterjadi hubungan atau interaksi. Setiap faktor hereditas beroperasi dengan cara yang berbeda-beda menurut kondisi-kondisi lingkungan yang berbeda-beda pula. Selain dengan interaksi, hubungan antara hereditas dan lingkungan dapat pula digambarkan sebagai “ additive contribution “. Menurut pandangan ini, hereditas dan lingkungan sama-sama menyumbang bagi pertumbuhan dan perkembangan fisiologis dan bahkan juga tingkah laku individu secara “ jointly “.
            Demikianlah proses pertumbuhan memerlukan kondisi kesehatan dan stamina pspik, stabilitas emosi dan sistem syaraf, kapasitas mental, serta beberapa macam keterampilan beraktivitas atau bekerja, dan sebagainya.
E.     Pengaruh lingkungan terhadap perkembangan
            Setiap perkembangan pribadi seseorang merupaka hasil interaksi antara hereditas dan lingkungan. Pengaruh hereditas berasal dari kombinasi-kombinasi ” genes “. Genes adalah molekul-molekul protein sub mikroskopis yang terdapat di dalam sel-sel “ germ “. Dengan cara teretntu, “ genes “ membentuk kromosom-kromosom. Kombinasi dan perubahan-perubahan “ genes “ sangat komplek dan unik bagi masing-masing individu itulah yang menentukan hereditas masing-masing individu.
            Satu sel “ germ “ manusia berisikan 24 pasang kromosom dan masing-masing kromosom membentuk beribu-ribu “ genes “. Genes ini memberikan sifat kepada masing-masing kromosom, dan sifat-sifat kromosom itu dapat dihubungkan dengan tipe-tipe kepribadian, ciri-ciri jasmaniah, ataupun pekerjaan individual. Sebagai individual, dalam satu sel “ germ “ yang terdiri atas 24 kromosom dapat berisikan 24 macam sifat pekerjaan misalnya pendidik, dokter, tukang kayu, arsitek, pelukis, pengusaha dan sebagainya. Pada saat konsepsi, masing-masing pasangan kromosom berinteraksi membentuk individu baru.
            Manusia mewariskan hidung, rambut, kulit, warna mata, bentuk tengkorak, dan kecendrungan untuk menjadi pendek atau tinggi. Cacat pisik seperti buta warna, bibir sumbing, jari puntung, dan lain-lain. Juga diwariskan penyakit-penyakit umum, kecuali diabetis adalah tidak diwariskan. Dalam segi mental, hanya ada dua macam cacat mental yang diwariskan, yaitu “  feeblemindedness “ dan “ Huntington’s chorea “ yang ditandai dengan ketidak seimbangan pisik dan mental. Menurut kebanyakan ahli jiwa, intelegensi termasuk kapasitas yang diwariskan.
            Individu yang perkembangannya adalah produk dari hereditas dan lingkungan. Hereditas dan lingkungan sama-sama berperan penting bagi  perkembangan individu. Dengan adanya saling tergantung antara hereditas dan lingkungan, hal ini menimbulkan permasalahan yang pelik bagi para sarjana.
            Dengan meneliti seseorang secara langsung mereka tidak dapat  mengamati dominasi pengaruh  hereditas dan lingkungan terhadap warna rambut, warna kulit, bentuk tengkorak, atau intelegensi seseorang itu. Penelitian baru berhasil, apabila meneliti sekurang-kurangnya dua orang dengan latar belakang dan pengalaman-pengalaman mereka.
            Sifat-sifat yang heredieter sangat sukar diubah, meskipun pada generasi-generasi berikutnya diadakan modifikasi intensif misalnya dengan program-program eugenic ( egenetik ), strelisasi, ataupun perkawinan selektif. Sedangkan sifat-sifat yang tumbuh akibat pengaruh lingkungan relatif lebih mudah untuk diubah melalui perbaikan-perbaikan, sosial dan politik.[27]
BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Kata-kata manusia itu mempunyai beberapa konsep seperti: Al-Basyr, Al-Insan, Al-Nas, Bani Adam, Al-Ins, Abd. Allah, dan Khalifah Allah.
Para ahli pikir filsafat mencoba memaknai hakikat manusia. Mereka mencoba manamai manusia sesuai dengan potensi yang ada pada manusia itu. 
Berdasarkan potensi yang ada, para ahli pikir dan ahli filsafat tersebut memberi nama pada diri manusia di muka bumi ini, para ahli pikir dan ahli filsafat tersebut memberi nama pada diri manusia dengan sebutan-sebutan sebagai berikut:
a. Homo Sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi.
b. Animal Rational, artinya binatang yang berpikir.
c. Homo Laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun.
d. Homo Faber, yaitu makhluk yang terampil, pandai membuat perkakas, atau disebut juga tool making animal, yaitu binatang yang pandai membuat alat.
e. Aoon Politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
f. Homo Economicus, yaitu makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis.
g. Homo Religius, yaitu makhluk yang beragama.
Pembawaan adalah seluruh potensi yang terdapat pada individu dan pada masa perkembangannya benar-benar dapat diwujudkan.
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata lingkungan berarti “semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia dan hewan``
Dalam konteks pendidikan, objek pengaruh tentu saja dibatasi hanya pada pertumbuhan manusia, tidak mencakup pertumbuhan hewan. Oleh karena itu, M. Ngalim Purwanto menyatakan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan di dalam pendidikan ialah setiap pengaruh yang terpancar dari orang-orang lain, bintang, alam, kebudayaan, agama, adat-istiadat, iklim, dsb, terhadap diri manusia yang sedang berkembang.
Lingkungan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
a. Lingkungan fisik (physical environment)
b. Lingkungan biologis
c. Lingkungan abstrak
Adapun Teori-teori mengenai Pembawaan dan Lingkungan adalah sebagai berikut:
1.      Empirisme 
2.      Nativisme 
3.      Naturalisme, dll.
B.     Saran
Adapun saran yang kami haturkan adalah sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk hidup yang lain ada baiknya sebagai manusia kita berusaha untuk bertindak yang baik jangan rendah seperti binatang, dan juga berdasarkan faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia diantaranya pembawaan dan juga lingkungan menjadi titik bantu kita dalam menjaga dan membuat kepribadian yang baik dalam berbuat dan bergaul karena paling dominan yang membuat kepribadian adalah lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu, dkk., Ilmu Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Amsyari,Fuad, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 1986.
Bintu Syati, Aisyah. Manusia Dalam Perspektif AL-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999.
Jalaluddin. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003.
Mudzakkir, Ahmad & Sutrisno, Joko, Psikologi Pendidikan.Pustaka Setia.1997.
Mukti Ro’uf, Abdul. Manusia Super. Pontianak: STAIN Pontianak Press. 2008.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997.
Shihab, Quraish. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan. 1996.
Tantowi, Ahmad, Psikologi Pendidikan, Angkasa, Jakarta, 1986.



[1] Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.hlm.12.
[2] Ibid.hlm.14.
[3] Jalaluddin,op,cit.hlm.11.
[4] Aisyah Bintu Syati. 1999. Manusia Dalam Perspektif AL-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.hlm.2.
[5] Abdul Mukti Ro’uf. 2008. Manusia Super. Pontianak: STAIN Pontianak Press.hlm.3.
[6] Jalaluddin.op,cit.hlm.19.
[7] Quraish Shihab. 1996. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan.hlm.279.
[8] Abuddin Nata. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.hlm.31.
[9] Ibid.hlm.29.
[10] Jalaluddin.op,cit.hlm.23.
[11] Ibid.hlm.24.
[12] Quraish Shihab.op,cit.hlm.278.
[13] Abdul Mukti Ro’uf.op,cit.hlm.39.
[14] Jalaluddin.op,cit.hlm.27.
[15] Abdul Mukti Ro’uf.op,cit.hlm.24.
[16] Jalaluddin.op,cit.hlm.28
[17] Aisyah Bintu Syati.op,cit.hlm.5.
[18] Jalaluddin.op,cit.hlm 29-31.
[19] Ibid.hlm.31-33
[20] Drs. Ahmad Mudzakkir & Drs. Joko Sutrisno, Psikologi Pendidikan.Pustaka Setia.1997.hlm.92.
[21] Fuad Amsyari, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Ghlmia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 9.
[22] Ahmad Tantowi, Psikologi Pendidikan, Angkasa, Jakarta, 1986, hlm. 56.
[23] Drs. H. Abu Ahmadi, dkk., Ilmu Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 64.
[24] Fuad Amsyari, op.cit., hlm. 11.
[25] Drs. Ahmad Mudzakkir & Drs. Joko Sutrisno.op,cit.hlm.97.
[26] Drs. Ahmad Mudzakkir & Drs. Joko Sutrisno.op,cit.hlm.102-104.
[27] Ibid.hlm.109-111.